Minggu, 26 Desember 2021

Thalaq

KAPAN UCAPAN TALAK DIHUKUMI JATUH DAN KAPAN DIHUKUMI TIDAK?

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).

Intinya, talak lugas itu pasti jatuh, sementara talak tidak lugas itu tergantung niat.

Ucapan talak itu ada dua macam: lugas dan tidak lugas. Ucapan lugas disebut ṣarīḥ (الصريح) sementara ucapan tidak lugas disebut kināyah (الكناية).

Ucapan talak lugas/ṣarīḥ itu dihukumi jatuh tanpa membedakan apakah niatnya mentalak atau tidak niat mentalak. Ucapan talak kināyah itu hanya dihukumi jatuh jika disertai niat mentalak.

Dalam bahasa Arab, ucapan talak ṣarīḥ terbatas pada tiga lafal (dan turunannya) yaitu al-ṭalāq (الطلاق), al-firāq (الفراق) dan al-sarāḥ (السراح). Jadi, lelaki yang berkata kepada istrinya,

“ṭallaqtuki” atau
“fāraqtuki” atau
“sarraḥtuki”

Maka talak dihukumi jatuh meskipun dia tidak berniat mentalak.

Adapun lafal selain tiga ini, maka semua dihukumi kināyah.

Terjemah kata al-ṭalāq (الطلاق) dalam bahasa apapun juga dihukumi talak lugas/ṣarīḥ. Jadi, lelaki yang berkata dalam bahasa indonesia,

“Kamu kutalak!”

“Kamu tertalak!”

“Talakku sudah jatuh kepadamu.”

“Hai wanita yang tertalak!”

“Hai wanita yang kutalak!”

“Kamu kucerai!”

“Kita sudah cerai!”

“Hai wanita yang kucerai!”

Maka talaknya jatuh karena talak dan cerai adalah terjemahan dari lafal al-ṭalāq (الطلاق) dalam bahasa Arab. Dalam bahasa jawa, kata pegat/pegatan termasuk lafal lugas karena maknanya memang talak.

Itu semua adalah contoh-contoh ucapan talak lugas/ṣarīḥ dan turunanya dalam bahasa Arab maupun terjemahannya.

Adapun ucapan talak kināyah, maka itu berlaku pada semua kata selain 3 kata lugas tadi, termasuk terjemahannya dalam bahasa apapun. Terjemahan kata al-firāq (الفراق) dan al-sarāḥ (السراح), juga digolongkan ucapan talak tidak lugas /kināyah. Contoh kata talak tidak lugas dalam bahasa Indonesia,

“Kamu bebas!”

“Kamu haram bagiku!”

“Kamu lepas!”

“Saya selesai!

“Kamu pulang saja ke rumah orang tuamu!

“Beriddahlah!”

“Minggat sana!”

“Urus surat sana!”

“Aku sudah ndak peduli kamu!”

“Pergi kamu!”

“Menjauhlah dariku!”

“Berhijablah di depanku!”

“I am done!”

“Tinggalkan aku!”

“Ucapkan selamat tinggal!”

“The end!”

“Aku sudah gak butuh kamu!”

“Kamu terserah mau ngapain!”

“Cari lelaki lain!”

“Mungkin ada lelaki yang lebih baik daripada aku!”

Dan lain-lain.

Ucapan talak seperti ini dihukumi jatuh talak jika suami berniat mentalak dan tidak dihukumi jatuh talak jika niatnya tidak mentalak.

DALIL YANG MELANDASI KETENTUAN INI

Dalil yang menunjukkan bahwa talak lugas itu dihukumi jatuh tanpa membedakan ada niat mentalak ataukah tidak adalah ayat talak dalam Al-Qur’an. Allah mengajarkan syariat talak dengan tiga lafal dalam Al-Qur’an yaitu al-ṭalāq (الطلاق), al-firāq (الفراق) dan al-sarāḥ (السراح). Hal ini menunjukkan bahwa tiga lafal itu adalah lafal khusus untuk talak. Jika orang bercanda memakai 3 lafal talak yang khusus itu lalu tidak dihukumi jatuh talak, maka itu bermakna mempermainkan ayat Allah, padahal Allah berfirman,

{ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا} [البقرة: 231]
Artinya,

“Janganlah engkau jadikan ayat-ayat Allah sebagai lelucon.”

Jadi, agar bebas dari hukum mempermainkan ayat Allah atau menelantarkan hukum Allah, ucapan talak memakai 3 lafal tadi harus dihukumi jatuh meski tidak berniat talak.

Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ، وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ: النِّكَاحُ، وَالطَّلَاقُ، وَالرَّجْعَةُ “( سنن أبي داود (2/ 259)

Artinya,

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tiga perkara, seriusnya adalah serius dan candanya adalah serius, yaitu: nikah, perceraian, dan rujuk.” (H.R.Abū Dāwūd)

Dalam hadis di atas, ditegaskan bahwa ada tiga hal yang jika diucapkan hukumnya sah tanpa membedakan apakah serius ataukah bercanda. Talak adalah salah satunya. Mengucapkan talak sambil bercanda artinya tidak niat mentalak. Tetapi ketika dihukumi jatuh, maka hal ini menunjukkan niat tidak diperhitungkan dalam talak lugas.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ucapan talak tidak lugas membutuhkan niat mentalak agar dihukumi jatuh talak, maka itu didasarkan pada hadis berikut ini,

عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ ابْنَةَ الجَوْنِ، لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَنَا مِنْهَا، قَالَتْ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ، فَقَالَ لَهَا: «لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ، الحَقِي بِأَهْلِكِ» صحيح البخاري (7/ 41)
Artinya,

“Dari Aisyah Radliyallahu ‘Anha, bahwa ketika anak perempuan Al-Jaun dihadapkan pada Rasulullah ﷺ, dan beliau pun mendekat darinya, ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Maka beliau pun bersabda padanya: “Sesungguhnya kamu telah berlindung dengan Dzat Yang Maha Agung. Pulanglah kepada keluargamu.” (H.R. Al-Bukhārī)

Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ berkata kepada istrinya “ilḥaqī bi ahliki” (pulanglah ke keluargamu). Ucapan ini bukan talak lugas, tapi jelas maksud Rasulullah ﷺ saat itu adalah mentalak, dan benar wanita itu memang ditalak Nabi ﷺ sehingga pulang ke keluarganya. Sementara dalam hadis lain, dalam peristiwa hukuman kepada Ka‘ab bin Mālik, Rasulullah ﷺ memerintahkan Ka‘ab bin Mālik supaya tidak menyentuh istrinya. Kemudian Ka‘ab bin Mālik berkata kepada istrinya “ilḥaqī bi ahliki”, dengan maksud disuruh pulang sementara sampai hukuman Ka‘ab bin Mālik selesai. Jadi tidak ana niat talak dan status mereka masih terus suami istri. Ini menunjukkan bahwa lafal talak tidak lugas semua tergantung niat suami. Jika niatnya mentalak, maka jatuh talak. Tetapi jika tidak niat mentalak maka tidak jatuh talak.

***
8 Żulqa‘dah 1442 H

Versi Situs: 

Minggu, 06 Juni 2021

Aqiqah

[ Fiqh Madzhab ] Sedikit meluruskan masalah AQIQOH.

@ Aqiqoh itu wajib dilakukan oleh orang tua.

Dalam madzhab syafi'iy aqiqoh hukumnya SUNNAH,memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: 

كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

Setiap anak tergadai dengan aqîqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, digunduli, dan diberi nama [HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Hadits diatas memang seperti ada tanbīh bahwa jika si anak tidak di aqiqohin maka sang anak tergadai,sebahagian ulama (imam Ahmad) mentafsirkan makna tergadai adalah si anak tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya. 

Berlandaskan hadits diatas ada beberapa ulama seperti imam Alhasanul bashriy dan imam laits berpendapat kalau itu wajib,namun menurut ulama Asy-Syafi'iyyah kalau pun hadits diatas menunjukkan kalau aqiqoh wajib maka sesungguhnya hukum kewajiban aqiqoh dipalingkan kepada makna sunnah,dalil yang memalingkannya :

 من أحب أن يعق عن ولده فليفعل

"Barangsiapa yang suka/ingin meng-aqiqohin anaknya maka dipersilahkan (H.R Abu Daud)

 @Hewan Qurban untuk anak lelaki itu harus 2 kambing sedang anak perempuan 1 kambing.

Dalam madzhab kembing yang disembelih untuk anak lelaki boleh 1 kambing,namun afdholnya 2 kambing untuk anak lelaki,dalil bahwa aqiqoh anak lelaki boleh dengan 1 kambing adalah hadits :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi al-Hasan dan al-Husein dengan masing-masing seekor kambing kibas. [HR Abu Dawud]

Berkata Al-imam Sa'id bin muhammad Ba'isyan rohimahullah.

ويجزئ في أصل السنة شاة....عن الذكر

"Didalam asal sunnah menyembelih 1 ekor domba untuk anak lelaki itu cukup [Busytol Karīm,hal 708,Darul Minhaj]

@ Aqiqoh itu harus dihari ke 7 kalau msh sibuk boleh dihari ke 14 atau dihari 21,jika setelah itu belum di aqiqohin maka tidak perlu aqiqoh lagi.

Dalam madzhab waktu kesunnahan meng-aqiqohin itu dari sejak dilahirkan sampai dia baligh,ini bagi yang mampu tapi sengaja mengakhirkan.

Al-mam Sa'īd Ba'isyan menyebutkan adapun yang tidak mampu menyembelih kambing dan ketidak mampuannya melewati 60 hari maka orang tuanya yang tidak mampu tidak dituntut untuk meng-aqiqohin anaknya tersebut.[Lihat busyrol Karīm,hal 707,Darul Minhaj]

BARAKALLAHU FĪKUM

Selasa, 02 Juni 2020

Kapan Penguasa Dimaksulkan

Kapan Penguasa Tidak Boleh Ditaati Dan Wajib Dimakzulkan?
Gus Syams

Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa dzalim dan fasiq, dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan  diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata.   Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini.   Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
"Akan datang  para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa  saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)". Para shahabat bertanya, "Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat" Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:

"قوله صلى الله عليه وسلم : ( ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون فمن عرف فقد برئ ومن أنكر سلم , ولكن من رضي وتابع , قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا . . . ما صلوا " هذا الحديث فيه معجزة ظاهرة بالإخبار بالمستقبل , ووقع ذلك كما أخبر صلى الله عليه وسلم . وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( فمن عرف فقد برئ ) وفي الرواية التي بعدها : ( فمن كره فقد برئ ) فأما رواية من روى ( فمن كره فقد برئ ) فظاهرة , ومعناه : من كره ذلك المنكر فقد برئ من إثمه وعقوبته , وهذا في حق من لا يستطيع إنكاره بيده لا لسانه فليكرهه بقلبه , وليبرأ . وأما من روى ( فمن عرف فقد برئ ) فمعناه - والله أعلم - فمن عرف المنكر ولم يشتبه عليه ; فقد صارت له طريق إلى البراءة من إثمه وعقوبته بأن يغيره بيديه أو بلسانه , فإن عجز فليكرهه بقلبه . وقوله صلى الله عليه وسلم : ( ولكن من رضي وتابع ) معناه : لكن الإثم والعقوبة على من رضي وتابع . وفيه : دليل على أن من عجز عن إزالة المنكر لا يأثم بمجرد السكوت . بل إنما يأثم بالرضى به , أو بألا يكرهه بقلبه أو بالمتابعة عليه . وأما قوله : ( أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام .
“Sabda Nabi saw, “(Satukuunu umaraaun fa ta’rifuuna wa tunkiruun faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radliya wa taaba’a, qaaluu: afalaa nuqaatiluhum? Qaala : Laa…ma shalluu)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw.  Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat lain dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a).  Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman kariha faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka ia terlepas dari dosa dan siksanya.  Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati.  Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”(faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui--, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya.  Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya.  Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radliya wa taaba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti.   Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukut (mengingkari kemungkaran dengan diam).  Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika  tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya.  Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalaa nuqaatiluhum? Qaala ” Laa, maa shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka  tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.

Dalam hadits 'Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga  diceritakan:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
"Ditanyakan,”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!' Lalu dijawab, ”Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]
Dalam riwayat lain, mereka berkata:

قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
"Kami bertanya, 'Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!' Beliau menjawab, 'Tidak, selama mereka masih sholat.”

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari 'Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
"Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah."[HR. Imam Bukhari]

Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni ”kekufuran yang nyata”.  Artinya, jika seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin wajib melepaskan ketaatan dari penguasa tersebut dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang.   

Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya.  Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil,  seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa. 

Imam al-Khathabiy menyatakan; yang dimaksud dengan "kufran bawahan"  (kekufuran yang nyata) adalah "kufran dzaahiran baadiyan" (kekufuran yang nyata dan terang benderang)

'Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw "selama mereka masih mengerjakan sholat", adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka.  Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlaaq al-juz`iy wa iradaat al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan). 
Masih menurut 'Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh 'Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan 'Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj 'ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam.   Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: " Para shahabat bertanya, "Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat" Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim].  Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum Muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.  

Masih menurut 'Abdul Qadim Zallum; akan tetapi, larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh potongan kalimat berikutnya, yakni," kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah."[HR. Bukhari].  Ini menunjukkan, bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam "kekufuran yang nyata." 
Bukti-bukti yang membolehkan kaum Muslim memerangi khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath'iy).  Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan.   Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath'iy), demikian juga mengenai kekufuran.   Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi.  Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi 'aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi.  Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar, dan masih mengandung takwil, seorang Muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.
Imam Nawawiy, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan;

قال القاضي عياض : أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر , وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل , قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها , ..... قال القاضي : فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية , وسقطت طاعته , ووجب على المسلمين القيام عليه , وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك.
Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir.  Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan.  Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”.

Patut dicatat, kewajiban memerangi penguasa yang telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata” berlaku bagi penguasa yang sebelumnya menerapkan sistem Islam, kemudian ia mengubahnya menjadi sistem kufur.  Pada saat itu, umat Islam harus mencegah tindakan tersebut sekalipun dengan mengangkat senjata.   Sedangkan apabila penguasa itu sejak awal menerapkan sistem kufur, maka tindakan yang dilakukan terhadapnya tidak dengan mengangkat senjata.  Namun, melalui aktivitas dakwah yang mengikuti thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam. Dan thariqah dakwah Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam tidak menggunakan kekerasan dan senjata.  Beliau saw melakukan pembinaan (tatsqif), berinteraksi dengan umat (tafaa’ul ma’a al-ummah), dan   pengambilalihan kekuasaan (istilaam al-hukm).

Status Penguasa Dalam Sistem Kufur

Para ulama telah sepakat; seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, berdasarkan hadits-hadits shahih di atas.  Mereka juga sepakat mengenai bolehnya memerangi penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata. Di dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim, dijelaskan sebagai berikut:

قَالَ الْقَاضِي عِيَاض : أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ الْإِمَامَة لَا تَنْعَقِد لِكَافِرٍ ، وَعَلَى أَنَّهُ لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ الْكُفْر اِنْعَزَلَ ، قَالَ : وَكَذَا لَوْ تَرَكَ إِقَامَة الصَّلَوَات وَالدُّعَاء إِلَيْهَا ، قَالَ : وَكَذَلِكَ عِنْد جُمْهُورهمْ الْبِدْعَة ... قَالَ الْقَاضِي : فَلَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ كُفْر وَتَغْيِير لِلشَّرْعِ أَوْ بِدْعَة خَرَجَ عَنْ حُكْم الْوِلَايَة ، وَسَقَطَتْ طَاعَته ، وَوَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الْقِيَام عَلَيْهِ ، وَخَلْعه وَنَصْب إِمَام عَادِل إِنْ أَمْكَنَهُمْ ذَلِكَ 
" al-Qaadhi ‘Iyaadh berkata, "Para ulama’ telah sepakat, bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Seandainya kekufuran menimpa seorang Khalifah, maka ia wajib dimakzulkan.   Beliau berkata," Ketentuan ini juga berlaku jika Khalifah meninggalkan penegakkan sholat dan dakwah untuk mendirikan sholat.  Beliau juga berkata,"Menurut jumhur ulama (ketentuan tersebut juga berlaku jika Khalifah melakukan) bid’ah”. Al-Qadliy Iyadl "Seandainya Kalifah terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah syariat, atau melakukan bid'ah yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan kepala negara; maka ia tidak wajib ditaati.  Kaum Muslim wajib mengangkat senjata, mencopotnya, dan mengangkat imam adil yang baru, jika mereka mampu melakukan hal itu.". 

Pertanyaannya, kapan seorang penguasa dianggap telah terjatuh kepada ”kekufuran yang nyata”, sehingga kaum Muslim harus melepaskan ketaatan kepada mereka?

Dr. Mohammad Khair Haekal menyatakan; penguasa dianggap telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, jika ia berada dalam kondisi-kondisi berikut ini;
(1) Kekufuran nyata yang terjadi pada diri penguasa itu sendiri.  Para ulama berpendapat mengenai wajibnya "munaza'ah" (merebut kekuasaan) dari penguasa yang telah keluar dari Islam.  Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shaamit ra, bahwasanya ia berkata;

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
"Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah."[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
(2) Kekufuran nyata yang terjadi pada individu-individu kaum Muslim karena kemurtadan mereka dari Islam, namun hal ini tidak diingkari atau dicegah oleh penguasa.  Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang bertutur wajibnya merebut kekuasaan ketika telah terjadi kekufuran yang nyata pada individu-individu kaum Muslim, dan penguasa tidak mengingkari kekufuran ini.   Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, kekufuran tersebut tidak dibatasi hanya kepada penguasa saja atau selain penguasa.  Hadits-hadits itu hanya ditaqyiid (dibatasi) dengan kata "bawahan" (nyata) belaka; yakni kekufuran tersebut terjadi secara terang-terangan, telah tersebar luas, dan sudah tidak bisa diingkari lagi. 
(3) Kekufuran nyata yang berasal dari sistem pemerintahannya, yakni, ketika penguasa tersebut menegakkan sistem pemerintahan di atas aqidah kufur, walaupun penguasa itu belum dianggap kafir.  Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang menuturkan wajibnya merebut kekuasaan dari penguasa jika telah tampak kekufuran yang nyata.  Frase "kekufuran nyata" yang terdapat di dalam nash-nash tersebut tidak hanya diterapkan kepada penguasa yang jatuh kepada kekufuran maupun kepada selain penguasa; akan tetapi juga bisa diberlakukan pada sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas aqidah kufur, misalnya atheisme maupun sekulerisme; dan selanjutnya, sistem ini dipaksakan dan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, jika seorang penguasa memerintahkan rakyatnya melakukan kemaksiyatan, namun selama sistem aturannya menganggap kemaksiyatan itu sebagai tindak penyimpangan terhadap aturan, maka dalam kondisi semacam ini belum terwujud apa yang disebut dengan "kekufuran yang nyata", baik pada penguasa maupun sistem pemerintahannya. Namun, bila kemaksiyatan yang dilakukannya berpijak kepada sistem aturan yang justru melegalkan dan mensahkan tindak kemaksiyatan tersebut, misalnya, karena sistem aturannya dibangun berdasarkan sekulerisme--, maka kemaksiyatan semacam ini dianggap sebagai "kekufuran yang nyata". 

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan Dr. Mohammad Khair Haekal di atas dapatlah disimpulkan bahwa penguasa-penguasa yang menjadikan aqidah kufur sebagai asas negara –semacam demokrasi dan sekulerisme--, serta menerapkan aturan-aturan kufur telah terjatuh kepada tindak ”kekufuran yang nyata” (kufran shurahan), walaupun secara individu mereka masih mengerjakan sholat.  Begitu pula jika mereka tidak lagi menyeru rakyat untuk menegakkan sholat dengan cara menegakkan sanksi bagi orang yang tidak mengerjakan sholat; atau jika mereka sudah mengubah salah satu sendi dari Islam; maka dalam kondisi semacam ini mereka tidak boleh ditaati, bahkan kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka dan memakzulkan mereka jika memungkinkan. 

Pendapat ini sejalan dengan penjelasan Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah swt, surat An Nisa’ ayat 59; 
 
“وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية” 
“Ulil amriy adalah para imam, sultan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’iyyah bukan kekuasaan thaghutiyyah”.

Walhasil, penguasa-penguasa di negeri-negeri kaum Muslim saat ini telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata.  Kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan dengan sekuat tenaga berjuang untuk mengganti system kufur tersebut menjadi system Islam.   Inilah pendapat yang lurus, suci, dan dipegang oleh para ulama-ulama wara’.  

Adapun bagaimana cara mengubah negeri-negeri kufur sekarang menjadi negeri Islam, akan dijelaskan pada bab berikutnya. 

Sayangnya, ketentuan semacam ini telah dikaburkan dan diselewengkan oleh ulama-ulama salatin yang rela berkhianat terhadap umat Islam untuk melanggengkan eksistensi penguasa dan pemerintahan kufur melalui fatwa-fatwa culas dan penuh dengan pengkhianatan.   Ulama-ulama ini tidak segan-segan dan malu-malu menyerukan kepada umat Islam agar mereka tetap mentaati penguasa-penguasa sekarang, padahal para penguasa itu telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata”.

Rabu, 29 April 2020

Bayan Ustadz Syamsuddin Ramadhan



MENYIBAK TABIR SYUBHAT, MERENGKUH CAHAYA KEBENARAN

“Gusti Allah Mboten Sare, Bejik Ketitik Olo Kawistoro Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti”

Assalaamu’alaikum wr wb.

Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji hanya milik Allah swt. Shalawat dan salam tercurah kepada Baginda Nabi Mohammad saw, keluarga, shahabat, dan orang-orang yang berjalan di atas sunnahnya. Allahumahdinaa wahdi binaa waj’alnaa sababan limanihtada (Yaa Allah, tunjukilah kami, dan tunjukilah dengan perantara kami, dan jadikan kami sebagai sebab bagi orang-orang yang mendapat petunjuk).

Ikhwaniy wa akhwatiy fillah, risalah ini adalah bayan al-faqir terkait dengan berita simpang siur yang beredar di dunia maya. Perlu al-faqir tegaskan; sesungguhnya al-faqir Syamsuddin Ramadhan An Nawiy adalah anggota Hizbut Tahrir, sebuah partai yang didirikan untuk memenuhi perintah Allah swt yang termaktub di dalam Surat Ali Imron (3): 104. Partai yang bersendikan hanya ‘aqidah Islamiyyah dan menjadikan hukum syariat sebagai satu-satunya tolok ukur perkataan dan perbuatannya. Tidak ada satupun pemikiran Hizbut Tahrir, baik yang menyangkut persoalan ‘aqidah maupun syariah yang tidak sejalan dengan Al-Quran, Sunnah, dan apa yang ditunjuk oleh keduanya. Seluruhnya terpancar dan bersumber dari Islam semata. Sampai saat ini, al-faqir menyaksikan bahwasanya Hizbut Tahrir tetap berada di atas kebenaran, berjalan di atasnya, dan menyerukan kebenaran itu tanpa pernah takut kepada para penguasa dzalim dan fasiq, serta antek-antek negara kafir barat. Tidak hanya itu saja, Hizbut Tahrir juga memegang teguh sikap-sikap agung dan mulia yang dicontohkan Rasulullah saw dan para shahabat. Di antara sikap mulia itu adalah memelihara darah, harta, dan kehormatan kaum Muslim, tidak memecah belah umat Islam, berusaha mewujudkan kemashlahatan mereka, tidak membesar-besarkan masalah khilafiyah dan focus pada qadliyyah asasiyah, tidak bermanis muka kepada musuh-musuh Islam dan kaum Muslim, selalu menjaga ‘iffah, dan sifat-sifat mulia lainnya. Oleh karena itu, tatkala Hizbut Tahrir difitnah dan dideskriditkan sedemikian rupa oleh orang-orang yang hasad, Hizbut Tahrir tetaplah dicintai, dimulyakan, dan didukung oleh mereka yang memiliki hati ikhlash dan bersih. Sebab, mereka mengetahui bahwasanya Hizbut Tahrir berdiri tegak di atas kebenaran tanpa bergeser sedikitpun, meskipun badai fitnah terus menerjang silih berganti.

Tidak hanya itu saja, Hizbut Tahrir adalah sebuah partai yang didirikan oleh ulama terhormat dari keluarga yang mencintai Allah swt dan RasulNya; Al-‘Allamah Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani rahimahullah. Beliau adalah ulama besar yang dari sisi nasab dan hasab tidak disangsikan lagi. Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani adalah cucu dari seorang ulama besar madzhab Syafi’iy, Al-‘Allamah Syaikh Yusuf An Nabhani Asy-Syafi’iy, Abu al-Mahasin, atau yang mendapat gelar Syafi’iy Tsaniy (Imam Syafi’i Kedua). Seorang ulama yang menjadi benteng dan pembela Islam sejati. Di bawah asuhan dan arahan ulama agung ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berhasil mereguk tsaqafah Islamiyyah, menyelam hingga ke dasarnya, dan mengurai syubhat-syubhatnya dengan teliti. Sejak usia dini, beliau telah hafal al-Quran al-Karim hingga akhirnya meraih tingkatan tinggi dalam dunia ilmu, yakni tingkatan mujtahid. Oleh karena itu, seluruh pemikiran dan pandangan Hizbut Tahrir adalah pemikiran tangguh yang didasarkan pada dalil dan metodologi istinbath yang kokoh, dan digali oleh ulama yang memiliki kredibilitas ilmu dan personalitas. Sehingga, tidak ada satupun pemikiran yang menyimpang dari ‘aqidah dan syari’ah, meskipun hanya seujung rambut.

Itulah faktor-faktor penting yang menjadikan al-faqir, Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, hingga sekarang terus berada di dalam Hizbut Tahrir, percaya kepada kepemimpinannya dan berusaha sekuat tenaga untuk melibatkan diri, mendukung dan membantu perjuangannya yang agung, yakni melanjutkan kehidupan Islam dengan cara menegakkan Khilafah Islamiyyah; serta terlibat aktif dalam proyek raksasanya, yaitu menyadarkan umat Islam untuk hidup sejalan dengan dienul Islam dan bersatu di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Tidak hanya itu saja, al-faqir juga berusaha sekuat tenaga menyeru kepada seluruh kaum Muslim, wa bil khushuss ulama, tokoh, dan para pembesar militer dan kepolisian, untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada perjuangan Hizbut Tahrir; serta menarik kembali dukungannya dari penguasa dan partai sekuler. Sebab, al-faqir yakin seyakin-yakinnya, aktivitas ini diridloi Allah swt, dan kelak akan dibalas Allah swt dengan pahala yang berlipat ganda.

Sikap dan Pendirian

Adapun berkaitan dengan hukum melihat gambar aurat, maka pendirian dan sikap al-faqir terhadap persoalan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama; al-faqir memahami sepenuhnya bahwasanya seorang Muslim tidak boleh mengingkari perkara-perkara yang masih diperselisihkan (al-mukhtalaf fiih). Yang wajib diingkari adalah perkara-perkara yang sudah menjadi kesepakatan (mujma’ ‘alaihi). Di dalam Kitab Adab al-Hiwaar wa al-Qawaa’id al-Ikhtilaaf, hal. 32, disebutkan, “Perbedaan pendapat telah ada sejak lama, sejak masa para imam besar panutan kita, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’I, Ahmad, Ats Tsauri, Al-Auza’i, dan lainnya. Tapi tak satu pun mereka memaksa atau mempengaruhi yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan atau terhadap pendapat lainnya, lantaran perbedaan pendapat itu”.[Adabul Hiwar wal Qawa’idul Ikhtilaf, hal. 32]

Nabi saw sendiri telah memungkinkan hasil ijtihad seorang mujtahid bisa berbeda dengan hasil ijtihad mujtahid lainnya. Hasil ijtihad seorang mujtahid ada kalanya tepat, ada kalanya tidak tepat. Hanya saja, masing-masing keduanya tetap mendapatkan pahala dari Allah swt. Nabi saw bersabda:


إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ أَجُرٌ

“Jika seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan jika dia menetapkan hukum dengan berijtihad, tetapi kemudian salah, maka baginya satu pahala”. [HR. Bukhari, hadits no: 6805; Muslim, hadits no: 3240; Abu Dawud, hadits no 3103; Tirmidziy, hadits no: 1248; Ibnu Majah, hadits no:2305, dan lain-lain]

Bersikap keras, fanatik, ambisius, dan merasa benar sendiri dalam perkara furu’iyah-khilafiyah bisa dilakukan oleh siapa saja, terutama bagi mereka yang dangkal pikirannya. Tetapi, bagi seorang ulama yang meneladani para mujtahid besar, hal itu merupakan sebuah ‘aib. Imam Sufyan Tsauri rahimahullah berkata, “Bagi kamu ilmu hanyalah keringanan dari orang yang bisa dipercaya, adapun bersikap keras, maka setiap manusia mana pun tentu bisa melakukannya”. [Hilyatul Auliyaa’: 3;133]

Imam Nawawi ketika menjelaskan sebuah hadits yang artinya, “[Barangsiapa yang melihat kemungkaran dan seterusnya]”, beliau berkata:


وَإِنْ كَانَ مِنْ دَقَائِق الْأَفْعَال وَالْأَقْوَال وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ
“Jika perkara itu termasuk perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang mendalam, dan termasuk perkara-perkara yang berkaitan dengan ijtihad, maka orang awam tidak mungkin melibatkan diri ke dalamnya, mereka juga tidak boleh mengingkarinya, tetapi hal itu menjadi tugas ulama. Kemudian, ulama pun hanya boleh mengingkari perkara yang telah disepakati (ijma’); adapun perkara yang masih diperselisihkan (mukhtalaf fiih) tidak boleh ada pengingkaran. Sebab, atas masing-masing pendapat dari dua pendapat (yang berbeda), maka setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiqin)”. [Al-Minhaj, 1:131]

Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan garis perbedaan yang terang benderang antara yang harus diingkari dengan yang tidak diingkari, di dalam rumus ke-35 sebagai kesimpulan:


لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ, وَ إِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Tidak boleh diingkari masalah yang masih diperselisihkan, dan yang diingkari hanyalah perkara yang sudah disepakati [Al-Asybah wa An Nazhair, I:285]

Imam Ahmad bin Hanbal, seorang yang hafal ribuah hadits serta sanadnya, hafal Al-Quran, dan juga seorang mujtahid mutlak, tetap menjunjung tinggi adab dan akhlak yang mulia. Bagaimana beliau menghargai pendapat orang lain dan toleransinya? Beliau rahimahullah pernah berkata, “Tidaklah semestinya bagi seorang yang mengerti mengharuskan manusia untuk mengikutinya metodenya, tidak boleh pula bersikap keras kepada mereka yang berbeda”. Di tempat lain beliau berkata, “Barangsiapa yang senang minum nabidz, karena mengikuti seorang imam yang membolehkan, maka minumlah untuk dirinya sendiri”. [Al-Adab asy Syar’iyyah, 1:212]

Oleh karena itu, seperti yang disebut dalam Kitab Al-Asybaah wa al-Nadhaair, kaedah ke 35, karya Imam Suyuthiy Asy-Syafi’iy rahimahullah, “[Laa yunkaar al-mukhtalaf fiih, wa innamaa yunkaru al-mujma’ ‘alaihi/Tidak diingkari perkara yang masih diperselisihkan; dan yang diingkari hanyalah perkara yang sudah disepakati]”, maka, al- faqir tidak akan mengingkari persoalan-persoalan yang masuk dalam ranah khilafiyyah. Sepengetahuan al-faqir yang dlo’if ini, masalah melihat gambar aurat wanita masih diperselisihkan di kalangan ahli ilmu. Adapun bagaimana sikap seorang Muslim terhadap masalah-masalah khilafiyyah, alangkah baiknya disimak juga penjelasan ‘Allamah Syaikh Mohammad Suwaikiy rahimahullah ta’ala di dalam Kitab Al-Khalaash wa Ikhtilaaf al-Naas –setelah beliau menjelaskan secara panjang lebar hukum melihat gambar aurat, termasuk di dalamnya gambar wanita atau laki-laki telanjang sebagian maupun keseluruhannya–:


إنَّ هذه المسألة فرعية وظنية، وليست من مسائل الاُصول، لذلك فهي خاضعة للاجتهاد فمصيب ومخطئ، وكلاهما مأجور عند الله – سبحانه وتعالى – ، كما بيناه في موضوع الاختلاف، ولا داعي لاتهام الناس أنهم خارجون بهذه المسألة، مارقون من الإسلام، أو أنَّ هذه أحكام مخزية، أو غير ذلك من ألفاظ قبيحة لا تليق بالمسلمين.
ذلك أنَّ هذه أحكام توصل إليها بالاجتهاد والاستنباط، وقال بمثلها فحول من فقهاء الاُمَّة، وعلمائها المعتبرين، ويكفي فيها إنَّ رأينا صواباً يحتمل الخطأ، ورأى غيرنا خطأ يحتمل الصواب، وهكذا في جميع المسائل الفرعية والظنية منها، لأنها مسائل خلافية، والله أعلى وأعلم وإليه المصير.

“Sesungguhnya, masalah ini (melihat gambar wanita telanjang) adalah masalah “furu’iyyah wa dhanniyyah” (cabang dan dhanniy), bukan termasuk masalah-masalah ushul. Dengan demikian, masalah ini tunduk pada ijtihad, bisa benar bisa salah; dan masing-masing diberi balasan di sisi Allah swt; sebagaimana kami menjelaskannya pada topik-topik ikhtilaaf. Dan hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk meragukan manusia, bahwa dengan masalah ini mereka (orang yang membolehkan melihat gambar wanita telanjang) telah keluar, keluar dari Islam; atau hukum-hukum ini (boleh melihat gambar aurat) adalah hukum yang hina; atau dengan kata-kata keji lain yang tidak boleh disematkan kepada kaum Muslim.

Ini disebabkan karena, sesungguhnya, hukum-hukum ini dirumuskan dengan ijtihad dan istinbath; dan pendapat serupa juga diketengahkan oleh ulama terkemuka dari kalangan fuqaha umat Islam dan ulama-ulama umat Islam yang mu’tabar. Cukuplah dalam masalah ini dinyatakan bahwa, pendapat kami benar namun masih mengandung kemungkinan salah, dan pendapat selain kami salah namun masih mengandung kemungkinan benar. Demikian pula dalam seluruh masalah-masalah furu’iyyah wa dhanniyyah, di antara adalah masalah melihat gambar aurat wanita. Sebab, masalah ini adalah persoalan-persoalan khilafiyyah. Wallahu A’la wa A’lam wa Ilaihi al-Mashiir (Allahu Maha Tinggi dan Maha Paling Mengetahui dan kepadaNya tempat kembali).

Kedua, Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya melihat gambar wanita, lebih-lebih lagi gambar wanita telanjang adalah haram. Alasannya, aktivitas tersebut bisa mengantarkan kepada perbuatan haram. Mereka menggunakan kaedah yang amat terkenal dan masyhur, al-wasilah ila al-haraam haraam; sadd al-dzari’ah, maalat al-af’aal, dan lain sebagainya. Al-‘Allamah Syaikh ‘Atha Abu Rasytah rahimahullah menyatakan dalam Jawab Soal:

أما مشاهدة الأفلام المثيرة الإباحية فلا يجوز حتى وإن كانت صوراً وليست أجساماً حقيقية، وذلك لأن القاعدة الشرعية في هذا الباب هي (الوسيلة إلى الحرام حرام) ولا يشترط في هذه القاعدة أن تؤدي الوسيلة إلى الحرام قطعاً بل غلبة الظن تكفي.وهذه الأفلام تقود غالباً من يحضرها إلى الحرام، ولذلك فإن القاعدة تنطبق عليها.

“Adapun melihat film-film yang mempengaruhi syahwat (porno), maka tidak boleh (haram), hingga, walaupun hanya sebatas gambar yang bukan berbentuk badan yang hakiki. Ini didasarkan pada kaedah syar’iyyah yang berbicara pada bab ini, yakni al-wasilah ila al-haraam haraam (wasilah menuju haram adalah haram). Di dalam kaedah ini, wasilah yang mengantarkan kepada keharaman tersebut tidak disyaratkan harus bersifat pasti, akan tetapi cukup ghalabat al-dhann (sangkaan kuat). Film ini (film porno) berdasarkan sangkaan kuat (ghalabat al-dhann) akan mengantarkan orang yang melihatnya kepada keharaman. Oleh karena itu, kaedah ini bisa diterapkan di atasnya (melihat film porno)”.[Lihat Jawab Soal ‘Atha Abu Rasytah].

Pendapat serupa juga disebut dalam Majalah Al-Azhar, Edisi 3/393:


والذى تسكن إليه النفس ويطمئن له القلب هو أن النظر إلى المرأة الأجنبية إنما كان محرما بسبب أنه داع وذريعة إلى الوقوع فيما هو أشد منه حرمة ، وهو الوقوع فى المعصية الكبرى، وعليه فالنظر إلى المرأة الأجنبية المعينة بواسطة المرآة بقصد الشهوة غير جائز، لأنه ذريعة إلى محرم ، ، و كل ما كان كذلك فهو حرام ، سواء أكان ذلك مباشرة أم بواسطة المرآة ، انتهى “مجلة الأزهر- المجلد الثالث ، صفحة 393″

“Yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati adalah (pendapat yang menyatakan) bahwasanya melihat wanita ajnabiyyah diharamkan karena ia bisa mendorong dan mengantarkan pada terjadinya keharaman yang lebih kuat dari pada (haramnya melihat), yakni terjadinya maksiyat kubra (dosa besar). Oleh karena itu, melihat wanita ajnabiyyah tertentu dengan perantara cermin dengan tujuan syahwat tidaklah diperbolehkan (haram). Sebab, hal ini bisa mengantarkan kepada keharaman. Semua hal yang seperti ini, maka hukumnya haram, sama saja apakah hal itu langsung maupun dengan perantara cermin. Selesai.”

Di antara ulama-ulama yang membolehkan melihat gambar aurat –dari sisi melihatnya saja– adalah Al-‘Allamah Syaikh Suwaikiy rahimahullah ta’ala. Di dalam Kitab al-Khalaash wa Ikhtilaaf al-Naas, beliau menyatakan bahwasanya hukum asal melihat (al-nadhr) adalah mubah; kecuali terdapat dalil-dalil khusus yang melarangnya; seperti melihat aurat laki-laki atau wanita; larangan melihat bagian tubuh wanita yang tidak termasuk aurat jika disertai dengan syahwat; dan lain-lain. Menurut beliau, kebolehan melihat gambar aurat didasarkan pada dalil-dalil umum. Di dalam Kitab itu beliau juga membedakan hukum melihat aurat dengan hukum melihat gambar aurat. Masih menurut beliau, nash-nash yang menerangkan kewajiban ghadldl al-bashar berlaku hanya pada aurat itu sendiri, bukan pada gambar aurat. Pandangan beliau yang membedakan hukum melihat aurat itu sendiri dengan hukum melihat pantulan, atau bayangannya, sejalan dengan pandangan ulama-ulama mu’tabar dari kalangan Hanafiyyah dan Syafi’iyyah. Di dalam Kitab al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan:

عَلَى أَنَّهُ قَدْ عُلِمَ مِنْ مَذْهَبِ الْحَنَفِيَّةِ دُونَ سَائِرِ الْمَذَاهِبِ : أَنَّ الرَّجُل إِِذَا نَظَرَ إِِلَى فَرْجِ امْرَأَةٍ بِشَهْوَةٍ ، فَإِِنَّهَا تَنْشَأُ بِذَلِكَ حُرْمَةُ الْمُصَاهَرَةِ ؛ لَكِنْ لَوْ نَظَرَ إِِلَى صُورَةِ الْفَرْجِ فِي الْمِرْآةِ فَلاَ تَنْشَأُ تِلْكَ الْحُرْمَةُ ؛ لأَِنَّهُ يَكُونُ قَدْ رَأَى عَكْسَهُ لاَ عَيْنَهُ . فَفِي النَّظَرِ إِِلَى الصُّورَةِ الْمَنْقُوشَةِ لاَ تَنْشَأُ حُرْمَةُ الْمُصَاهَرَةِ مِنْ بَابٍ أَوْلَى . وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ : لاَ يَحْرُمُ النَّظَرُ – وَلَوْ بِشَهْوَةٍ – فِي الْمَاءِ أَوِ الْمِرْآةِ . قَالُوا : لأَِنَّ هَذَا مُجَرَّدُ خَيَال امْرَأَةٍ وَلَيْسَ امْرَأَةً . وَقَال الشَّيْخُ الْبَاجُورِيُّ : يَجُوزُ التَّفَرُّجُ عَلَى صُوَرِ حَيَوَانٍ غَيْرِ مَرْفُوعَةٍ . أَوْ عَلَى هَيْئَةٍ لاَ تَعِيشُ مَعَهَا ، كَأَنْ كَانَتْ مَقْطُوعَةَ الرَّأْسِ أَوِ الْوَسَطِ ، أَوْ مُخَرَّقَةَ الْبُطُونِ . قَال : وَمِنْهُ يُعْلَمُ جَوَازُ التَّفَرُّجِ عَلَى خَيَال الظِّل الْمَعْرُوفِ ؛ لأَِنَّهَا شُخُوصٌ مُخَرَّقَةُ الْبُطُونِ .

“Hanya saja, sesungguhnya telah diketahui dari madzhab Hanafiyyah, berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain, bahwasanya seorang laki-laki, jika melihat farji wanita dengan syahwat, maka lahir dengan hal ituhurmat al-mushaharah . Jika Akan tetapi jika ia melihat gambar farji wanita di dalam cermin, maka hal itu tidak melahirkan al-hurmah. Sebab, ia hanya melihat bayangan farji, bukan farji itu sendiri. Lebih-lebih lagi melihat lukisan (farji) maka hal itu tidak melahirkan hurmat al-mushaharah . [Haasyiyyah Ibnu ‘Abidin, Juz 2/281 dan 5/238; lihat Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 12/123], Menurut kalangan Syafi’iyyah, tidak haram melihat –meskipun dengan syahwat— di dalam air atau cermin. Mereka menyatakan, “Sebab, hal itu hanyalah bayangan wanita, bukan wanita itu sendiri. Syaikh al-Bajuriy berkata, “Boleh melihat gambar hewan yang tidak utuh, atau pada bentuk yang tidak mungkin hidup jika hanya dengan anggota tubuh itu saja, seperti terpotong kepalanya, tengahnya, atau perutnya berlubang”. Beliau berkata, “Darinya diketahui kebolehan melihat bayangan seseorang, sebab bayangan adalah sosok yang perutnya berlubang (tidak ada isinya).[Al-Qalyubiy ‘Ala Syarh al-Minhaaj, Juz 3/208, dan Haasyiyyah al-Baajuuriy ‘Ala Ibn al-Qaasim, Juz 2/99, 131; lihat lihat Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 12/123-124]

Al-‘Allamah Syaikh Mohammad al-Syuwaikiy rahimahullah berkata:


فقد قال الكمال ابن الهمام – رحمه الله – (1) في مثل هذه المسألة ما نصه ” النظر من وراء الزجاج إلى الفرج محرَّم، بخلاف النظر في المرآة، ولو كانت في الماء ونظر فيه فرأى فرجها فيه ثبتت الحرمة، ولو كانت على الشط فنظر في الماء فرأى فرجها لا يحرم، كان العلة والله أعلم أنَّ المرئي في المرآة مثاله لا هو، وبهذا علَّلوا الحنث فيما إذا حلف لا ينظر في وجه فلان، فنظره في المرآة أو الماء، وعلى هذا فالتحريم به من وراء الزجاج بناءً على نفوذ البصر منه، فيرى نفس المرئي، بخلاف المرآة والماء”. ومثاله فيه لا عينه، ويدل عليه تعبير قاضيخان (2) بقوله لأنه لم يرَ فرجها، وإنما رأى عكس فرجها فافهم”.فإذا كان النظر في الماء والمرآة مع رؤية فرج امرأة انعكس فيهما خيالاً جائز عند هؤلاء العلماء لأنَّ المرئي مثاله لا حقيقته، فأقول بأنَّ النظر إلى الصورة هو نظر إلى ظل الشيء، وهو مثاله لا حقيقته ولا عينه، وهو غير النظر في الماء، أو المرآة لأنَّ الصورة اشد خيالاً من الماء والمرآة.وعليه فالأدلة على تحريم النظر إلى العورة لا تنطبق على الصورة

“Al-Kamaal Ibn al-Hammam rahimahullah ta’ala menyatakan berkaitan dengan masalah ini sebagai berikut, “Melihat farji dari balik kaca transparan diharamkan. Ini berbeda dengan melihat di dalam cermin. Jika seorang wanita berada di dalam air, lalu ada seorang laki-laki melihat ke dalamnya dan melihat farji wanita itu, maka berlakulah al-hurmah (maksudnya hurmat al-mushaharah). Seandainya wanita itu berada di tempat jauh, lalu laki-laki itu melihat ke dalam air, dan melihat farji wanita itu, maka tidaklah diharamkan (al-musharah). ‘Illatnya, hanya Allah yang lebih mengetahui, adalah orang yang ada di dalam cermin adalah bayangannya, bukan orang itu sendiri. Dengan inilah mereka bisa beralasan menyelisihi sumpah jika ia diminta untuk bersumpah tidak melihat wajah si fulan, tetapi melihat (bayangan) di dalam cermin atau di dalam air. Atas dasar itu, pengharaman (al-mushaharah) karena melihat farji perempuan dari balik kaca transparan didasarkan pada alasan bahwa mata bisa menembus kaca, sehingga ia bisa menyaksikan sosok orang itu sendiri. Ini berbeda dengan cermin atau air; maka bayangan di dalamnya bukanlah orang itu sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan Qadlihaan dalam perkataannya, “Sebab, ia tidak melihat farji wanita, tetapi ia melihat bayangan farjinya, maka fahamlah”. Dengan demikian, melihat di dalam air dan cermin, bersamaan dengan melihat bayangan farji wanita yang terpantul di dalamnya adalah boleh menurut ulama ini. Sebab, yang dilihat adalah bayangannya, bukan orangnya sendiri. Maka, saya menyatakan bahwasanya melihat gambar adalah melihat bayangan sesuatu. Sedangkan bayangan adalah cerminannya, bukan hakekat maupun sesuatu itu sendiri. Melihat gambar berbeda dengan melihat di dalam air dan cermin. Sebab, gambar itu khayalnya lebih kuat dibandingkan (pantulan yang ada di dalam) air dan cermin. Atas dasar itu, dalil-dalil yang menjelaskan pengharaman melihat aurat tidak bisa diterapkan pada gambar”.[Al-‘Allamah Mohammad Syuwaikiy, al-Khalaash wa Ikhtilaaf al-Naas, hal. 259]

Beliau juga menolak penggunaan kaedah al-wasilah ila al-haraam untuk mengharamkan melihat gambar aurat. Menurut beliau, kaedah ini tidak bisa diterapkan pada kasus melihat gambar aurat wanita. Beliau juga menangkis beberapa argumen yang ditujukan untuk melemahkan pendapat beliau. Semua itu beliau jelaskan dengan gamblang di dalam Kitab al-Khalaash wa Ikhtilaaf al-Naas.

Hanya saja beliau mengingatkan bahwasanya kebolehan melihat gambar aurat wanita atau laki-laki –dari sisi melihat itu sendiri– tidak berarti; (1) bolehnya menggambar dan membuat gambar atau video wanita atau laki-laki yang menyingkap auratnya, sebagian maupun keseluruhan; meskipun dengan menggunakan alat-alat fotografi. Sebab, semua aktivitas ini jelas-jelas haram; (2) juga tidak berarti bolehnya memperjualbelikan, menyebarkan, atau membuat majalah, program tv, atau sinema yang di dalamnya terdapat pornoaksi maupun pornografi. Sebab, hal ini sama saja menyebarkan peradaban dan tsaqafah barat yang benar-benar merusak akhlaq dan sendi-sendi masyarakat. Siapa saja yang melakukannya, maka ia telah terjatuh kepada kemaksiyatan dan wajib dikenai sanksi yang berat.

Masih menurut beliau, hukum melihat gambar aurat ini ditetapkan akibat lenyapnya Daulah Islamiyyah. Adapun di era Daulah Khilafah Islamiyyah, tidak akan pernah ditolerir kegiatan-kegiatan yang menjurus pada pornografi dan pornoaksi. Siapa saja yang membuat, menyebarluaskan, serta terlibat dalam pembuatan gambar dan video porno akan dikenai sanksi yang sangat berat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya masalah melihat gambar aurat masih diperselisihkan di kalangan ulama.

Ketiga, dalam masalah ini (melihat gambar dan video porno), sikap al-faqir sejalan dengan pandangan dan sikap amir Hizbut Tahrir yang mulia, Al-‘Allamah al-Faadlil Syaikh ‘Atha Abu Rasytah rahimahullah. Al-faqir percaya bahwasanya apa yang difatwakan Al-‘Allamah Syaikh ‘Atha Abu Rasytah rahimahullah adalah fatwa yang lurus, bersih, dan terjauh dari syubhat. Oleh karena itu, Al-faqir mengikuti dan mengadopsi pendapat yang diketengahkan al-‘Alim al-‘Allamah Syaikh Atha` Abu Rasytah hafidhahullah ta’ala. Al-‘Allamah Syaikh ‘Atha Abu Rasytah rahimahullah menyatakan:


أما مشاهدة الأفلام المثيرة الإباحية فلا يجوز حتى وإن كانت صوراً وليست أجساماً حقيقية، وذلك لأن القاعدة الشرعية في هذا الباب هي (الوسيلة إلى الحرام حرام) ولا يشترط في هذه القاعدة أن تؤدي الوسيلة إلى الحرام قطعاً بل غلبة الظن تكفي.وهذه الأفلام تقود غالباً من يحضرها إلى الحرام، ولذلك فإن القاعدة تنطبق عليها.
“Adapun melihat film-film yang mempengaruhi syahwat (porno), maka tidak boleh (haram), hingga, walaupun hanya sebatas gambar yang bukan berbentuk badan yang hakiki. Ini didasarkan pada kaedah syar’iyyah yang berbicara pada bab ini, yakni al-wasilah ila al-haraam haraam (wasilah menuju haram adalah haram). Di dalam kaedah ini, wasilah yang mengantarkan kepada keharaman tersebut tidak disyaratkan harus bersifat pasti, akan tetapi cukup ghalabat al-dhann (sangkaan kuat). Film ini (film porno) berdasarkan sangkaan kuat (ghalabat al-dhann) akan mengantarkan orang yang melihatnya kepada keharaman. Oleh karena itu, kaedah ini bisa diterapkan di atasnya (melihat film porno)”.[Lihat Jawab Soal ‘Atha Abu Rasytah]

Inilah pendapat Syaikh Atha’ rahimahullah yang al-Faqir ikuti dan teladani. Setelah bayan ini, jika ada tulisan, apapun bentuknya, yang bertentangan fatwa dan pandangan di atas, baik yang diatasnamakan al-faqir atau bukan, maka al-faqir berlepas diri darinya; dan menyatakan bahwasanya itu bukan pendirian dan pendapat al-faqir.

Al-Faqir juga ingin menegaskan bahwasanya:

gambar dan film porno merupakan salah satu wasilah yang digunakan oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim untuk menjajakan paham kebebasan (liberalisme) yang jelas-jelas bertentangan dengan ‘aqidah dan syariah. Gambar dan film porno juga digunakan sebagai media untuk menghancurkan akhlaq dan moral generasi umat Islam.

Membuat, mengedarkan, dan mempropagandakan gambar dan film porno merupakan kemaksiyatan yang wajib dihukum seberat-beratnya. Begitu pula membuat undang-undang yang melegalkan pornografi dan pornoaksi, maka tidak ada keraguan sedikitpun bahwa hal ini adalah perbuatan haram, dan pelakunya layak mendapatkan kehinaan dan siksa dari Allah swt.

Keempat, karena masalah ini termasuk dalam ranah khilafiyyah, maka al-faqir menghimbau kepada ikhwaniy wa akhwatiy fillah untuk tidak menyematkan kata-kata yang tidak pantas kepada siapa saja yang memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda. Adalah sebuah kebodohan dan ketidakberadaban jika seseorang menyematkan predikat keji atau mengesankan kesesatan kepada saudara-saudara Muslim yang berbeda pandangan dengannya dalam masalah-masalah furu’iyyah wa dhanniyyah, termasuk di dalamnya ikhtilaaf mengenai boleh tidaknya melihat gambar aurat wanita dan laki-laki, baik sebagian maupun keseluruhan.

Al-Faqir masih ingat saat Majalah Sabili No:21 TH XVII, 13 Mei 2010, menurunkan tulisan Lutfi A Tamimi, dengan judul Menguak Hizb at-Tahrir. Di dalam tulisan itu dikesankan bahwasanya pendapat fikih Hizbut Tahrir adalah sesat dan menyesatkan. Lutfiy A Tamimi mengutip statement Hizbut Tahrir tidak lengkap untuk mengesankan kesesatan Hizbut Tahrir. Di antaranya adalah pandangan Hizbut Tahrir bahwasanya negara Islam diperbolehkan menyerahkan jizyah (upeti) kepada negara kafir. Lutfi A Tamimi menulis tidak dengan redaksi yang utuh, “Negara Islam diperbolehkan membayar jizyah (upeti) kepada negara kafir”. Yang benar, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa dalam keadaan darurat Daulah Islamiyyah boleh meminta damai dengan kaum kafir dengan menyerahkan sejumlah harta kepada mereka. Pendapat ini juga dikesankan seolah-olah menyimpang dari Islam. Padahal, para fukaha empat madzhab telah membahas masalah ini dalam kitab-kitab mereka, dan mereka membolehkan menyerahkan harta kepada negara kafir dalam keadaan darurat. Di dalam Kitab Badaai’ ash Shanaai’ (Kitab Fikih Madzhab Hanafi) disebutkan:


وَلَا بَأْسَ أَنْ يَطْلُبَ الْمُسْلِمُونَ الصُّلْحَ مِنْ الْكَفَرَةِ وَيُعْطُوا عَلَى ذَلِكَ مَالًا إذَا اُضْطُرُّوا إلَيْهِ ؛ لِقَوْلِهِ – سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – {وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا }

“Tidak mengapa kaum Muslim meminta perjanjian damai dari orang kafir yang untuk itu, kaum Muslim harus menyerahkan sejumlah harta, jika keadaannya darurat”, berdasarkan firman “Wa in janahuu lis salmi fajnah lahaa”. [Badaai' ash Shanaai' fi Tartiib Asy-Syaraai', juz 15, hal. 316]

Di dalam Kitab Qawaaniin al-Ahkaam asy-Syar’iyyah (Kitab Fikih Madzhab Malikiy) disebutkan:


أن من شروط جواز الصلح مع الكفار _خلوه عن شروط فاسد, و مثلوا للشروط الفاسد, بنحو: بذل مال لهم فى غير خوف. و يجوز مع الخوف

“Sesungguhnya, di antara syarat bolehnya melakukan perjanjian damai dengan orang-orang kafir –adalah kosong dari syarat-syarat fasid, dan mereka mencontohkan syarat-syarat fasid ini, adalah menyerahkan harta kepada mereka tidak dalam keadaan takut (darurat). Dan boleh menyerahkan harta jika dalam keadaan takut”.[Qawaaniin Al-Ahkaam Asy-Syar'iyyah, hal. 175]

Pendapat senada juga dikemukakan ulama kalangan Madzhab Syafi’iy dan Hanbaliy. Lalu, mengapa ada orang yang berusaha mengesankan bahwa pendapat itu adalah pendapat sesat dan menyimpang dari Islam? Padahal, pendapat ini adalah pendapat para fukaha mu’tabar? Barangkali, itu dilakukan karena kebodohannya terhadap khazanah fikih Islam, sehingga pendapat ulama mu’tabar dikesankan sebagai pendapat yang sesat dan menyesatkan. Sebagian orang-orang yang bodoh terhadap keluasaan fikih Islam juga mengesankan kesesatan atas pandangan Hizbut Tahrir terhadap hadits ahad dan qadla’ & qadar. Padahal, siapa saja yang mampu menyelami kedalaman tsaqafah Islamiyyah dan sanggup melalui rumitnya istinbath dan ijtihad, maka ia akan memahami bahwa pandangan Hizbut Tahrir dalam dua masalah itu adalah pandangan rajih yang dipegang oleh ulama-ulama salafush shalih.

Khatimah

Alhamdulillah, berkat pertolongan dan ijin dari Allah swt, syabab Hizbut Tahrir yang mukhlish mampu melewati semua fitnah itu, dan tetap fokus dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyyah demi tegaknya syariat Islam secara menyeluruh dan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan kaum Muslim di seluruh dunia. Dan alhamdulillah pula, hingga detik ini para syabab Hizbut Tahrir tetap menjunjung tinggi kehormatan kaum Muslim, tidak mudah diadu domba atau mengadu domba, tegas dalam ’aqidah, tasamuh dalam khilafiyyah, membina dan mencerdaskan umat hanya dengan tsaqafah Islamiyyah, serta terus berusaha menyatukan umat dalam bingkai perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah Islamiyyah.

Akhir kalam, al-faqir berdoa memohon kepada Allah swt, Dzat Yang Maha Tinggi, Maha Lembut, Maha Mulia, Maha Mengetahui yang tampak dan tersembunyi, dan Maha Mendengar doa-doa hamba-hambaNya:


اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْناَ مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ، عَاجِلِهِ وَآَجِلِهِ مَا عَلِمْناَ مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ ، اللهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَاذَ مِنْهُ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، نَسْـأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ تَقْضِيهِ لَنَا خَيْرًا
“Yaa Allah, kami memohon kepadaMu, seluruh kebaikan untuk kami, baik sekarang maupun yang akan datang, baik yang kami ketahui maupun yang tidak kami ketahui. Dan kami memohon perlindungan dariMu dari semua keburukan, baik sekarang maupun yang akan datang, baik yang kami ketahui maupun yang tidak kami ketahui. Yaa Allah, kami memohon kepadaMu semua kebaikan yang pernah diminta oleh hambaMu dan NabiMu, Mohammad saw, dan kami memohon perlindungan dariMu dari semua keburukan yang hambaMu dan NabiMu pernah memohon perlindungan darinya. Yaa Allah, kami memohon surga kepadaMu serta perkataan dan perbuatan yang bisa mendekatkan kami kepada surga, dan kami memohon perlindungan dariMu dari siksa neraka, dan dari semua perkataan dan perbuatan yang bisa mendekatkan kami kepada neraka; dan kami memohon dengan tulus ikhlash agar Engkau menjadikan semua yang Engkau tetapkan untuk kami, sebagai sebuah kebaikan bagi kami”.


اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا ، وَ أَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا ، وَ أَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَادُنَا ، وَ اجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِي كُلِّ خَيْرٍ ، وَ اجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلَّ شَرٍّ

“Yaa Allah, perbaguslah agama kami yang menjadi penjaga urusan-urusan kami, dan perbaguslah dunia kami yang menjadi tempat penghidupan kami, dan perbaguslah akherat kami yang akan menjadi tempat kembali kami, dan jadikanlah hidup kami sebagai wahana untuk menambah kebaikan-kebaikan kami, dan jadikanlah kematian sebagai istirahat kami dari semua keburukan-keburukan.


اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ ، وَالْجُبْنِ ، وَ اْلـبُخْلِ ، وَ الْهَرَمِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ ، اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسَناَ تَقْوَاهَا وَزَكَّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنِ زَكَّاهَا أَنْتَ وِلِيُّهَا وَ مَوْلاَهَا

“Yaa Allah, kami memohon perlindungan dariMu, dari semua sikap lemah, malas, pengecut, kikir, dan kepikunan, dan kami memohon perlindunganMu dari siksa kubur. Yaa Allah, jadikan jiwa kami, jiwa yang bertaqwa dan suci. Sesungguhnya, Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang bisa menyucikan jiwa, dan Engkau adalah pemilik dan pelindung semua jiwa.


اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعْ ، وَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعْ ، وَ مِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعْ ، وَ مِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لهَاَ

“Yaa Allah, kami memohon perlindunganMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak tunduk dan patuh kepadaMu, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas dengan urusan dunia, dan kami memohon perlindungan dariMu dari doa yang tidak diijabah


اَللَّهُمَّ إِناَّ نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زِوَالِ نِعْمَتِكَ، وَ تَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ ، وَ فُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ ، وَ جَمِيْعِ سُخْطِكَ

“Yaa Allah, kami memohon perlindungan dariMua, dari lenyapnya nikmatMu yang telah Engkau berikan kepada kami, dan kami berlindung kepadaMu dari hilangnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan kepada kami, dan kami berlindung kepadaMu dari siksaanMu yang Engkau timpakan kepada kami secara tiba-tiba; dan kami memohon perlindunganMu dari kemarahan dan kemurkaanMu.


اَللَّهُمَّ إِنّاَ نَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ الْبَلاَءِ، وَ دَرْكِ الشَّقَاءِ ، وَ سُوْءِ الْقَضَاءِ وَ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ.

“Yaa Allah, kami berlindung kepadaMu dari beratnya ujian, kemalangan yang datang silih berganti, qadla’ yang buruk dan kegembiraan musuh-musuh atas penderitaan kami”.


اَللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعاً مَرْحُوْماً، وَ تَفَرُّقَناَ مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا وَ لاَ تَجْـعَلْ فِيْنَا وَ لاَ ِمنَّا وَ لاَ مَعَناَ شَقِياً أَوْ مَحْرُوْماً .اَللَّهُمَّ اهْدِنَا وَاهْدِ بِنَا وَ اجْعَلْناَ سَبَبًا لِمَنِ اهْتَدَى

“Yaa Allah, jadikanlah pertemuan kami ini, pertemuan yang dirahmati, dan jadikan perpisahan kami setelah ini, perpisahan yang dilindungi dari dosa, dan janganlah Engkau jadikan kami, atau dari kami, atau orang yang bersama kami, kesengsaraan dan kemiskinan. Yaa Allah, berilah petunjuk kepada kami, dan berilah petunjuk hamba-hambaMu dengan perantara kami, dan jadikanlah kami menjadi sebab bagi orang-orang yang mendapatkan petunjukMu


يَا مُصَرِّفَ اْلقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلىَ طَاعَتِكَ, يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ

“Wahai Dzat Yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk selalu taat kepadaMu. Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami untuk selalu berjalan di atas agamaMu


اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَ ارْزُقْناَ اتِّبَاعَهُ وَ أَرِناَ الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَ ارْزُقْناَ اجْتِنَابَهُ

“Yaa Allah, tunjukkanlah kepada kami, yang benar itu benar, dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami, yang bathil itu bathil, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya”.
Amiin Yaa Mujibas Saailiin. Wallahu al-Musta’an wa Huwa Waliyu al-Taufiq.

Wassalaamu’alaikum wr wb.

Depok, hari keempat bulan Rajab yang mulia

Al-Faqir ila Al-Allah
Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
(Abu Mohammad Asad Zain Al-Sakhawiy

Kamis, 02 April 2020

Bantahan Ke Makmun Rasyid

Kritik ringan dari Kyai Utsman Zahid As-Sidany kepada saudara Makmun Rasyid

====

AKU CUMA MAU BILANG, MAKMUN RASYID ITU CUMA PUNYA PACUL KETHUL

[Utsman Zahid as-Sidany]

Wajarnya orang mengkritik itu jika ada ilmunya. Kalau tidak, namanya ASBUN alias ASJEP (asal jeplak).

Karena si Makmun Rasyid ini sudah diundang ke mana-mana; bicara di mana-mana, menyebarkan ketidak-tahuannya di mana, dan menulis apa saja tentang ketidak-tahuannya tentang Hizbut Tahrir dan bagaimana Syekh Taqiyuddin bersistidlal.

Khusus bukunya dengan judul: "HTI Gagal Paham Khilafah", yang tidak ilmiyah itu, saya hanya mau mengatakan dua hal:

1. BUKU TERSEBUT CACAT SECARA METODOLOGI.

Bagaimana buku yang membahas Hizbut Tahrir, tapi rujukan primer berupa kitab-kitab Hizbut Tahrir cuma sak upil!?? Padahal, Hizbit Tahrir kaya akan buku dan kaya para aktivis yang produktif. Buku resmi Hizbut Tahrir jumlahnya puluhan. Nasyrah dan selebaran/makalan-makalahnya tak terhitung jumlahnya.

Belum lagi buku-buku yang ditulis oleh para syabab (aktivis) Hizbut Tahrir dalam berbagai bidang, khususnya Politik dan Sistem Pemerintahan Islam, jumlahnya sangat melimpah. Tapi bagaimana MR yang menulis tentang Hizbut Tahrir dan mengatakan gagal paham, hanya merujuk kurang dari 5 buah dari kitab-kitab yang seharusnya dirujuk?

Selain itu, faktor yang membuat cacat metodeologi, adalah bahwa sebelum mengkritisi pemikiran HT itu Mr tidak satupun menemui terlebih dulh narasumber-nara sumber firs hand dari pihak HTI langsung.

Nah ini sama sekali tidak dilakukan oleh MR. Ini sudah cacat secara metedoligi.

Jadi ini model penelitian apa? yang diteliti itu apa? Meneliti apa membuat opini?

Tentang hal ini telah dikuliti oleh Ust. Shiddiq al-Jawi dengan sampai benar-benar bersih hingga tak tersisa.

+++++
Nah, pada tulisan ini saya mau memperlihatkan bagaimana MR telah bicara pada bidang yang dia tidak layak masuk ke dalamnya; yaitu menyangkut  Bahasa Arab dasar. 

2. MR TIDAK BISA MENERJEMAH dan GAGAL FAHAM KITAB Lisan al- Arab.

Di dalam kitab Lisan al-'Arab, karya Ibn al-Manzhur:

والخَلِيفةُ: الذي يُسْتخْلَفُ مـمن قبله، والجمع خلائف، جاؤوا به على الأصل مثل كريمةٍ وكرائِمَ، وهو الخَلِيفُ والجمع خُلَفاء،
Khalifah adalah seorang yang dijadikan pengganti dari orang sebelumnya. Jamaknya "khala'if". Mereka (yang menjamakkan dengan " kahala'if") mendatangkan jama' sesuai kaisah asalnya (wazan فعيلة jamaknya mengikuti wazan فعائل), seperti kata: كريمة, jamaknya كرائم.
Kata Khalifah maknanya sama dengan kata Khalif (خليف), dan jamaknya خلفاء.

وأَما سيبويه فقال خَلِيفةٌ وخُلَفاء، كَسَّروه تكسير فَعِيلٍ لأَنه لا يكون إلا
للمذكر؛ هذا نقل ابن سيده.
Adapun Imam Sibawaih, beliau mengatakan: Khalifah jamaknya Khulafa'. Mereka menjamak-taksirkan kata "Khalifah" dengan menggunakan jamak taksirnya wazan Fa'il (فعيل). Alasan beliau, karena Khalifah tidak digunakan kecuali untuk mudzakkar. Inilah kutipan (riwayat) Ibn Sidah.

وقال غيره: فَعِيلة بالهاء لا تجمع على فُعَلاء،
Ulama lain mengatakan: Wazan fa'ilah (فعيلة) (dengan ha') tidak dapat dijamakkan mengikuti wazan fu'ala' (فعلاء)
قال ابن سيده: وأَما خَلائِفُ فعلى لفظ خَلِيفةٍ ولم يعرف خليفاً،
Ibn Sidah mengatakan: Adapun kata Khala'if (خلائف) maka jelas sebagai jamak dari kata Khalifah, dan tidak pernah dikenal sebagai jamak dari kata Khalif.

+++++

Di atas adalah teks dari Kitab Lisan al-Arab, karya Ibn al-Manzhur, yang intisarinya diambil oleh MR sebagai berikut:

"Khalifah mempunyai arti mengganti sesuatu dari yang sebelumnya. Jamak dari kata khalifah yaitu khala'if dab khulafa'. Tetapi ada sebagian ahli bahasa, seperti [Ibn Sayyidah] mengatakan, kata khala'if berasal dari kata [khalifatin]. Sedangkan Imam Sibawaih (w. 795 M) mengatakan kata Khulafa' berasal dari kata [Khalifatan]". (lihat: Makmun Rasyid, HTI Gagal Paham Khilafah, hal. 23-24)

++++
Apakah ada yang benar dengan intisari oleh MR di atas?

1. MR salah mengeja kalimat ابن سيده. Dia membaca dengan: [Ibn Sayyidah]. Yang benar: Ibn Sidah.

Bagi oarang yang diudang ke mana-mana, bedah buku di mana, disubyo-subyo, kesalahan --meski tidak esesnsial -- sangat tidak pantas!!!

2. MR tampak kebingungan mengambil kesimpulan dari perbedaan para ahli bahasa mengenai kata Khalifah, apakah jamaknya Khulafa' atau Khala'if. MR tidak mampu mengurai masalah intinya di sini.
MR tidak mampu mampu mengurai masalah kenapa jamaknunya "Khulafa' " menurut Sibawaih, dan harus "Khala'if" yg lain.

3. Karenanya MR salah fatal saat mengatakan: "Tetapi ada sebagian ahli bahasa, seperti [Ibn Sayyidah] mengatakan, kata khala'if berasal dari kata [khalifatin]. Sedangkan Imam Sibawaih (w. 795 M) mengatakan kata Khulafa' berasal dari kata [Khalifatan]".

Mana ada Ibn Sidah dan Imam Sibawaih mengatakan hal bodoh seperti itu??!!


Di sini nampak sekali kelemahan pemahaman MR terhadap teks dari Lisan al-Arab yang saya kemukakan di atas yang menjadi rujukan dia membuat kesimpulan (seperti ditulis pada footnote - 83).

+++++

Memahami hal sederhana seperti itu saja tidak mampu, bagaimana mau memahami cara para ulama dalam beristidalal; malai haqiqat, majaz, dalalah, dalalah iltizam, dll.

Lalau bagaimana dengan pacul kethul (cangkul tumpul) seperti itu dia bisa sampai meneliti kitab-kitab Hizbut Tahrir yang sarat dengan istidlal?
Bagaimana dengan kualitas seperti itu anda percaya pada MR?

+++++

Sementara ini dulu untuk menggambarkan apakah MR layak mengoprak-oprek  istidlal para ulama, termasuk dengan al-Qur'an, terkaiat Khilafah Islamiyyah.

Jadi, bisakah anda yakin dengan teknisi komputer yang alatnya cuma pacul kethul (cangkul tumpul)?!!

Ya ambyar semua lah....

Senin, 30 Maret 2020

Hukum Sewa Tanah

Bolehkah Untuk Tanah Ada Kompensasi Finansial?

بسم الله الرحمن الرحيم

 Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Kepada Saleh Natseh

 

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saya punya pertanyaan, yaitu hukum dua orang berserikat dalam menanami tanah. Orang pertama, dia punya tanah dan orang kedua menanaminya. Apakah hal itu boleh atau itu adalah muzara’ah? Dimana perkara ini rancu bagi saya. Diantara syabab ada yang mengatakan bahwa itu adalah muzara’ah, dan sebagian lagi mengatakan hal itu adalah boleh, dimana pemilik tanah bisa menjualnya selama tiga tahun yaitu jangka waktu yang diberikan untuk menanaminya. Dan semoga Allah memberikan berkah kepada Anda.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Muzara’ah adalah menyewakan tanah untuk ditanami. Terdapat dalil-dalil yang menyatakan keharaman muzara’ah, diantaranya:

Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ، فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ، فَإِنْ أَبَى، فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ»

“Siapa saja yang mempunyai tanah maka hendaklah ia menanaminya atau dia berikan kepada saudaranya, jika dia tidak mau maka hendaklah dia pertahankan tanahnya”.

 

Dari Jabir ra:

«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنِ الْمُخَابَرَةِ»

“Nabi saw melarang mukhabarah” (HR Muslim).

 

Mukhabarah adalah muzara’ah.

Dan di dalam Shahîh Muslim dari Jabir bin Abdullah, ia berkata:

«نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ يُؤْخَذَ لِلْأَرْضِ أَجْرٌ، أَوْ حَظٌّ»

“Rasulullah saw melarang diambil upah atau bagian untuk tanah”.

 

Rafi’ bin Khadij meriwayatkan, ia berkata: “kami melakukan mukhabarah pada masa Rasulullah saw lalu ia menyebutkan bahwa sebagian pamannya mendatanginya, lalu berkata: “Rasulullah saw melarang atau memerintahkan kepada kita perkara yang dahulu punya manfaat untuk kita, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasulullah lebih bermanfaat untuk kita. Ia berkata: “kami katakan: “apakah itu?” Ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا، أَوْ فَلْيُزْرِعْهَا أَخَاهُ، وَلَا يُكَارِيهَا بِثُلُثٍ وَلَا بِرُبُعٍ وَلَا بِطَعَامٍ مُسَمًّى». أخرجه أبو داود.

“Siapa yang punya tanah maka hendaklah dia menanaminya atau agar ditanami saudaranya, dan jangan dia sewakan dengan sepertiga, jangan pula dengan seperempat dan jangan pula dengan makanan jumlah tertentu.” (HR Abu Dawud)

 

Di dalam Sunan an-Nasai dari Usaid bin Zhuhair:

«نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِذًا نُكْرِيهَا بِشَيْءٍ مِنْ الْحَبِّ، قَالَ: لا، قَالَ: وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِالتِّبْنِ، فَقَالَ: لا، وَكُنَّا نُكْرِيهَا عَلَى الرَّبِيعِ، قَالَ: لا، ازْرَعْهَا أَوْ امْنَحْهَا أَخَاكَ»

“Rasulullah saw melarang dari menyewakan tanah. Kami katakan: “Ya Rasulullah, jika kami sewakan dengan (upah) biji-bijian?” Beliau menjawab: “Tidak”. Ia (Usaid) berkata: “dan kami sewakan dengan jerami?” Beliau menjawab: “Tidak”. “Dan kami sewakan dengan ar-rabî’ (hasil tanah di rabi’)?” Beliau menjawab: “tidak, tanamilah atau berikan saudaramu.”

 

Ar-Rabî’: sungai kecil, yakni lembah, yakni kami sewakan dengan penanaman bagian di sisi ar-rabî’ yakni di samping air.

Jelas dari hadits-hadits ini fakta muzara’ah bahwa itu adalah penyewaan tanah, baik apakah sewa yang dibayarkan adalah bagian dari hasilnya atau sesuatu yang lain… Juga jelas dari hadits-hadits tersebut keharaman muzara’ah…

Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa untuk tanah itu tidak boleh ada kompensasi apapun, khususnya hadits Muslim. Hadits tersebut jelas tentang hal itu.

«نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ يُؤْخَذَ لِلْأَرْضِ أَجْرٌ، أَوْ حَظٌّ»

“Rasulullah saw melarang diambil upah atau bagian untuk tanah”.

 

Demikian juga hadits al-Bukhari:

«مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ، فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ، فَإِنْ أَبَى، فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ»

“Siapa saja yang mempunyai tanah maka hendaklah ia menanaminya atau dia berikan kepada saudaranya, jika dia tidak mau maka hendaklah dia pertahankan tanahnya”.

 

Dan hadits an-Nasai:

«نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِذًا نُكْرِيهَا بِشَيْءٍ مِنْ الْحَبِّ، قَالَ: لا، قَالَ: وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِالتِّبْنِ، فَقَالَ: لا، وَكُنَّا نُكْرِيهَا عَلَى الرَّبِيعِ، قَالَ: لا، ازْرَعْهَا أَوْ امْنَحْهَا أَخَاكَ»

“Rasulullah saw melarang dari menyewakan tanah. Kami katakan: “Ya Rasulullah, jika kami sewakan dengan (sewa) biji-bijian?” Beliau menjawab: “Tidak”. Ia (Usaid) berkata: “dan kami sewakan dengan jerami?” Beliau menjawab: “Tidak”. “Dan kami sewakan dengan ar-rabî’ (hasil tanah di rabi’)?” Beliau menjawab: “tidak, tanamilah atau berikan saudaramu.”

 

Jadi tanah itu tidak boleh ada kompensasi untuknya.

* Atas dasar itu, apa yang ada di dalam pertanyaan Anda: (orang pertama punya tanah dan orang kedua menanaminya…) maka tanah di sini dianggap sebagai harta dan ia memiliki bagian artinya bahwa hukum muzara’ah berlaku terhadapnya. Dalam hal itu penamaan Anda hal itu sebagai musyarakah tidak berpengaruh, akan tetapi itu adalah muzara’ah dan tidak boleh. Demikian juga, dalam hal itu tidak ada pengaruhnya dalam hukum syara’, keberadaan muzara’ah itu selama tiga tahun atau setelahnya. Hukum syara’ itu berlaku pada akad itu sendiri, dan akad itu adalah batil selama untuk tanah itu dijadikan ada kompensasi finansial apapun jenisnya seperti yang dijelaskan di dalam dalil-dalil yang disebutkan di atas…

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

19 Sya’ban 1437 H