Selasa, 30 Juli 2019

FITNAH BASI MENJAMUR LAGI

FITNAH BASI MENJAMUR LAGI

By: Poetra Sambu

Dari mana saya mau memulai tulisan ini ya? Begini, tuduhan bahwa Hizbut Tahrir, An-Nabhani, dan para pengikutunya membolehkan tindakan cabul, seperti mencim atau meraba-raba perempuan non maharom merupakan fitnah yang telah sangat lama, mungkin sudah tiga atau empat dekade yang lalu.

Hanya Allah yang tahu seberapa besar  dan berat beban pihak-pihak yang secara sengaja membuat fitnah tersebut dan atau yang menyebarluaskannya dengan sadar.
الفتنة نائمة لعن الله من أيقظها
Fitnah itu sebenarnya tidur. Laknat Allah atas orang yang membangunkannya.

Begitu bunyi hadits dhoif dari Anas bin Malik ra.

Baik, kita mulai tulisan ini.

1. CIUMAN DENGAN PEREMPUAN

Dalam kaitannya dengan tuduhan Hizbut Tahrir/ An-Nabhani membolehkan ciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, meski tanpa syahwat, jelas merupakan fitnah.

An-Nabhani di dalam an-Nizham al-Ijtima'i menegaskan:
وهذا بخلاف القبلة، فقبلة الرجل لامرأة أجنبية يريدها وقبلة المرأة لرجل أجنبي تريده هي قبلة محرمة.
Ini jelas berbeda dengan (hukum) ciuman. Ciuman seorang lelaki terhadap serorang perempuan ajnabiyah yang dia inginkan, atau ciuaman seorang perempuan terhadap seorang lelaki ajnabiy yang dia inginkan adalah CIUMAN yang DIHARAMKAN!! (lihat: hal. 53).

an-Nabhani kemudian menjelaskan alasannya, beliau mengatakan:
لأنها من مقدمات الزنا، ومن شأن هذه القبلة أن تكون من مقدمات الزنا عادة، ولو كانت من غير شهوة، ولو لم توصل إلى الزنا ولو لم يحصل الزنا
Sebab, ciuman merupakan bagian dari pendahuluan zina. Dan memang biasanya hal semacam ciuman ini bagian dari pengantar zina, meski TANPA SYAHWAT, dan meski tidak sampai nengantarkan pada zina dan benar-benar tidak terjadi zina.

Lebih jauh an-Nabhani kemudian mengemukakan istidlal beliau atas perkara ini, beliau mengatakan:
لأن قول الرسول صلى الله عليه وآله وسلم لماعز لما جاءه طالبا منه أن يطهره لأنه زنى: ( لعلك قبلت)، أخرجه البخاري من طريق ابن عباس، يدل على أن مثل هذه القبلة هي من مقدمات الزنا، ولأن الآيات والآحاديث التي تحرم الزنا تشمل تحريم جميع مقدماته ولو كانت لمسا كما يحصل بين الشباب والشبات، فهذه القبلة تكون محرمة حتى ولو كانت للسلام على قادم من سفر لأن من شأن هذه القبلة بين الشباب والشبات أن تكون من مقدمات الزنا
Sebab, sabda Nabi saw. kepada Ma'iz, saat dia datang kepada beliau memohon disucikan karena dia telah berzina: "Mungkin engkau mencium?!" (HR. Bukhari dari Ibn Abbas) menunjukkan bahwa semacam ciuman ini merupakan bagian dari pendahuluan dari zina. Apalagi, ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan zina  mencakup pula semua pendahuluannya, meski HANYA MENYENTUH, seperti yang terjadi antara para pemuda dan pemudi. Jadi, ciuman ini HARAM, meski sekedar sebagai penghormatan saat tiba dari safar. Sebab, sudah menjadi tabiat ciuman ini yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi merupakan pendahuluan dari zina. (hal. 53).

Mudah-mudahan clear soal ini. Ini penjelasan, dan saya menduga saya tidak dapat mendatangkan yang lebih jelas lagi dari perkataan an-Nabhani soal ciuman ini.

Siapa yang sebelumnya menyebar fitnah ini karena belum tahu, silahkan mantapkan posisi anda; berhenti atau lanjut fitnah. Itu urusan anda dengan Allah yang Maha Adil. Bagi yang sudah biasa menfitnah dan tahrif kalimah, maka persoalannya akan lebih rumit, kecuali saya bisa menghentikan aliran dana itu atau memadamkan api kebencian itu.

**********
2. JABAT TANGAN DENGAN PEREMPUAN

Baik, kita lanjut soal kedua, yaitu tentang mushafahah (jabat tangan) antara laki-laki dengan perempuan ajnabiyah. Apakah juga fitnah?

Jawabannya, sebagiannya fakta, dan sebagiannya fitnah, sebagiannya lagi freming.

Fakta, bahwa Hizbut Tahrir membolehkan jabat tangan antara laki-laki dan perempuan ajanabiyah. Namun dengan syarat: TIDAK ada SYAHWAT dan tidak ada MAKSUD mencari KENIKMATAN (taladzdzudz).

Hal ini dikatakan sendiri oleh an-Nabhani di dalam an-Nizham al-Ijtima'i, hal. 53. An-Nabhani berdalil dengan hadits riwayat al-Bukhari dari Ummu Athiyah saat Nabi saw. membaiat kaum wanita. Ummu Athiyah mengatakan:
بايعنا النبي صلى الله عليه وسلم فقرأ علينا أن لا يشركن بالله شيئا ونهانا عن النياحة فقبضت امرأة منا يدها.
"Kami membaiat Nabi saw. Maka beliau pun membacakan kepada kami: Hendaklah mereka tudak menyekutukan Allah dengan suatu apapun. Nabi saw. juga melarang kami melakukan niyahah. Ketika itulah salah seorang wanita di antara kami me-qabdh tangannya".

Kita tahu bahwa biasanya baiat dilakukan dengan berjabat tangan. Maka --menurut an-Nabhani --kata qabdh di dalam hadits itu berarti menarik. Memang kata qabdh punya banyak arti, diantaranya menarik, menggeggam, dan menyempitkan. Sesuai dengan siyaq hadits, kata qabdh --menurut an-Nabhani -- berarti menarik, bukan yang lain. Sehingga artinya, saat baiat tersebut ada seorang wanita yang MENARIK tangannya.

Sampai di sini mudah-mudahan clear. Inilah manthuq hadits Ummu Mathiyah.

Nah, menurut an-Nabhani hadits di atas secara mafhum memiliki pengertian bahwa wanita-wanita yang lain mengulurkan tangannya, artinya mereka menjabat tangan Nabi saw.

Mafhum ini seolah bertentangan dengan manthuq hadits Nabi saw pada kesempatan baiat juga, seperti diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Asiyah, tentang baiat Nabi saw. kepada wanita Muhajirat, di mana saat itu Nabi saw. bersabda:
قد بايعتك كلاما
Aku telah membaiat kamu secara verbal.

Dan Aisyah mengatakan:
والله ما مست يده يد امرأة قط في المبايعة، وما بايعهن إلا بقوله
"Demi Allah tangan beliau tidak menyentuh tangan seorang wanita pun saat berbaiat. Beliau hanya membaiat mereka dengan ucapan".

Juga dengan hadits riwayat Malik dari Amimah binti Raqiqah yang menceritakan kisah baiatnya kepada Nabi saw. bersama sejumlah wanita, di mana mereka mengatakan kepada  Rasulullah:
هلم نبايعك يا رسول الله
"Mari, baiatlah kami (dengan jabat tangan) wahai Rasulullah".

Lalu Rasulullah saw. menjawab:
إني لا اصافح النساء
"Aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita".

Nampak kesimpulan an-Nabhani terhadap mafhum hadits Ummu Athiyyah bertentangan dengan hadits-hadits ini.

Lantas bagaimana?

Menurut an-Nabhani, di kitab Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 3/114, --- saat menjelaskan tentang ta'arudh bayna aqwal an-nabiy (kontradiksi antara beberapa ucapan Nabi) --- sebenarnya tidak terjadi ta'arudh. Bisa dilakukan jama', yaitu bahwa penolakan Nabi saw. melakukan jabat tangan tidak berarti mengharamkan.

Begitulah an-Nabhani beristidlal dan melakukan jama' terhadap dua kelompok dalil yang nampak bertentangan, dan sampai pada kesimpulan bahwa jabat tangan seorang laki-laki dengan perempuan dengan syarat tidak ada syahwat hukumnya boleh.

*****
Sampai di sini anda boleh setuju dan boleh tidak setuju. Yang tidak boleh anda lakukan adalah mengatakan apa yang tidak dikatakan oleh an-Nabhani, misalnya mengatakan an-Nabhani membolehkan jabat tangan meski ada syahwat. Atau mengatakan an-Nabhani membolehkan meraba-raba, nggrayangi, atau meremas-remas seorang wanita. Atau mengatakan an-Nabhani membolehkan cabul. Ini fitnah.

Saya tidak sedang memposisikan diri mendukung istidlal an-Nabhani, jadi terlepas anda setuju atau tidak dengan kesimpulan an-Nabhani tentang hukum jabat tangan tersebut, bukan fukos saya kali ini. Ada banyak buku dan tulisan-tulisan yang mendukung kemubahan jabat tangan laki-laki perempuan dengan syarat tidak ada syahwat. Ada banyak pula kitab dan tulisan yang membantahnya. Sebagian ulama kontemporer juga sependapat dengan an-Nabhani dalam masalah jabat tangan ini, diantaranya al-Qardhawi, Ali Jum'ah, bahkan Syekh Azhar Ahmad Thayuib sendiri, dll.

Artinya apa? masalah jabat tangan ini boleh saja anda menguliti pendapat yang membolehkan sampai tinggal tulang-tulangnya. Satu yang tidak boleh: Membuat fitnah dan mengada-ada apa yang tidak ada.

3. MERABA TUBUH PEREMPUAN

Masih ada satu masalah lagi, yaitu potongan perkataan an-Nabhani di dalam an-Nizham al-Ijtima'i:
وايضا فإن مفهوم قوله تعالى: ((أو لمستم النساء)) بلفظه العام لجميع النساء من حيث أن الملامسة تنقض الوضوء يدل اقتصار الحكم على نقض الوضوء من لمس النساء على أن لمسهن بغير شهوة ليس حراما فمصافحتهن ليس حراما.
"Selain itu, mafhum dari firman Allah swt.: (atau kalian menyentuh perempuan) -- di mana kata perempuan datang dalam bentuk umun, sehingga mencakup semua perempuan, dilihat dari aspek sentuhan laki-laki dengan perempuan dapat membatalkan wudhu --- dan ayat ini membatasi pada hukum membatalkan wudhu karena bersentuhan dengan  perempuan menunjukkan bahwa menyentuh mereka dengan tanpa syahwat tidaklah haram. Oleh karenanya berjabat tangan juga tidak haram". (lihat: hal. 53)

Dari potongan perkataan an-Nabhani ini muncul freming bahwa an-Nabhani membolehkan menyentuh tubuh perempuan di bagian manapun, termasuk meraba-raba tubuh perempuan, asal tidak ada syahwat. Apakah benar demikian maksud dari potongan perkataan an-Nabhani di atas?

Inilah fokus kita pada bagian terakhir ini.

Sebelum kita mengambil kesimpulan, kita wajib melakukan konfirmasi ke beberapa bagian dari pandangan an-Nabhani terkait dengan masalah interaksi laki-laki dan perempuan, aurat perempuan, dan tentu merujuk kepada konsep ushul fiqh an-Nabhani sehingga dapat melahirkan kesimpulan tertetu dari potongan ayat di atas (yang sepertinya belum pernah ada ulama mengambil kesimpulan seperti an-Nabhani).

Dengan ini kita berharap bisa adil dan jujur dalam memposisikan an-Nabhani dalam timbangan ilmiah.

Baik, kita mulai bagaimana an-Nabhani memandang interaksi laki-laki dan wanita.

Di dalam kitab an-Nizham al-Ijtima'i an-Nabhani menulis bab khusus tentang tanzhim (pengaturan) interaksi antara laki-laki dan perempuan.  Berangkat dari falsafah bahwa laki-laki dan perempuan keduanya bisa saling memberikan daya tarik, namun tentu tidak mungkin antara laki-laki dan perempuan dipisahkan secara total mengingat laki-laki dan perempuan dalam banyak hal harus saling ta'awun, bantu membantu, maka diperlukan adanya aturan yang mengatur hubungan antara laki-laki dengan perempuan di mana aturan ini dapat menjamin keberlangsungan kehidupan manusia di mana laki-laki dan perempuan saling membantu namun tanpa  aspek yang dapat mengantarkan terjadinya perkara yang dikhawatirkan. (Lihat: hal. 25).

An-Nabhani kemudian menegaskan bahwa satu-satunya aturan yang dapat menjamin kebaikan hidup dan mengatur  interaksi laki-laki dengan perempuan secara alamiyah, di mana aspek KEIMANAN menjadi LANDASANNYA dan  HUKUM SYARA' menjadi standarnya, termasuk hukum-hukum yang akan mewujudkan nilai-nilai moral yang tinggi, adalah SISTEM PENGATURAN INTERAKSI dalam Islam. (Hal. 26)

An-Nabhani kemudian menjelaskan bahwa satu-satunya jalan yang diberikan oleh Islam untuk memenuhi naluri seks dengan beragam tuntutan dan pendahuluannya adalah dengan menikah atau memiliki budak (lihat: hak. 26).

Meski demikian, bukan berarti terjadinya interaksi antara laki-laki dan perempuan asing lantas dilarang total. Tidak demikian. Islam mengajarkan ta'awun antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam kehidupan ini. (lihat: hal. 27).

Namun Islam sangat berhati-hati dalam perkara ini, sehingga Islam melarang SEGALA SESUATU yang dapat mengarahkan interaksi antara laki-laki dan perempuan menjadi INTERAKSI yang BERBELOK menjadi, atau BERORIENTASI seksual. (hal. 28).

Karenanya Islam mensyariatkan beberapa hukum dan memberikan batasan-batasan tertentu dengan hukum-hukum ini. Diantaranya (1) menundukkan pandangan, (2) wanita wajib memakai pakaian yang syar'iy (Jilbab dan Khimar), (3) wanita dilarang safar tanpa mahram, (4) dilarang khalwat antara laki-laki dan perempuan, (5) larangan keluar rumah tanpa izin suami, (6) wajibnya infishil (terpisah) anatara komunitas/kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan dalam kehidupan khusus; di masjid, di sekolah, di kantor, dan semacamnya, sehingga perempuan hidup di komunitas perempuan dan laki-laki juga hidup di komunitas laki, dan tidak campur baur, (7) mewajibkan interaksi laki-laki dan perempuan hanya dalam masalah yang bersifat umum, seperti jual beli, bukan interaksi yang bersifat khusus, seperti saling mengunjungi. (lihat: hal. 28-30)

Itulah sebagian pandangan an-Nabhani terkait interaksi antara laki-laki dan perempuan. Mudah-han anda sudah dapat mulai melihat cahaya yang akan menerangi jalan anda memahami gelapnya fitnah yang dialamatkan kepada an-Nabhani dalam masalah ini.

Terkait memandang wanita non mahram, an-Nabhani berpandangan kaum laki-laki haram melihat aurat wanita, yaitu SELAIN MUKA dan TELAPAK TANGAN, baik DENGAN maupun TANPA SYQHWAT!!!  Sebaliknya, dalam kondisi normal, menurut an-Nabhani mboleh melihat wajah dan telapak tangan wanita dengan syarat TIDAK ADA SYAHWAT, TIDAK mencari KENIKMATAN dengan melihatnya. (lihat: hal. 38, 40, 41, dan 42).

Terkiat dengan aurat wanita, yakni selain muka dan telapak tangan, an-Nabhani tidak melepaskannya hari hukum-hukum yang lain, yakni seperti tabarruj dan Khimar dan Jilbab yang sesuai aturan syara', tidak ketat, tidak potongan, tidak berparfum, dan yang semacamnya. (lihat: 44-46).

Dari uraian di atas apakah anda masih beranggapan bahwa an-Nabhani membolehkan tindakan cabul? An-Nabhani menghalkan grayangi tubuh wanita selain istrinya? an-Nabhani membolehkan meraba-bahkan meremas-remas tubuh wanita lain, seperti digambarkan oleh salah seorang pendekar ASWAJA dalam sebuah vedio yang disebar luaskan??!!!

Jika anda masih yakin atau minimal masih percaya dengan fitnah-fitnah cabul seperti itu, saya harap anda tidak usah melanjutkan membaca tulisan ini!! Sebab, jika mukadimah, pengantar ini tidak membuka akal dan fikiran anda, saya yakin mungkin sampai kapanpun akan tetap terkunci rapat untuk memahami dengan jujur masalah ini.

Sementara itu, saat menjelaskan bagaimana kaum perempuan berperan dalam kehidupan, di mana seorang perempuan bisa menjadi pegawai negeri, berjualan, berbisnis, dan seterusnya, an-Nabhani mengatakan bahwa sistem interaksi dalam Islam antara satu dengan yang lain saling terkait. Sehingga ketika wanita keluar rumah, bekerja, berbisnis, dan yang sejininya, bukan berarti dia bebas dari hukum-hukum syara' yang mengatur masalah ini, sehingga ia bebas keluar rumah dengan dandanan menor, seolah seperti pengantin wanita akan dipertemukan dengan pengantin pria. Tentu tidak begitu, sebaliknya wajib terikat dengan hukum-hukum yang ada. Dinataranya: (1) wajib tundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempian. (2) wajib taqwa kepada Allah. (3) wajib menjauhi perkara-perkara syubuhat. (4) wanita  wajib berpakaian yang penuh dengan kewibawaan (jilbab dan khimar), (5) haram berkhalwat, (6). Haram tabarruj. (7) haram mengambil pekerjaan/profesi yang merusak akhlaq atau merusak masyarakat, seperti pekerjaan yang mengeksploitasi unsur kewanitaan atau maskulinitas. (lihat: hal. 91-100).

Hukum-hukum tersebut juga beliau singgung di dalam kitab Masyru' Dustur di bab An-Nizham al-Ijtima'iy.

Dari semua paparan di atas mudah-mudahan kita sudah mendapat gambaran bagaimana an-Nabhani memandang interaksi wanita dan laki-laki.

Dari sini, saya akan mulai jelaskan potongan perkataan an-Nabhani dalam an-Nizham al-Ijtima'i:
وايضا فإن مفهوم قوله تعالى: ((أو لمستم النساء)) بلفظه العام لجميع النساء من حيث أن الملامسة تنقض الوضوء يدل اقتصار الحكم على نقض الوضوء من لمس النساء على أن لمسهن بغير شهوة ليس حراما فمصافحتهن ليس حراما.

Yang oleh sebagian orang -semoga Allah mengampuni kita semua - difreming bahwa an-Nabhani membolehkan meraba-raba tubuh wanita non mahram dengan syarat tanpa syahwat!!

Sebagaimana kita ketahui para ulama, dalam kaitannya menyentuh aurat,  mengatakan:
كل ما حرم النظر اليه حرم مسه لأن المس أبلغ من النظر
Setiap perkara yang haram dilihat, maka haram disentuh, karena menyentuh lebih kuat dari pada melihat.

Karena melihat aurat haram, maka menyentuhnya juga haram. Dengan alasan yang mirip, an-Nabhani membolehkan jabat tangan, yaitu karena telapak tangan bukan aurat dan boleh dilihat, karenanya boleh disentuh (tanpa syhawat). Meski di sini an-Nabhani berbeda dengan  beberapa ulama, di mana mereka mengatakan: meski telapak tangan boleh dilihat, tapi tidak boleh disentuh. Alasannya menyentuh lebih kuat.

Nah, di sini, yakni menyentuh aurat, an-Nabhani berpandangan haram, karena jika melihat tidak boleh maka menyentuh juga tidak boleh. Setara dengan kaidah an-Nabhani tentang telapak tangan, karena telapak tangan bukan aurat dan boleh dilihat maka boleh disentuh (tanpa syahwat). Sehingga, sesuai kaidah an-Nabhani, dapat dikatakan: Karena aurat (yaitu selain muka dan telapak tangan) adalah aurat, maka tidak boleh dilihat, karenanya haram disentuh.

Sebab, memang perkara ini telah ma'lum 'indal ulama'. Yakni hukum menyentuh aurat, dengan syahwat ataupun tidak, aurat laki-laki oleh laki, atau aurat perempuan oleh perempuan, apalagi beda jenis, hukumnya telah jelas, maklum dan kata an-Nawawi, di dalam syarah Shahih Muslim, muttafaq 'alayh (perkara yang disepakati ulama'). 

Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw:

(لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل ولا تنظر المرأة إلى عورة المرأة ولا يفضي الرجل إلى الرجل في الثوب الواحد ولا تفضي المرأة إلى المرأة في الثوب الواحد)
"Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki dan seorang perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan. Dan seroang laki-laki tidak boleh dalam satu kain dengan seorang laki-laki, begitu juga seorang perempuan tidak boleh dalam satu kain dengan perempuan". (HR. Muslim, Abu Dawud,  Tirmidzi, dan yang lain).

Hadits ini tegas mengharamkan sentuhan aurat antara laki-laki dengan laki dan perempuan dengan perempuan. Lalu bagaimana dengan sentuhan aurat laki-laki dengan perempuan? jelas!

Dari semua laparan di atas, jelas bahwa yang maksud oleh an-Nabhani dalam perkataan beliau:
"..... على أن لمسهن بغير شهوة ليس حراما"
"....... Bahwa menyentuh perempuan tanpa syahwat tidak haram"

---- adalah menyentuh yang bukan aurat!! Tidak ada makna selain itu, bagi orang yang faham perkataan para ulama dan membaca kitab-kitab an-Nabhani dengan jujur.

Bagaimana mungkin an-Nabhani menghalal meraba tubuh (baca aurat) wanita sementara an-Nabhani mengaramkan memandang aurat dan mengharamkan wanita ikhthilat dengan kaum pria, mengharamkan wanita berkhalwat dengan pria, mengharamkan wanita membuka auratnya???

Logika apa yang dipakai jika an-Nabhani mengharamkan semua itu, tapi menghalalkan meraba-rabanya bagi kaum laki-laki?

Logika apa yang dipakai jika an-Nabhani mengharamkan semua itu, tapi an-Nabhani menghalalkan meremas-remas tubuh (aurat) wanita?

Jika itu anda yang katakan, maka sama saja menuduh an-Nabhani gila. Bagaimana orang gila seperti itu bisa lulus jenjang tertinggi di al-Azhar? Al-Azhar meluluskan orang yang nalarnya tidak hidup?

Jika ini clear dan membuat anda faham bahwa an-Nabhani tidak seperti yang mereka gambarkan, an-Nabhani hanya membolehkan ---dengan syarat tidak ada syahwat dan jika diperlukan -- menyentuh YANG BUKAN AURAT, maka silahkan anda lanjutkan membaca tulisan ini. Jika tidak, maka tutup saja layar HP anda dari tulisan ini.

Terakhir, apa alasan an-Nabhani membolehkan menyentuh yang bukan aurat -dengan syarat tidak ada syahwat dan ada hajat?

Alasannya adalah firman Allah:
أو لمستم النساء.

Ayat ini, banyak menjadi perbincangan ulama terkait apa makna al-lams (اللمس)? Al-Syafi'i berbeda dengan Imam Malik maupun Imam Abu Hanifah. As-Syafi'i memaknai kata al-Lams sebagai sentuhan tangan biasa. An-Nabhani pun demikian, memahami seperti Imam as-Syafi'i. (lihat: as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/109).

An-Nabhani memahami ada dalalah isyarah pada ayat ini, di mana dalalah isyarah ini menunjukkan bahwa hukumnya boleh menyentuh perempuan. (an-Nabhani, as-Syakhshiiyah, 3/115).

Seperti kita ketahui, kata an-nisa pada ayat ini bersifat umum, sehingga mencakup bagian tubuh manapun. Namun, keumuman ini jelas tidak berlaku, karena terdapat banyak dalil-dalil manthuq yang telah mengharamkan menyentuh aurat. Kaidah seperti ini juga maklum bagi para pelajar ushul fiqh, apalagi bagi an-Nabhani.

Sehingga, menjadi  jelas bagi kita bahwa maksud an-Nabhani adalah, boleh menyentuh -dengan syarat tidak ada syahwat - bagian yang bukan aurat berdasarkan mafhumnya ayat ini dan manthuqnya dalil-dalil yang lain.

Memahami perkataan manusia, termasuk an-Nabhani, yang bersifat umum berdasarkan perkataannya yang lain, sehingga perkataan sesorang dapat kita fahami dengan benar juga merupakan perkara yang penting, seperti halnya memahami perkataan as-Syari' (al-Quran dan Sunnah) yang bersifat umum mengacu kepada yang bersifat khusus. Hal ini juga sudah maklum bagi yang terbiasa mengkaji perkataan ulama. Misalnya dalam mazhan Syafi 'i sering kita menjumpai perkataan seorang ulama yang memiliki makna umum, namun makna umum tersebut tidak berlaku dan tidak dapat disandarkan kepadanya karena dalam kesempatan lain, atau di kitab yang laian, atau karena ada siyaq tertentu, makna umum tersebut harus dibatasi dengan perkara-perkara yang khusus. Begitu seterusnya.

Kembali kepada dalalah isyarah. An-Nabhani menjelaskan bahwa dalalah isyarah adalah keberadaan kalam sedang berbicara tentang satu hukum tertentu, namun dari kalam tersebut dapat difahami hukum lain yang bukan hukum di mana kalam dikemukakan untuk menjelaskannya. (lihat: as-Syakhshiyyah, 3/185).

An-Nabhani mencontohkan ayat:
وحمله وفصاله ثلاثون شهرا
yang digabung dengan ayat:
وفصاله في عامين

Dapat memberikan pengertian hukum bahwa minimal masa kehamilan adalah enam bulan. Tapi, hukum ini bukanlah hukum yang menjadi tujual semua dua ayat di atas diturunkan atau jelaskan. (hal. 185).

Dalam konteks bahasan kita, ayat:
أولمستم النساء
yang menurut an-Nabhani tujuan semula bicara tentang perkara yang membatalkan wudhu, namun secara isyarat tidak langsung bicara bolehnya menyentuh kulit perempuan dengan batas dan syarat tertentu.

Demikian. Semoga telah jelas. Urusan anda setuju itu perkara lain. Yang penting tidak membuat fitnah, freming jahat, dan semacamnya.

Wallah a'lam.

FITNAH BASI MENJAMUR LAGI

FITNAH BASI MENJAMUR LAGI

By: Poetra Sambu

Dari mana saya mau memulai tulisan ini ya? Begini, tuduhan bahwa Hizbut Tahrir, An-Nabhani, dan para pengikutunya membolehkan tindakan cabul, seperti mencim atau meraba-raba perempuan non maharom merupakan fitnah yang telah sangat lama, mungkin sudah tiga atau empat dekade yang lalu.

Hanya Allah yang tahu seberapa besar  dan berat beban pihak-pihak yang secara sengaja membuat fitnah tersebut dan atau yang menyebarluaskannya dengan sadar.
الفتنة نائمة لعن الله من أيقظها
Fitnah itu sebenarnya tidur. Laknat Allah atas orang yang membangunkannya.

Begitu bunyi hadits dhoif dari Anas bin Malik ra.

Baik, kita mulai tulisan ini.

1. CIUMAN DENGAN PEREMPUAN

Dalam kaitannya dengan tuduhan Hizbut Tahrir/ An-Nabhani membolehkan ciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, meski tanpa syahwat, jelas merupakan fitnah.

An-Nabhani di dalam an-Nizham al-Ijtima'i menegaskan:
وهذا بخلاف القبلة، فقبلة الرجل لامرأة أجنبية يريدها وقبلة المرأة لرجل أجنبي تريده هي قبلة محرمة.
Ini jelas berbeda dengan (hukum) ciuman. Ciuman seorang lelaki terhadap serorang perempuan ajnabiyah yang dia inginkan, atau ciuaman seorang perempuan terhadap seorang lelaki ajnabiy yang dia inginkan adalah CIUMAN yang DIHARAMKAN!! (lihat: hal. 53).

an-Nabhani kemudian menjelaskan alasannya, beliau mengatakan:
لأنها من مقدمات الزنا، ومن شأن هذه القبلة أن تكون من مقدمات الزنا عادة، ولو كانت من غير شهوة، ولو لم توصل إلى الزنا ولو لم يحصل الزنا
Sebab, ciuman merupakan bagian dari pendahuluan zina. Dan memang biasanya hal semacam ciuman ini bagian dari pengantar zina, meski TANPA SYAHWAT, dan meski tidak sampai nengantarkan pada zina dan benar-benar tidak terjadi zina.

Lebih jauh an-Nabhani kemudian mengemukakan istidlal beliau atas perkara ini, beliau mengatakan:
لأن قول الرسول صلى الله عليه وآله وسلم لماعز لما جاءه طالبا منه أن يطهره لأنه زنى: ( لعلك قبلت)، أخرجه البخاري من طريق ابن عباس، يدل على أن مثل هذه القبلة هي من مقدمات الزنا، ولأن الآيات والآحاديث التي تحرم الزنا تشمل تحريم جميع مقدماته ولو كانت لمسا كما يحصل بين الشباب والشبات، فهذه القبلة تكون محرمة حتى ولو كانت للسلام على قادم من سفر لأن من شأن هذه القبلة بين الشباب والشبات أن تكون من مقدمات الزنا
Sebab, sabda Nabi saw. kepada Ma'iz, saat dia datang kepada beliau memohon disucikan karena dia telah berzina: "Mungkin engkau mencium?!" (HR. Bukhari dari Ibn Abbas) menunjukkan bahwa semacam ciuman ini merupakan bagian dari pendahuluan dari zina. Apalagi, ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan zina  mencakup pula semua pendahuluannya, meski HANYA MENYENTUH, seperti yang terjadi antara para pemuda dan pemudi. Jadi, ciuman ini HARAM, meski sekedar sebagai penghormatan saat tiba dari safar. Sebab, sudah menjadi tabiat ciuman ini yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi merupakan pendahuluan dari zina. (hal. 53).

Mudah-mudahan clear soal ini. Ini penjelasan, dan saya menduga saya tidak dapat mendatangkan yang lebih jelas lagi dari perkataan an-Nabhani soal ciuman ini.

Siapa yang sebelumnya menyebar fitnah ini karena belum tahu, silahkan mantapkan posisi anda; berhenti atau lanjut fitnah. Itu urusan anda dengan Allah yang Maha Adil. Bagi yang sudah biasa menfitnah dan tahrif kalimah, maka persoalannya akan lebih rumit, kecuali saya bisa menghentikan aliran dana itu atau memadamkan api kebencian itu.

**********
2. JABAT TANGAN DENGAN PEREMPUAN

Baik, kita lanjut soal kedua, yaitu tentang mushafahah (jabat tangan) antara laki-laki dengan perempuan ajnabiyah. Apakah juga fitnah?

Jawabannya, sebagiannya fakta, dan sebagiannya fitnah, sebagiannya lagi freming.

Fakta, bahwa Hizbut Tahrir membolehkan jabat tangan antara laki-laki dan perempuan ajanabiyah. Namun dengan syarat: TIDAK ada SYAHWAT dan tidak ada MAKSUD mencari KENIKMATAN (taladzdzudz).

Hal ini dikatakan sendiri oleh an-Nabhani di dalam an-Nizham al-Ijtima'i, hal. 53. An-Nabhani berdalil dengan hadits riwayat al-Bukhari dari Ummu Athiyah saat Nabi saw. membaiat kaum wanita. Ummu Athiyah mengatakan:
بايعنا النبي صلى الله عليه وسلم فقرأ علينا أن لا يشركن بالله شيئا ونهانا عن النياحة فقبضت امرأة منا يدها.
"Kami membaiat Nabi saw. Maka beliau pun membacakan kepada kami: Hendaklah mereka tudak menyekutukan Allah dengan suatu apapun. Nabi saw. juga melarang kami melakukan niyahah. Ketika itulah salah seorang wanita di antara kami me-qabdh tangannya".

Kita tahu bahwa biasanya baiat dilakukan dengan berjabat tangan. Maka --menurut an-Nabhani --kata qabdh di dalam hadits itu berarti menarik. Memang kata qabdh punya banyak arti, diantaranya menarik, menggeggam, dan menyempitkan. Sesuai dengan siyaq hadits, kata qabdh --menurut an-Nabhani -- berarti menarik, bukan yang lain. Sehingga artinya, saat baiat tersebut ada seorang wanita yang MENARIK tangannya.

Sampai di sini mudah-mudahan clear. Inilah manthuq hadits Ummu Mathiyah.

Nah, menurut an-Nabhani hadits di atas secara mafhum memiliki pengertian bahwa wanita-wanita yang lain mengulurkan tangannya, artinya mereka menjabat tangan Nabi saw.

Mafhum ini seolah bertentangan dengan manthuq hadits Nabi saw pada kesempatan baiat juga, seperti diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Asiyah, tentang baiat Nabi saw. kepada wanita Muhajirat, di mana saat itu Nabi saw. bersabda:
قد بايعتك كلاما
Aku telah membaiat kamu secara verbal.

Dan Aisyah mengatakan:
والله ما مست يده يد امرأة قط في المبايعة، وما بايعهن إلا بقوله
"Demi Allah tangan beliau tidak menyentuh tangan seorang wanita pun saat berbaiat. Beliau hanya membaiat mereka dengan ucapan".

Juga dengan hadits riwayat Malik dari Amimah binti Raqiqah yang menceritakan kisah baiatnya kepada Nabi saw. bersama sejumlah wanita, di mana mereka mengatakan kepada  Rasulullah:
هلم نبايعك يا رسول الله
"Mari, baiatlah kami (dengan jabat tangan) wahai Rasulullah".

Lalu Rasulullah saw. menjawab:
إني لا اصافح النساء
"Aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita".

Nampak kesimpulan an-Nabhani terhadap mafhum hadits Ummu Athiyyah bertentangan dengan hadits-hadits ini.

Lantas bagaimana?

Menurut an-Nabhani, di kitab Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 3/114, --- saat menjelaskan tentang ta'arudh bayna aqwal an-nabiy (kontradiksi antara beberapa ucapan Nabi) --- sebenarnya tidak terjadi ta'arudh. Bisa dilakukan jama', yaitu bahwa penolakan Nabi saw. melakukan jabat tangan tidak berarti mengharamkan.

Begitulah an-Nabhani beristidlal dan melakukan jama' terhadap dua kelompok dalil yang nampak bertentangan, dan sampai pada kesimpulan bahwa jabat tangan seorang laki-laki dengan perempuan dengan syarat tidak ada syahwat hukumnya boleh.

*****
Sampai di sini anda boleh setuju dan boleh tidak setuju. Yang tidak boleh anda lakukan adalah mengatakan apa yang tidak dikatakan oleh an-Nabhani, misalnya mengatakan an-Nabhani membolehkan jabat tangan meski ada syahwat. Atau mengatakan an-Nabhani membolehkan meraba-raba, nggrayangi, atau meremas-remas seorang wanita. Atau mengatakan an-Nabhani membolehkan cabul. Ini fitnah.

Saya tidak sedang memposisikan diri mendukung istidlal an-Nabhani, jadi terlepas anda setuju atau tidak dengan kesimpulan an-Nabhani tentang hukum jabat tangan tersebut, bukan fukos saya kali ini. Ada banyak buku dan tulisan-tulisan yang mendukung kemubahan jabat tangan laki-laki perempuan dengan syarat tidak ada syahwat. Ada banyak pula kitab dan tulisan yang membantahnya. Sebagian ulama kontemporer juga sependapat dengan an-Nabhani dalam masalah jabat tangan ini, diantaranya al-Qardhawi, Ali Jum'ah, bahkan Syekh Azhar Ahmad Thayuib sendiri, dll.

Artinya apa? masalah jabat tangan ini boleh saja anda menguliti pendapat yang membolehkan sampai tinggal tulang-tulangnya. Satu yang tidak boleh: Membuat fitnah dan mengada-ada apa yang tidak ada.

3. MERABA TUBUH PEREMPUAN

Masih ada satu masalah lagi, yaitu potongan perkataan an-Nabhani di dalam an-Nizham al-Ijtima'i:
وايضا فإن مفهوم قوله تعالى: ((أو لمستم النساء)) بلفظه العام لجميع النساء من حيث أن الملامسة تنقض الوضوء يدل اقتصار الحكم على نقض الوضوء من لمس النساء على أن لمسهن بغير شهوة ليس حراما فمصافحتهن ليس حراما.
"Selain itu, mafhum dari firman Allah swt.: (atau kalian menyentuh perempuan) -- di mana kata perempuan datang dalam bentuk umun, sehingga mencakup semua perempuan, dilihat dari aspek sentuhan laki-laki dengan perempuan dapat membatalkan wudhu --- dan ayat ini membatasi pada hukum membatalkan wudhu karena bersentuhan dengan  perempuan menunjukkan bahwa menyentuh mereka dengan tanpa syahwat tidaklah haram. Oleh karenanya berjabat tangan juga tidak haram". (lihat: hal. 53)

Dari potongan perkataan an-Nabhani ini muncul freming bahwa an-Nabhani membolehkan menyentuh tubuh perempuan di bagian manapun, termasuk meraba-raba tubuh perempuan, asal tidak ada syahwat. Apakah benar demikian maksud dari potongan perkataan an-Nabhani di atas?

Inilah fokus kita pada bagian terakhir ini.

Sebelum kita mengambil kesimpulan, kita wajib melakukan konfirmasi ke beberapa bagian dari pandangan an-Nabhani terkait dengan masalah interaksi laki-laki dan perempuan, aurat perempuan, dan tentu merujuk kepada konsep ushul fiqh an-Nabhani sehingga dapat melahirkan kesimpulan tertetu dari potongan ayat di atas (yang sepertinya belum pernah ada ulama mengambil kesimpulan seperti an-Nabhani).

Dengan ini kita berharap bisa adil dan jujur dalam memposisikan an-Nabhani dalam timbangan ilmiah.

Baik, kita mulai bagaimana an-Nabhani memandang interaksi laki-laki dan wanita.

Di dalam kitab an-Nizham al-Ijtima'i an-Nabhani menulis bab khusus tentang tanzhim (pengaturan) interaksi antara laki-laki dan perempuan.  Berangkat dari falsafah bahwa laki-laki dan perempuan keduanya bisa saling memberikan daya tarik, namun tentu tidak mungkin antara laki-laki dan perempuan dipisahkan secara total mengingat laki-laki dan perempuan dalam banyak hal harus saling ta'awun, bantu membantu, maka diperlukan adanya aturan yang mengatur hubungan antara laki-laki dengan perempuan di mana aturan ini dapat menjamin keberlangsungan kehidupan manusia di mana laki-laki dan perempuan saling membantu namun tanpa  aspek yang dapat mengantarkan terjadinya perkara yang dikhawatirkan. (Lihat: hal. 25).

An-Nabhani kemudian menegaskan bahwa satu-satunya aturan yang dapat menjamin kebaikan hidup dan mengatur  interaksi laki-laki dengan perempuan secara alamiyah, di mana aspek KEIMANAN menjadi LANDASANNYA dan  HUKUM SYARA' menjadi standarnya, termasuk hukum-hukum yang akan mewujudkan nilai-nilai moral yang tinggi, adalah SISTEM PENGATURAN INTERAKSI dalam Islam. (Hal. 26)

An-Nabhani kemudian menjelaskan bahwa satu-satunya jalan yang diberikan oleh Islam untuk memenuhi naluri seks dengan beragam tuntutan dan pendahuluannya adalah dengan menikah atau memiliki budak (lihat: hak. 26).

Meski demikian, bukan berarti terjadinya interaksi antara laki-laki dan perempuan asing lantas dilarang total. Tidak demikian. Islam mengajarkan ta'awun antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam kehidupan ini. (lihat: hal. 27).

Namun Islam sangat berhati-hati dalam perkara ini, sehingga Islam melarang SEGALA SESUATU yang dapat mengarahkan interaksi antara laki-laki dan perempuan menjadi INTERAKSI yang BERBELOK menjadi, atau BERORIENTASI seksual. (hal. 28).

Karenanya Islam mensyariatkan beberapa hukum dan memberikan batasan-batasan tertentu dengan hukum-hukum ini. Diantaranya (1) menundukkan pandangan, (2) wanita wajib memakai pakaian yang syar'iy (Jilbab dan Khimar), (3) wanita dilarang safar tanpa mahram, (4) dilarang khalwat antara laki-laki dan perempuan, (5) larangan keluar rumah tanpa izin suami, (6) wajibnya infishil (terpisah) anatara komunitas/kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan dalam kehidupan khusus; di masjid, di sekolah, di kantor, dan semacamnya, sehingga perempuan hidup di komunitas perempuan dan laki-laki juga hidup di komunitas laki, dan tidak campur baur, (7) mewajibkan interaksi laki-laki dan perempuan hanya dalam masalah yang bersifat umum, seperti jual beli, bukan interaksi yang bersifat khusus, seperti saling mengunjungi. (lihat: hal. 28-30)

Itulah sebagian pandangan an-Nabhani terkait interaksi antara laki-laki dan perempuan. Mudah-han anda sudah dapat mulai melihat cahaya yang akan menerangi jalan anda memahami gelapnya fitnah yang dialamatkan kepada an-Nabhani dalam masalah ini.

Terkait memandang wanita non mahram, an-Nabhani berpandangan kaum laki-laki haram melihat aurat wanita, yaitu SELAIN MUKA dan TELAPAK TANGAN, baik DENGAN maupun TANPA SYQHWAT!!!  Sebaliknya, dalam kondisi normal, menurut an-Nabhani mboleh melihat wajah dan telapak tangan wanita dengan syarat TIDAK ADA SYAHWAT, TIDAK mencari KENIKMATAN dengan melihatnya. (lihat: hal. 38, 40, 41, dan 42).

Terkiat dengan aurat wanita, yakni selain muka dan telapak tangan, an-Nabhani tidak melepaskannya hari hukum-hukum yang lain, yakni seperti tabarruj dan Khimar dan Jilbab yang sesuai aturan syara', tidak ketat, tidak potongan, tidak berparfum, dan yang semacamnya. (lihat: 44-46).

Dari uraian di atas apakah anda masih beranggapan bahwa an-Nabhani membolehkan tindakan cabul? An-Nabhani menghalkan grayangi tubuh wanita selain istrinya? an-Nabhani membolehkan meraba-bahkan meremas-remas tubuh wanita lain, seperti digambarkan oleh salah seorang pendekar ASWAJA dalam sebuah vedio yang disebar luaskan??!!!

Jika anda masih yakin atau minimal masih percaya dengan fitnah-fitnah cabul seperti itu, saya harap anda tidak usah melanjutkan membaca tulisan ini!! Sebab, jika mukadimah, pengantar ini tidak membuka akal dan fikiran anda, saya yakin mungkin sampai kapanpun akan tetap terkunci rapat untuk memahami dengan jujur masalah ini.

Sementara itu, saat menjelaskan bagaimana kaum perempuan berperan dalam kehidupan, di mana seorang perempuan bisa menjadi pegawai negeri, berjualan, berbisnis, dan seterusnya, an-Nabhani mengatakan bahwa sistem interaksi dalam Islam antara satu dengan yang lain saling terkait. Sehingga ketika wanita keluar rumah, bekerja, berbisnis, dan yang sejininya, bukan berarti dia bebas dari hukum-hukum syara' yang mengatur masalah ini, sehingga ia bebas keluar rumah dengan dandanan menor, seolah seperti pengantin wanita akan dipertemukan dengan pengantin pria. Tentu tidak begitu, sebaliknya wajib terikat dengan hukum-hukum yang ada. Dinataranya: (1) wajib tundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempian. (2) wajib taqwa kepada Allah. (3) wajib menjauhi perkara-perkara syubuhat. (4) wanita  wajib berpakaian yang penuh dengan kewibawaan (jilbab dan khimar), (5) haram berkhalwat, (6). Haram tabarruj. (7) haram mengambil pekerjaan/profesi yang merusak akhlaq atau merusak masyarakat, seperti pekerjaan yang mengeksploitasi unsur kewanitaan atau maskulinitas. (lihat: hal. 91-100).

Hukum-hukum tersebut juga beliau singgung di dalam kitab Masyru' Dustur di bab An-Nizham al-Ijtima'iy.

Dari semua paparan di atas mudah-mudahan kita sudah mendapat gambaran bagaimana an-Nabhani memandang interaksi wanita dan laki-laki.

Dari sini, saya akan mulai jelaskan potongan perkataan an-Nabhani dalam an-Nizham al-Ijtima'i:
وايضا فإن مفهوم قوله تعالى: ((أو لمستم النساء)) بلفظه العام لجميع النساء من حيث أن الملامسة تنقض الوضوء يدل اقتصار الحكم على نقض الوضوء من لمس النساء على أن لمسهن بغير شهوة ليس حراما فمصافحتهن ليس حراما.

Yang oleh sebagian orang -semoga Allah mengampuni kita semua - difreming bahwa an-Nabhani membolehkan meraba-raba tubuh wanita non mahram dengan syarat tanpa syahwat!!

Sebagaimana kita ketahui para ulama, dalam kaitannya menyentuh aurat,  mengatakan:
كل ما حرم النظر اليه حرم مسه لأن المس أبلغ من النظر
Setiap perkara yang haram dilihat, maka haram disentuh, karena menyentuh lebih kuat dari pada melihat.

Karena melihat aurat haram, maka menyentuhnya juga haram. Dengan alasan yang mirip, an-Nabhani membolehkan jabat tangan, yaitu karena telapak tangan bukan aurat dan boleh dilihat, karenanya boleh disentuh (tanpa syhawat). Meski di sini an-Nabhani berbeda dengan  beberapa ulama, di mana mereka mengatakan: meski telapak tangan boleh dilihat, tapi tidak boleh disentuh. Alasannya menyentuh lebih kuat.

Nah, di sini, yakni menyentuh aurat, an-Nabhani berpandangan haram, karena jika melihat tidak boleh maka menyentuh juga tidak boleh. Setara dengan kaidah an-Nabhani tentang telapak tangan, karena telapak tangan bukan aurat dan boleh dilihat maka boleh disentuh (tanpa syahwat). Sehingga, sesuai kaidah an-Nabhani, dapat dikatakan: Karena aurat (yaitu selain muka dan telapak tangan) adalah aurat, maka tidak boleh dilihat, karenanya haram disentuh.

Sebab, memang perkara ini telah ma'lum 'indal ulama'. Yakni hukum menyentuh aurat, dengan syahwat ataupun tidak, aurat laki-laki oleh laki, atau aurat perempuan oleh perempuan, apalagi beda jenis, hukumnya telah jelas, maklum dan kata an-Nawawi, di dalam syarah Shahih Muslim, muttafaq 'alayh (perkara yang disepakati ulama'). 

Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw:

(لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل ولا تنظر المرأة إلى عورة المرأة ولا يفضي الرجل إلى الرجل في الثوب الواحد ولا تفضي المرأة إلى المرأة في الثوب الواحد)
"Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki dan seorang perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan. Dan seroang laki-laki tidak boleh dalam satu kain dengan seorang laki-laki, begitu juga seorang perempuan tidak boleh dalam satu kain dengan perempuan". (HR. Muslim, Abu Dawud,  Tirmidzi, dan yang lain).

Hadits ini tegas mengharamkan sentuhan aurat antara laki-laki dengan laki dan perempuan dengan perempuan. Lalu bagaimana dengan sentuhan aurat laki-laki dengan perempuan? jelas!

Dari semua laparan di atas, jelas bahwa yang maksud oleh an-Nabhani dalam perkataan beliau:
"..... على أن لمسهن بغير شهوة ليس حراما"
"....... Bahwa menyentuh perempuan tanpa syahwat tidak haram"

---- adalah menyentuh yang bukan aurat!! Tidak ada makna selain itu, bagi orang yang faham perkataan para ulama dan membaca kitab-kitab an-Nabhani dengan jujur.

Bagaimana mungkin an-Nabhani menghalal meraba tubuh (baca aurat) wanita sementara an-Nabhani mengaramkan memandang aurat dan mengharamkan wanita ikhthilat dengan kaum pria, mengharamkan wanita berkhalwat dengan pria, mengharamkan wanita membuka auratnya???

Logika apa yang dipakai jika an-Nabhani mengharamkan semua itu, tapi menghalalkan meraba-rabanya bagi kaum laki-laki?

Logika apa yang dipakai jika an-Nabhani mengharamkan semua itu, tapi an-Nabhani menghalalkan meremas-remas tubuh (aurat) wanita?

Jika itu anda yang katakan, maka sama saja menuduh an-Nabhani gila. Bagaimana orang gila seperti itu bisa lulus jenjang tertinggi di al-Azhar? Al-Azhar meluluskan orang yang nalarnya tidak hidup?

Jika ini clear dan membuat anda faham bahwa an-Nabhani tidak seperti yang mereka gambarkan, an-Nabhani hanya membolehkan ---dengan syarat tidak ada syahwat dan jika diperlukan -- menyentuh YANG BUKAN AURAT, maka silahkan anda lanjutkan membaca tulisan ini. Jika tidak, maka tutup saja layar HP anda dari tulisan ini.

Terakhir, apa alasan an-Nabhani membolehkan menyentuh yang bukan aurat -dengan syarat tidak ada syahwat dan ada hajat?

Alasannya adalah firman Allah:
أو لمستم النساء.

Ayat ini, banyak menjadi perbincangan ulama terkait apa makna al-lams (اللمس)? Al-Syafi'i berbeda dengan Imam Malik maupun Imam Abu Hanifah. As-Syafi'i memaknai kata al-Lams sebagai sentuhan tangan biasa. An-Nabhani pun demikian, memahami seperti Imam as-Syafi'i. (lihat: as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/109).

An-Nabhani memahami ada dalalah isyarah pada ayat ini, di mana dalalah isyarah ini menunjukkan bahwa hukumnya boleh menyentuh perempuan. (an-Nabhani, as-Syakhshiiyah, 3/115).

Seperti kita ketahui, kata an-nisa pada ayat ini bersifat umum, sehingga mencakup bagian tubuh manapun. Namun, keumuman ini jelas tidak berlaku, karena terdapat banyak dalil-dalil manthuq yang telah mengharamkan menyentuh aurat. Kaidah seperti ini juga maklum bagi para pelajar ushul fiqh, apalagi bagi an-Nabhani.

Sehingga, menjadi  jelas bagi kita bahwa maksud an-Nabhani adalah, boleh menyentuh -dengan syarat tidak ada syahwat - bagian yang bukan aurat berdasarkan mafhumnya ayat ini dan manthuqnya dalil-dalil yang lain.

Memahami perkataan manusia, termasuk an-Nabhani, yang bersifat umum berdasarkan perkataannya yang lain, sehingga perkataan sesorang dapat kita fahami dengan benar juga merupakan perkara yang penting, seperti halnya memahami perkataan as-Syari' (al-Quran dan Sunnah) yang bersifat umum mengacu kepada yang bersifat khusus. Hal ini juga sudah maklum bagi yang terbiasa mengkaji perkataan ulama. Misalnya dalam mazhan Syafi 'i sering kita menjumpai perkataan seorang ulama yang memiliki makna umum, namun makna umum tersebut tidak berlaku dan tidak dapat disandarkan kepadanya karena dalam kesempatan lain, atau di kitab yang laian, atau karena ada siyaq tertentu, makna umum tersebut harus dibatasi dengan perkara-perkara yang khusus. Begitu seterusnya.

Kembali kepada dalalah isyarah. An-Nabhani menjelaskan bahwa dalalah isyarah adalah keberadaan kalam sedang berbicara tentang satu hukum tertentu, namun dari kalam tersebut dapat difahami hukum lain yang bukan hukum di mana kalam dikemukakan untuk menjelaskannya. (lihat: as-Syakhshiyyah, 3/185).

An-Nabhani mencontohkan ayat:
وحمله وفصاله ثلاثون شهرا
yang digabung dengan ayat:
وفصاله في عامين

Dapat memberikan pengertian hukum bahwa minimal masa kehamilan adalah enam bulan. Tapi, hukum ini bukanlah hukum yang menjadi tujual semua dua ayat di atas diturunkan atau jelaskan. (hal. 185).

Dalam konteks bahasan kita, ayat:
أولمستم النساء
yang menurut an-Nabhani tujuan semula bicara tentang perkara yang membatalkan wudhu, namun secara isyarat tidak langsung bicara bolehnya menyentuh kulit perempuan dengan batas dan syarat tertentu.

Demikian. Semoga telah jelas. Urusan anda setuju itu perkara lain. Yang penting tidak membuat fitnah, freming jahat, dan semacamnya.

Wallah a'lam.

Senin, 29 Juli 2019

HUKUM BERMUAMALAH DENGAN PEMILIK HARTA HARAM

HUKUM BERMUAMALAH DENGAN PEMILIK HARTA HARAM

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Hukum melakukan muamalah dengan pemilik harta haram, bergantung pada jenis harta haramnya. Ada 3 (tiga) macam harta sbb;

Pertama, harta yang bentuknya zat najis, seperti khamr, babi, bangkai. Haram hukumnya seseorang bermuamalah dengan pemilik harta ini, misalnya berjual-beli harta najis atau menerima hadiah berupa najis.

Hal ini karena terdapat dalil yang mengharamkan pemanfaatan zat najis sebagaimana sabda Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung.” (HR Bukhari).

Kedua, harta yang berasal dari non-muamalah, yaitu dari aktivitas sepihak yang tidak ada saling ridha. Misalnya harta curian, harta rampokan, harta rampasan.  Haram hukumnya seseorang bermuamalah dengan pemilik harta seperti ini,  seperti berjual-beli harta curian atau menerima hadiah harta curian.

Dalilnya sabda Nabi SAW, ”Barang siapa yang membeli harta curian sedangkan dia tahu harta itu curian, maka dia ikut menanggung cacatnya dan dosanya.” (HR Al Hakim dan Al Baihaqi).

Ketiga, harta yang berasal dari muamalah yang haram. Misalnya harta suap, harta gratifikasi, harta riba, gaji dari pekerjaan ribawi (misal pegawai bank). Hukumnya boleh bermuamalah dengan pemilik harta ketiga ini, seperti menerima pemberian hartanya, atau memakan makanan yang diberikan. Tetapi, sebaiknya kita tidak bermuamalah dengan pemilik harta ini.

Dalilnya Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat.

Dalil Al Quran firman Allah SWT (artinya): “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS Al An’aam [6] : 164).

Dalil As Sunnah, di antaranya :

(1) Nabi SAW menerima pembayaran jizyah dari orang Yahudi, padahal sudah diketahui harta orang Yahudi adalah harta riba;

(2) Nabi SAW menerima pemberian daging beracun dari seorang perempuan Yahudi di Khaibar, padahal perempuan itu juga berasal dari kalangan Yahudi yang bermuamalah riba;

(3) Nabi SAW pernah membeli bahan makanan dari orang Yahudi dengan agunan baju besinya, padahal penjualnya adalah orang Yahudi yang bermuamalah riba;

(4) Ibnu Mas’ud RA pernah ditanya mengenai orang yang bertetangga dengan pemakan riba, dan pemakan riba itu mengundang orang tersebut untuk makan-makan, apakah itu boleh? Maka Ibnu Mas’ud RA menjawab, “Penuhi saja undangan itu, karena makanan itu adalah bagimu sedang dosanya adalah tanggungan dia.” (Arab : ajiibuuhu fa-innamal mahna`u lakum wal wizru ‘alaihi). (Ibnu Rajab Al Hanbali, Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, hlm. 71).

Adapun dalil Ijma’ Shahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW), pernah Khalifah Umar memerintahkan pegawainya yang memungut kharaj (pajak tanah taklukan), agar tidak memungut kharaj dari non muslim dalam bentuk khamr dan babi, tapi non muslim tersebut diminta menjualnya lebih dulu, baru kemudian mereka membayar kharaj dengan uang hasil penjualannya. (lihat Imam Abu Ubaid, Al Amwal). Ijma’ Shababat ini menunjukkan bolehnya bermuamalah dengan pemilik harta haram jenis ketiga, yaitu harta yang berasal dari muamalah yang haram.

Berdasarkan ini, boleh hukumnya kita memakan sajian saudara yang bekerja di bank. Namun sebaiknya kita tidak memakannya, karena Islam itu mengajarkan ihtiyath (berhati-hati) dan bersikap wara`, yaitu menjauhkan dari hal-hal yang syubhat atau yang dikhawatirkan ada unsur keharaman, sebagaimana sabda Nabi SAW “Seorang hamba Allah tidak akan mencapai derajat orang yang bertaqwa hingga dia meninggalkan apa-apa yang tidak ada dosanya lantaran khawatir di situ ada dosanya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim).

Wallahu A’lam.

Minggu, 28 Juli 2019

HUKUM KHITAN PEREMPUAN

/ Hukum Khitan Perempuan /

Oleh: KH. Shiddiq Al-Jawi, S.Si., MSI

#MuslimahNewsID -- Para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukum khitan.

/ Pertama /, khitan wajib atas laki-laki dan perempuan. Ini pendapat ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah. (Imam Nawawi, Al-Majmu’, 1/300; Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, 1/103; Ibnu Juzzai, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, h.167).

/ Kedua /, khitan sunnah atas laki-laki dan juga perempuan. Ini pendapat ulama Hanafiyah, Imam Malik, Imam Ahmad dalam satu riwayat, dan Imam Syaukani. (Imam Sarakhsi, Al-Mabsuth, 1/156; Ibnu Juzzai, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, h.167; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 1/85; Imam Syaukani, Nailul Authar, 1/294).

/ Ketiga /, khitan wajib atas laki-laki, tapi sunnah (tidak wajib) atas perempuan. Ini pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain, sebagian ulama Malikiyah, dan ulama Zhahiriyah. (Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, 1/104; An-Nafrawi, Al-Fawakih Ad-Dawani, 1/461, Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 2/217).

Dari uraian di atas, para fuqaha sepakat khitan bagi perempuan disyariatkan (masyru’) dalam Islam. (Ibnu Hazm, Maratibul Ijma’, 1/157). Memang ada perbedaan pendapat mengenai hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah. Tapi tidak ada satu pun fuqaha yang berpendapat hukumnya makruh atau haram, atau dianggap tindakan kriminal yang harus diperangi, seperti klaim keji kaum kafir dan kaum liberal dewasa ini. (Nida Abu Ahmad, Hukm Al-Islam fi Khitan Al-Banin wa Al-Banat, h. 57; Abu Muhammad, Al-Khitan Syariah Ar-Rahman, h. 16).

Setelah meneliti dalil-dalilnya, yang kuat (rajih) menurut kami adalah pendapat ketiga, yaitu khitan wajib atas laki-laki, tapi sunnah (tidak wajib) atas perempuan. Imam Ibnu Qudamah menyatakan,”Adapun hukum khitan, hukumnya wajib atas laki-laki dan suatu kemuliaan (makrumah) atas perempuan, tidak wajib atas mereka.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 1/141).

Khusus mengenai pensyariatan khitan perempuan, dalilnya antara lain Nabi SAW pernah bersabda kepada perempuan tukang khitan,”Jika kamu mengkhitan [perempuan], maka hendaklah kamu sisakan dan janganlah kamu berlebihan dalam memotong.” (idza khafadhti fa-asymiy wa laa tanhakiy). (HR Abu Dawud. Hadis sahih. Syaikh Al-Albani, Silsilah Ash-Shahihah, 2/344).

Bagi yang mewajibkan khitan perempuan, hadits di atas dan yang semisalnya dianggap dalil wajibnya khitan atas perempuan. Karena kaidah ushuliyah menetapkan redaksi perintah (amr) menunjukkan hukum wajib (al-ashlu fi al-amr lil al-wujub). (Maryam Hindi, Khitan Al-Inats Baina Ulama Asy-Syariah wa Al-Uthaba`, h. 59).

Namun, kaidah ushuliyah yang lebih sahih, redaksi perintah (amr) hanya menunjukkan tuntutan melakukan perbuatan (al-ashlu fi al-amr li ath-thalab), tidak otomatis menunjukkan hukum wajib. Yang menentukan amr itu menunjukkan wajib atau mandub, adalah qarinah yang menyertai amr tersebut. (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsiyah Al-Islamiyah, 3/212).

Maka dari itu, hadits di atas hanya menunjukkan khitan perempuan adalah sunnah, bukan wajib. Sebab tidak terdapat qarinah yang menunjukkan keharusan melaksanakan perintah (amr) khitan bagi perempuan. Tidak adanya qarinah yang menyertai suatu perintah, menunjukkan hukum sunnah (mandub). (Atha bin Khalil, Taisir Al-Wushul ila Al-Ushul, h. 25; M. Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, h. 340). Kesimpulannya, hukum khitan bagi perempuan adalah sunnah, tidak wajib. Wallahu a’lam.

Kamis, 18 Juli 2019

HUKUM MENGEDIT FOTO

HUKUM MENGEDIT FOTO 'FACE APP'

Bagaimana hukum mengedit foto? Apakah face app termasuk aplikasi edit foto? Mungkin makalah ini bisa menjawab.

Ustadz, bagaimana hukumnya mengedit foto?

Jawab :

Sebelumnya perlu diterangkan dulu hukum memotret (mengambil foto dengan kamera). Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama mengharamkannya, karena dianggap sama dengan aktivitas mengambar dengan tangan, kecuali untuk foto yang sangat diperlukan (dharurah), seperti foto untuk identitas diri (KTP/paspor), untuk keperluan pendidikan, untuk mengungkap kejahatan, dan semisalnya. Yang berpendapat semacam ini misalnya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aal Syaikh, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh M. Ali Ash-Shabuni, dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani. (M. bin Ahmad bin Ali Washil, Ahkam At-Tashwir fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 232; Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Hukm Tashwir Dzawat Al-Arwah, hal. 70; Ali Ahmad Abdul ‘Aal Thahthawi, Hukm At-Tashwir min Manzhur Islami, hal. 108-109).

Namun sebagian ulama lain membolehkannya, dengan alasan hadits yang mengharamkan menggambar tak dapat diterapkan pada aktivitas memotret. Mereka ini misalnya Rasyid Ridha, Syaikh Ahmad Al-Khathib, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Najib Al-Muthi’i, Syaikh Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, dan Syaikh Taqiyuddin Nabhani. (M. bin Ahmad bin Ali Washil, ibid., hal. 241; Taqiyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/354).

Pendapat yang rajih menurut kami adalah yang membolehkan, sebab pendapat ini lebih cermat memahami fakta yang menjadi objek hukum (manath). Menurut Syaikh Taqiyuddin Nabhani, hadits yang melarang menggambar makhluk bernyawa tak dapat diterapkan untuk fakta memotret. Sebab orang yang memotret hanya sekedar memindahkan citra/bayangan dari fakta yang sudah ada ke dalam film melalui kamera, bukan menggambar suatu bentuk makhluk bernyawa dari ketiadaan. (Taqiyuddin Nabhani, ibid., 2/357)

Adapun mengedit foto suatu objek yang bernyawa, misalnya mengedit foto wajah manusia dengan mengubah warna kulit, menghilangkan kerutan wajah, mengubah warna bola mata, dan semisalnya, hukumnya haram. Sebab hadits-hadits yang mengharamkan menggambar makhluk bernyawa dapat diberlakukan pada aktivitas mengedit foto. (‘Atha bin Khalil, Jawab Sual, 21/09/2010).

Hadits-hadits tersebut antara lain sabda Nabi SAW, (HR Bukhari no 5963, dari Ibnu Abbas RA). Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda,Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar/patung (makhluk bernyawa) akan disiksa pada Hari Kiamat, dikatakan kepada mereka,’Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan.’ (HR Bukhari no 5951, dari Ibnu ‘Umar RA,).

Hadits-hadits ini menunjukkan haramnya membuat gambar atau patung makhluk bernyawa, sebab di dalamnya terdapat kecaman yang keras dari Allah SWT dalam bentuk perintah untuk meniupkan nyawa pada objek yang telah dibuat manusia. (Walid bin Rasyid As-Sa’idani, Hukm Tashwir al-Futughirafi, hal.5)

Hadits-hadits tersebut menurut Syaikh ‘Atha` bin Khalil dapat diberlakukan pula untuk aktivitas mengedit foto, seperti mengubah warna kulit atau menghilangkan kerutan wajah, baik dilakukan dengan alat lukis yang digerakkan tangan, atau dilakukan melalui mouse pada komputer.

Maka selama aktivitas editing foto terjadi melalui perbuatan / tindakan manusia untuk meniru bentuk makhluk bernyawa, maka mengedit foto makhluk bernyawa hukumnya haram. Sebab hadits-hadits di atas dapat diberlakukan pula untuk aktivitas mengedit foto makhluk bernyawa. Wallahu a’lam

KH. M. SHIDDIQ AL-JAWI

Senin, 15 Juli 2019

HARAM MENDIRIKAN KHILAFAH,KARENA MENYALAHI KESEPAKATAN?

HARAM MENDIRIKAN KHILAFAH, KARENA MENYALAHI KESEPAKATAN?

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Ada yang aneh dari penyataan Ahmad Ngisomudin, di persidangan PTUN, 15 Maret 2018 yang lalu, bahwa mendirikan Khilafah, khususnya di Indonesia, hukumnya haram, karena menyalahi kesepakatan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, Ngisomudin mengakui, bahwa Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun.[1]

Yang menarik, ahli lain yang dihadirkan pemerintah di persidangan PTUN berikutnya, 29 Maret 2018, ketika ditanya, “Apakah NKRI ini telah menerapkan syariat Islam?” Dijawab, “Tidak”. Kemudian, ditanya oleh Jubir HTI, Ustadz Ismail Yusanto, “Boleh tidak, mengubah kesepakatan dengan kesepakatan yang lebih baik?” Dijawab, “Boleh”. Dia menambahkan, “Kecuali mengubah NKRI.” Sambil mengutip Q.s. al-Maidah: 1:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ﴾ [سورة المائدة: 1]

“Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu.” [Q.s. al-Maidah: 01]

Q.s. al-Maidah: 01 ini memang sering dibajak, dan digunakan tidak pada konteksnya. Termasuk untuk melegitimasi kesepakatan yang menyalahi, bahkan membatalkan hukum Allah yang sudah ma’lumun min ad-dini bi ad-dharurah [diyakini urgensinya dalam agama], seperti kewajiban adanya Khilafah, dan kewajiban menegakkannya kembali, ketika tidak ada.

Makna Sebenarnya Q.s. al-Maidah: 1

Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, dalam kitabnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan makna ayat ini sebagai berikut:

قوله تعالى: ﴿أَوْفُوْا﴾ يقال: وفى وأوفى لغتان: قال الله تعالى: ﴿وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ﴾ [التوبة: 11]، وقال تعالى: ﴿وَإِبْرَاهِيْمَ الَّذِيْ وَفَى﴾ [النجم: 37].. فجمع بين اللغتين .

﴿بِالْعُقُوْدِ﴾: العقود الربوط، واحدها عقد؛ يقال: عقدت العهد والحبل، وعقدت العسل فهو يستعمل في المعاني والأجسام.

فأمر الله سبحانه بالوفاء بالعقود؛ قال الحسن: يعني بذلك عقود الدين وهي ما عقده المرء على نفسه؛ من بيع، وشراء، وإجارة، وكراء، ومناكحة، وطلاق، ومزارعة، ومصالحة، وتمليك، وتخيير، وعتق، وتدبير، وغير ذلك من الأمور، ما كان ذلك غير خارج عن الشريعة؛ وكذلك ما عقده على نفسه لله من الطاعات، كالحج، والصيام، والاعتكاف، والقيام، والنذر، وما أشبه ذلك من طاعات ملة الإسلام. وأما نذر المباح فلا يلزم بإجماع من الأمة؛ قاله ابن العربي.

قال ابن عباس: ﴿أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ﴾، معناه بما أحل وبما حرم وبما فرض وبما حد في جميع الأشياء؛ وكذلك قال مجاهد وغيره، وقال ابن شهاب: قرأت كتاب رسول الله ﷺ الذي كتبه لعمرو بن حزم حين بعثه إلى نجران وفي صدره: (هذا بيان للناس من الله ورسوله يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود فكتب الآيات فيها إلى قوله: إن الله سريع الحساب).

وقال الزجاج: المعنى أوفوا بعقد الله عليكم وبعقدكم بعضكم على بعض، وهذا كله راجع إلى القول بالعموم وهو الصحيح في الباب؛ قال ﷺ: (المؤمنون عند شروطهم) وقال ﷺ: (كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل وإن كان مائة شرط)، فبين أن الشرط أو العقد الذي يجب الوفاء به ما وافق كتاب الله أي: دين الله؛ فإن ظهر فيها ما يخالف رد؛ كما قال ﷺ: (من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد).

Firman Allah SWT: “Aufû” [tunaikanlah], ada yang mengatakan, “Wafâ wa Aufâ” adalah dua bahasa [lafadz yang berbeda]. Allah SWT berfirman: “Wa man Aufâ bi ahdihi mina-Llâh” [Siapakah yang lebih memenuhi janjinya ketimbang Allah?]. Allah SWT juga berfirman: “Wa Ibrahîma al-ladzî wafâ” [dan Ibrahim yang telah menunaikan [janjinya]]… Maka, Dia mengumpulkan dua bahasa [lafadz yang berbeda] tersebut.

“Bi al-Uqûd”: Lafadz, “Uqûd” artinya, “Rubûth” [ikatan]. Bentuk tunggalnya adalah, “Aqdun” [akad]. Ada yang mengatakan, “Aqadtu al-‘Ahda wa al-Habla” [aku mengikat janji dan tali]. “Aqqadtu al-‘Asla” [aku “mengikat” madu].[2] Lafadz tersebut digunakan untuk sejumlah makna dan jisim.

Allah SWT menitahkan, agar memenuhi akad. Al-Hasan berkata, maksudnya adalah akad-akad agama, yaitu apa yang diakadkan oleh seseorang terhadap dirinya, seperti akad jual, beli, ijârah, menyewakan lahan, nikah, talak, muzâra’ah [kerjasama bagi hasil pertanian], perdamaian, menguasakan milik, memberi pilihan [takhyîr], memerdekakan dan membebas budak, dan perkara lain, selama tidak keluar dari syariah. Begitu juga apa saja bentuk ketaatan yang diakadkan untuk dirinya, semata karena Allah, seperti haji, puasa, i’tikaf, qiyamullail, nazar, dan ketaatan dalam agama Islam lainnya. Adapun nazar yang mubah, maka berdasarkan kesepakatan umat tidak wajib ditunaikan. Itu dinyatakan oleh Ibn al-‘Arabi.

Ibn ‘Abbas berkata: “Aufû bi al-‘Uqûd” [Tunaikanlah akad-akad itu], maksudnya adalah apa saja yang dihalalkan, apa saja yang diharamkan, apa saja yang difardhukan, dan apa saja yang telah ditetapkan dalam semua perkara. Begitu juga Mujahid dan yang lainya berpendapat yang sama. Ibn Syihab berkatab: “Aku membaca surat Rasulullah yang ditulis kepada ‘Amru bin Hazm, ketika baginda saw. mengutusnya ke Najran, di permulaan surat itu dinyatakan: “Ini adalah penjelasan kepada umat manusia, dari Allah dan Rasul-Nya, wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu.” Baginda pun menuliskan ayat-ayat tersebut di dalamnya, sampai firman Allah yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah Maha Menyegerakan perhitungan-Nya.” [Q.s. al-Maidah: 4]

Az-Zujaj menjelaskan: Maknanya adalah tunaikanlah akad Allah kepada kalian, dan akad kalian kepada sesama kalian. Ini semua merujuk kepada pendapat berdasarkan keumuman lafadznya, dan ini merupakan pendapat yang sahih dalam konteks ini.

Rasulullah saw. bersabda, “Orang Mukmin itu sesuai dengan syarat yang mereka tetapkan.”, baginda saw. juga bersabda, “Tiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka statusnya batil, meski terdiri seratus syarat.” Maka, baginda saw. menjelaskan, bahwa syarat atau akad yang wajib ditunaikan adalah apa yang sesuai dengan kitab Allah, yaitu agama Allah. Jika tampak menyalahi [agama Allah], maka wajib ditolak. Sebagaimana sabda baginda saw, “Siapa saja yang melaksanakan suatu perbuatan, yang tidak menetapi tuntunan kami, maka perbuatan tertolak.” [3]

Imam as-Syafii [w. 204 H], dalam kitabnya, Ahkâm al-Qur’ân, juga menjelaskan:

قال الشافعي: هذا من سعة لسان العرب الذي خوطبت به، فظاهره عام على كل عقد. ويشبه (والله أعلم): أن يكون الله (تبارك وتعالى) أراد [أن] يوفوا بكل عقد – : كان بيمين، أو غير يمين. وكل عقد نذر: إذا كان في العقدين لله طاعة، أو لم يكن له – فيما أمر الوفاء منها – معصية.

Imam as-Syafii berkata: “Ini karena luasnya bahasa Arab, yang digunakan untuk menyampaikan seruan [khithab]. Secara dhahir tampak umum, meliputi semua akad. Juga (Allah Maha Tahu) seakan-akan: Allah [Tabaraka wa Ta’ala] menginginkan agar mereka menunaikan semua akad: Apakah berupa sumpah, atau bukan. Juga semua akad nazar. Jika dalam kedua akad tersebut hanya berisi ketaatan kepada Allah, atau –dalam perkara yang diperintahkan untuk ditunaikan– bukan untuk maksiat kepada-Nya.” [4]

Jadi, berdasarkan penjelasan Imam as-Syafii [w. 204 H] dan al-Qurthubi [w. 671 H] di atas, jelas bahwa perintah menunaikan akad di sini meliputi semua akad, dengan syarat tidak menyalahi hukum Allah. Sebaliknya, jika menyalahi hukum Allah, maka akad tersebut tidak boleh dilaksanakan. Terlebih, sudah menyalahi hukum Allah, akad yang sama juga digunakan untuk menghalangi tegaknya hukum Allah, maka lebih tidak boleh lagi. Lebih-lebih lagi, menghalangi tegaknya hukum Allah yang disepakati oleh para ulama’ sebagai perkara yang ma’lumun min ad-din bi ad-dharurah [diyakini urgensinya dalam agama], dan merupakan kewajiban paling agung [a’dham al-wajibat], maka jelas tidak boleh.[5]

Status Kesepakatan untuk Mengharamkan Kewajiban

Dalam kitabnya, al-‘Uqûd, al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, menjelaskan, bahwa bagian paling depan dari akad-akad itu adalah akad [ikatan] keimanan, yang mengikat manusia dengan Allah SWT, yang mengharuskannya untuk mengakui ketuhanan-Nya. Pengakuan ini mengharuskannya untuk beribadah dengan sempurna, terikat secara utuh, taat secara mutlak, dan berserah diri secara totalitas kepada Allah, Rabb semesta alam.

Akad [ikatan] keimanan inilah yang seharusnya menjadi sumber dan pondasi semua akad dan ketentuan hidup. Dari sini, maka “ikatan keimanan” itu masuk dalam konsepsi dasar akidah, yang diikat di dalam kalbu, bahkan dengannya ikatan dan hubungan dengan sesama manusia itu dibangun. Khususnya, antara sesama orang Mukmin, yang secara khusus diseru oleh Allah dalam seruan-Nya ini.[6]

Karena itu, jika akad-akad yang ada dalam kehidupan manusia ini bersumber dan didasarkan pada akidah Islam, serta terikat sepenuhnya dengan hukum Allah, maka akad-akad ini merupakan akad yang sah. Sebaliknya, jika akad-akad ini tidak bersumber dan dibangun berdasarkan akidah Islam, serta tidak terikat dengan hukum Allah, maka akad-akad ini pasti menyimpang. Itulah, mengapa para fuqaha’ membagi akad ini menjadi akad yang sah, fasad dan bathil.[7]

Akad yang fasid adalah akad yang terlaksana dan dianggap ada, tetapi karena tidak memenuhi ketentuan syara’ yang ditetapkan, maka akad ini tidak mempunyai pengaruh. Seperti jual-beli barang yang cacat. Jika pembelinya tidak menerima, maka akad jual-belinya bisa dibatalkan. Lebih parah dari akad yang fasid adalah akad bathil, karena akad ini tidak bisa diperbaiki, disebabkan akad melakukan keharaman, atau meninggalkan kewajiban, sekalipun pelakunya sama-sama suka. Transaksi zina adalah akad bathil, meski sama-sama suka. Karena akad ini adalah akad untuk melakukan keharaman. Begitu juga, akad untuk mengharamkan Khilafah adalah akad yang bathil, karena adanya Khilafah, telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum Muslim, hukumnya wajib.

Al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, menjelaskan:

أحكامه: العقد الباطل ليس له وجود شرعي، فهو في حكم العدم، ولا ينتج آثاره، ولا ينقلب إلى صحيح، ولتصحيحه لا بد من إعادة العقد بعد إزالة سبب بطلانه

“Hukumnya: Akad bathil itu, secara syar’i tidak ada. Status hukumnya seperti tidak ada. Ia juga tidak menimbulkan dampak [akibat]. Juga tidak bisa berubah menjadi sah. Untuk mengubahnya menjadi sah, maka akadnya harus diulang, setelah sebab [yang menyebabkan] kebathilannya dihilangkan.” [8]

Selain itu, para ulama’ juga telah membahas tentang kesepakatan ini dalam Ahkam as-Shulh [Hukum perdamaian]. Shulh [perdamaian] itu sendiri bertujuan untuk mencapai kesepakatan, dan menghilangkan perselisihan di antara para pihak. Ini sesuai dengan hukum asal mu’amalah itu sendiri. Hanya saja, syarat-syarat yang disepakati, dan mengikat para pihak tidak boleh menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda:

اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِيْنَ إِلاَ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً [رواه الترمذي]

“Kesepakatan damai di antara kaum Muslim itu boleh, kecuali kesepakatan damai yang menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal.” [Hr. At-Tirmidzi]

Karena itu, bisa dikatakan semua fuqaha’ telah sepakat, bahwa kesepakatan damai [sulh], jika menyangkut hak Allah, seperti kewajiban zakat, haji dan jihad, misalnya, sekalipun semua orang sepakat hukum ini dibatalkan, maka kesepakatan seperti ini bathil, dan tidak berlaku. Begitu juga, jika semua orang sepakat untuk membatalkan pelaksanaan hudud, seperti sanksi bunuh bagi orang murtad, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina muhshan, cambuk bagi pezina ghairu muhshan, dan sebagainya, maka kesepakatan seperti ini juga bathil, dan tidak berlaku.[9]

Nah, karena itu tidak ada satu pun ulama’ kaum Muslim, yang menyatakan, bahwa berjuang menegakkan Khilafah, yang wajib, menjadi haram hukumnya, karena dianggap melanggar kesepakatan. Justru sebaliknya, jika ada kesepakatan yang melarang kaum Muslim untuk menegakkan Khilafah, maka kesepakatan seperti ini jelas bathil, dan tidak berlaku. Bahkan, jika seluruh manusia sepakat, haram hukumnya menegakkan Khilafah, maka kesepakatan ini pun bathil, dan tidak berlaku, karena membatalkan apa yang diwajibkan oleh Allah.

Kesepakatan Mengharamkan Persatuan dan Kesatuan Umat

Allah menyatakan, bahwa umat Islam ini adalah satu, beragama satu, Tuhannya satu, kitab sucinya satu, Nabinya satu. Mereka juga merupakan satu tubuh, yang disatukan dalam satu negara, Khilafah. Dengannya, persatuan dan kesatuan umat ini benar-benar terwujud dengan nyata. Allah SWT berfirman:

﴿إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ ﴾ [سورة الأنبياء: 92]

“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” [Q.s. al-Anbiya’: 92]

Karena itu, para ulama sepakat, tentang kewajiban adanya satu Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia.

Pertama, Imam an-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim, menyatakan:

إذا بويع لخليفتين بعد خليفة، فبيعة الأول صحيحة، ويجب الوفاء بها، وبيعة الثاني باطلة، ويحرم الوفاء بها، ويحرم عليه طلبها وسواء عقدوا للثاني عالمين بعقد الأول، أم جاهلين، وسواء كانا في بلدين، أو بلد، أو أحدهما في بلد الإمام المنفصل، والآخر في غيره.. واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا..

“Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah dibaiatnya khalifah yang lain, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan. Sedangkan baiat yang kedua batil, dan haram ditunaikan. Juga harus bagi yang kedua untuk menuntutnya, baik mereka telah mengangkat yang kedua tadi tahu tentang pengangkatan yang pertama atau tidak. Baik keduanya di dua wilayah, satu wilayah, atau salah satunya di wilayah imam [Khalifah] yang terpisah, sementara yang lain di wilayah yang lain.. Para ulama’ telah sepakat, bahwa tidak boleh dua khalifah diangkat dalam satu waktu, baik Darul Islam tersebut luas atau tidak.”[10]

Kedua, al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, dalam kitabnya, Fath al-Bari, menyatakan:

والمعنى: إذا بويع الخليفة بعد الخليفة فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها، وبيعة الثاني باطلة، وقال القرطبي: في هذا الحديث – أي حديث: (أوفوا ببيعة الأول..) حكم بيعة الأول، وأنه  يجب الوفاء بها، وسكت عن بيعة الثاني، ونص عليه حديث عرفجة في صحيح مسلم، حيث قال: فاضربوا عنق الآخر..

“Maknanya: Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah dibaiatnya khalifah yang lain, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan. Sedangkan baiat yang kedua batil. Dalam konteks hadits ini, yaitu hadits, “Tunaikanlah bai’at yang pertama”, al-Qurthubi menjelaskan hukum baiat yang pertama, bahwa ia wajib ditunaikan. Beliau mendiamkan baiat yang kedua. Hadits Arfajah, dalam Shahih Muslim, telah menyatakannya, ketika menyatakan, “Maka, penggalah leher yang terakhir [dari keduanya]..”[11]

Ketiga, Imam al-Mawardi, dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, menyatakan:

فصل: وإذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما، لأنه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد

“Pasal: Jika imamah [Khilafah] telah diberikan kepada dua imam di dua wilayah, maka imamah [Khilafah] keduanya tidak sah. Karena umat ini tidak boleh mempunyai dua imam dalam satu waktu yang sama.”[12]

Keempat, Imam al-Farra’, dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, menyatakan:

ولا يجوز عقد الإمامة لإمامين في بلدين..

“Tidak boleh [haram] mengangkat imamah [Khilafah] untuk dua imam dalam dua wilayah.”[13]

Inilah pendapat berbagai ulama’ kaum Muslim, tentang kesatuan Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Ini bukan merupakan pendapat Hizbut Tahrir, tetapi para ulama’ muktabar di kalangan Ahlussunnah. Bahkan, ketika Imam al-Haramain al-Juwaini, menyatakan:

قال أصحابنا: لا يجوز عقدها لشخصين، قال: وعندي: أنه لا يجوز عقدها لاثنين في صقع واحد، وهذا مجمع عليه، قال: فإن بعد ما بين الإمامين، وتخللت بينهما شسوع فللاحتمال فيه مجال، وهو خارج من القواطع.

“Para pengikut mazhab kami berkata, “Tidak boleh imamah [Khilafah] itu diberikan kepada dua orang.” Menurut saya, “Imamah [Khilafah] itu tidak boleh diberikan kepada dua orang dalam satu wilayah. Ini telah disepakati.” Berkata [Para pengikut mazhab kami], “Jika wilayah di antara dua imam [Khalifah] itu jauh, dan dipisahkan oleh jarak, maka di sana ada kemungkinan. Ini keluar dari pendapat yang pasti.”[14]

Dalam konteks ini, Imam an-Nawawi dengan tegas menyanggah pendapat ini, dengan menyatakan:

وهو قول فاسد، لما عليه السلف والخلف، ولظواهر الأحاديث.

“Ini merupakan pendapat yang rusak, menyalahi apa yang menjadi pendapat ulama’ salaf dan khalaf, juga menyalahi dhahirnya sejumlah hadits.”[15]

Begitu juga dengan klaim pendapat Imam al-Mawardi, yang menyatakan kebolahan mengangkat dua orang untuk menduduki jabatan imamah (Khilafah). Dengan kata lain, tiap orang diangkat di wilayah yang berbeda dengan yang lain, sebagaimana konotasi ijmak yang dinukil oleh Imam al-Haramain al-Juwaini, justru Imam al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang aneh.[16]

Itulah pendapat para ulama’ muktabar tentang kedudukan satu Khilafah dan Khalifah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Pendapat ini dituangkan dalam kitab-kitab mereka. Jadi, jelas ini ada dalam kitab-kitab mereka. Pendapat yang disepakati oleh hampir seluruh ulama’ kaum Muslim.[17]

Selain itu, pendapat di atas juga menyepakati keharaman adanya lebih dari satu negara bagi umat Islam. Karena itu, kesepakatan untuk mendirikannya merupakan kesepakatan untuk menghalangi persatuan dan kesatuan umat. Karena itu, kesepakatan seperti ini juga tidak boleh.

Wallahu a’lam.[]

[1]     Ahmad Ngisomudin, M. Ag. Alias KH. Ahmad Ishomuddin, Gerakan Politik HTI Berbalut Dakwah Menuju Khilafah Islamiyyah, makalah yang disampaikan sebagai alat bukti persidangan di hadapan Majelis Hakim PTUN, 15 Maret 2018, hal. 13.

[2]     Maksud, “Aqqadtuhu al-‘Asla” adalah saya mengaduk madu itu hingga kental.

[3]     Al-‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet I, 1425 H/2004 M, Juz I/1004-1005.

[4]     Al-Imam al-Mu’adzdzam wa al-Mujtahid al-Muqaddam, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Idris as-Syafii, Ahkâm al-Qur’ân, Maktabah al-Khanji, Caero, cet II, 1414 H/1994 M, Juz II/66.

[5]     Al-Imam Ibn Taimiyyah, dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa, menyatakan, “Wajib diketahui, bahwa kekuasaan untuk mengurus urusan umat manusia adalah kewajiban agama yang paling agung. Bahkan, agama dan dunia ini tidak akan berdiri, kecuali dengannya.” Lihat, Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, Juz XXVIII/390.

[6]     al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, al-‘Uqûd, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, hal. 6.

[7]     al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, Juz I/1412-1413.

[8]     Idem, hal. 1413.

[9]     Idem, hal. 1243.

[10]    Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40.

[11]    Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Juz VI/497.

[12]    Imam al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.

[13]    Imam al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.

[14]    Lihat, Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41.

[15]    Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41.

[16]    Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, Juz I/336.

[17]    Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII/40-41; Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Juz VI/497; al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9; al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 9.