Hadits dan Atsar Seputar Intelektual Muda
Refleksi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober
oleh: Ahmad Abdurrahman al-Khaddami
Kondisi negeri - negeri Islam, termasuk di Indonesia saat ini menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang semakin bertambah. Berbagai peristiwa terakhir semisal diskursus mengenai UU KPK dan RUU KUHP, pengabaian separatisme di Papua, penelantaran kassus pembakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan, konflik berkepanjangan pasca Pemilu, kriminalisasi ulama dan ormas Islam, dan menguatnya pengaruh AS dan Cina, membuktikan hal tersebut. Tentu saja, secara alami menimbulkan berbagai gerakan perbaikan terhadap kondisi umat dan negeri, termasuk dari kalangan Intelektual Muda, yakni para pelajar dan mahasiswa, berupa penyebaran opini/pemikiran di media sosial maupun aksi turun ke jalan.
Berdasarkan fakta dan peristiwa tadi perlu dikaji mengenai pandangan Islam terkait pemuda apakah pada asalnya “bermasalah” ataukah tidak, peran intelektual apakah sekedar “penjaga ilmu” ataukah lebih lagi, dan apakah dibenarkan adanya perubahan yang muncul dari kalangan intelektual muda ataukah justru terkategori “ancaman serius’ nan mengandung madharat.
A. Pemuda Menurut Islam
Bahasa Arab merupakan bahasa Islam, karena merupakan bahasa yang digunakan oleh nash syar’i, begitupun penjelasan terkait nash yang disusun para Ulama. Dalam bahasa Arab, lafad asy-Syâbb dan al-Fatâ digunakan untuk menunjukkan makna “Pemuda”. Adapun batasan usianya menurut para Ulama ialah sejak baligh hingga 30 atau 50 tahun.
قال ابن منظور (لسان العرب) الفتاء الشَّباب والفَتى والفَتِيَّةُ الشابُّ والشابَّةُ
“Imam Ibn Manzhur dalam (Lisân al-Arab): al-Fatâ` yakni asy-Syabâb. al-Fatâ dan al-Fatiyyah, yakni asy-Syâbb dan asy-Syâbibah”.
وقال المرتضى الزبدي (تاج العروس) قال مُحَمَّد بنُ حَبِيب زَمَنُ الغُلُومِيَّة سَبْعَ عَشَرَةَ سَنَةً مُنْذُ يُولَدُ إِلى أَن يَسْتَكْمِلَها ثم زَمَنُ الشَّبَابِيَّة مِنْهَا إِلَى أَنْ يَسْتَكْمِلَ إِحْدَى وخَمْسِينَ سنة ثم هُوَ شَيْخٌ إِلَى أَنْ يَمُوتَ وقيل الشَّابُّ البَالِغُ إِلَى أَنْ يُكَمِّل ثَلاَثِين وقيل ابنُ سِتَّ عَشَرَةَ إِلى اثْنَتَيْن وثَلاَثِين
“Sayyid al-Murtadha az-Zabidi dalam (Tâj al-‘Arûs): Muhammad ibn Habib berkata, masa al-Ghulumiyyah itu 17 tahun sejak dilahirkan sampai sempurna (17 tahun) kemudian masa asy-Syababiyyah darinya sampai sempurna 51 tahun kemudian masa Syaikh sampai meninggal. Dikatakan asy-Syabb itu usia baligh sampai sempurna 30 tahun. Dikatakan (pula) sejak 16 tahun sampai 32 tahun”.
قال النووي (شرح صحيح مسلم) وَالشَّابّ عِنْد أَصْحَابنَا هُوَ مَنْ بَلَغَ وَلَمْ يُجَاوِز ثَلَاثِينَ
“Imam an-Nawawi dalam (Syarh Shahîh Muslim): Dan asy-Syabb menurut Ashhab kami (Syafi’iyyah) ialah orang yang baligh dan belum melewati usia 30 tahun”.
Dengan demikian, generasi kaum muslimin saat ini yang telah mencapai usia pelajar SMP dan SMA serta mahasiswa, baik yang menempuh studi S1 maupun setelahnya terkategori “Pemuda” berdasarkan penjelasan para Ulama. Konsepsi tersebut “lebih jelas” dibandingkan klasifikasi “Remaja/Teenager” dan “Dewasa/Adult” yang biasa digunakan oleh Peradaban Barat. Diantara nash – nash yang berkaitan dengan periode asy-Syababiyyah sebagai berikut:
(1) Dari Sayyidina ‘Uqbah ibn ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنْ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla benar - benar takjub (memuliakan di sisi-Nya dan memberikan pahala yang baik) terhadap pemuda yang tidak ada padanya shabwah (kecenderungan kepada hawa nafsu karena baiknya kebiasaan pemuda tersebut dan kekuatan tekadnya dalam menjauhi keburukan)”.
Hadist ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam al-Musnad dan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr. Imam al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâ`id menyatakan bahwa sanadnya hasan. Dalam Ilmu Hadits, sebagaimana dijelaskan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrîb ar-Râwî, pada asalnya perkataan dari ahli hadits yang mu'tamad bahwa sanadnya hasan, jika tanpa disertai penjelasan adanya syadz atau illat, menunjukkan kualitas hadits tersebut adalah hasan, karena pada asalnya syadz atau illat itu tidak ada hingga dibuktikan. Dengan demikian, hadits tersebut dapat digunakan sebagai hujjah dalam hukum maupun fadhilah amal. Adapun syarah hadits tersebut dinukil dari Faidh al-Qadhîr, karya Imam al-Munawi.
(2) Dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam, beliau bersabda mengenai 7 (tujuh) golongan yang mendapatkan naungan pada Yaumul Mahsyar, salah satu diantaranya:
شَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ
“Pemuda yang giat dalam beribadah kepada Allah (yang menunjukkan bahwa ketakwaan dirinya mengalahkan hawa nafsunya, padahal terdapat dorongan syahwat yang kuat pada dirinya)”.
Hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dengan syarah dari Fath al-Bârî, karya Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani.
(3) Dari Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu:
أَمَّا سَمِعْتُ اللهَ تعالى يقول قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ وإِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وهَلِ الْخَيْرُ إِلاّ في الشَّبَابِ
“Adapun saya mendengar Allah ta’ala berfirman, mereka berkata, kami mendengar seorang pemuda yang menyebutkan mereka, dikatakan (nama) baginya Ibrahim dan sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka. Bukankah kebaikan hanya ada pada para pemuda?”.
Atsar ini diriwayatkan Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jâmi’ li Akhlâq ar-Râwî. Dalam riwayat lengkapnya, ungkapan tersebut merupakan respon atas pandangan “negatif” sebagian pihak terhadap para pemuda yang hadir dalam majlisnya Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu.
Dapat disimpulkan bahwa menurut hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam dan atsar Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu dimungkinkan adanya kondisi pemuda yang baik “sejak awal”, meskipun diakui bahwa peluang pemuda untuk “tidak baik” juga cukup kuat, karena faktor besarnya dorongan potensi kehidupan (ath-Thâqah al-Hayawiyyah), berupa kebutuhan jasmani maupun gharizah yang ada padanya. Oleh karena itu, anggapan sebagian masyarakat bahwa pemuda itu “belum dewasa”, “emosinya tidak stabil”, “tidak berpikir panjang”, dan semisalnya tidaklah sepenuhnya benar. Justru para pemuda yang giat beribadah serta tidak cenderung kepada hawa nafsu mendapat pujian dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Bahkan Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu menegaskan “Kebaikan itu hanya ada pada para pemuda”.
Nash - nash tadi juga tidak dikhususkan untuk laki - laki saja, namun juga perempuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhuna al-‘Alim ‘Atha ibn Khalil Abu Rusytah hafizhahullâh dalam salah satu Soal-Jawab-nya bahwa meskipun dalam hadits 7 (golongan) yang mendapat naungan pada Yaumul Mahsyar menggunakan lafad mudzakkar namun di dalamnya mengandung makna muannats, kecuali yang berkaitan dengan hukum khusus bagi laki - laki, yakni Imam yang adil dan seseorang yang hatinya terikat dengan mesjid. Disebutkan dalam kitabnya, Taisîr al-Wushûl ila Ushûl, hal demikian dinamakan at-Taghlîb, yakni uslub bahasa Arab dalam pengunaan lafad - lafad umum yang mencakup bagian - bagian lainnya karena adanya hubungan diantara keduanya. Dengan demikian, semua pelajar maupun mahasiswa, laki - laki maupun perempuan sangat mungkin menjadi shalih dan shalihah “sejak awal”. Yang berarti menurut Islam, anggapan terhadap pemuda - pemudi sebagai “generasi belum matang” sehingga “tidak layak” untuk menjadi “pelopor kebaikan” di tengah masyarakat merupakan pandangan yang perlu dikaji ulang. Berbagai pandangan “negatif” terhadap “kepemimpinan pemuda” perlu dibatasi konteksnya, yakni dari segi teknis yang berkaitan dengan praktek dan pengalaman, bukan dari segi kemampuan dan pengetahuan. Wallâhu A’lam.
B. Kaum Intelektual Menurut Islam
Diantara tujuan atau hikmah dari penerapan Syariah Islam ialah menjaga akal (Hifzh al-‘Aqli). Salah satu bentuk penjagaan tersebut ialah dengan mewajibkan mencari ilmu dan menetapkan kemuliaan terhadap ilmu, ahlinya (ulama) dan para pencarinya. Yang berarti, optimalisasi potensi intelektualitas dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam yang mesti diterapkan. Bahkan menjadikan kebodohan “jahiliyyah” sebagai “saudara kembar” dari kekufuran. Oleh karena itu, kedudukan kaum intelektual dalam Islam sangatlah istimewa, namun juga mengisyaratkan adanya amanah dan tanggung jawab yang juga “luar biasa”.
Dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
“Barangsiapa yang ditanya suatu ilmu, sedangkan dia mengetahuinya kemudian menyembunyikan ilmu tersebut maka dia dibelenggu pada Yaumul Qiyamah dengan belenggu dari neraka”.
Hadist ini diriwayatkan para Imam: Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân. Diriwayatkan pula hadits semisal dari Ibn Mas’ud, Anas, Jabir, Ibn Umar, dan Ibn ‘Amru radhiyallâhu ‘anhum. Imam at-Tirmidzi menilainya hasan dan menurut Imam al-Hakim: sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim.
Imam al-Munawi dalam Faidh al-Qadhîr menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat dorongan untuk mengajarkan ilmu karena mempelajari ilmu itu untuk disebarkan dan dakwah kepada kebenaran, sedangkan menyembunyikan ilmu akan menghilangkan hikmah (tujuan) tersebut. Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqîh wa al-Mutafaqqih meriwayatkan dari Qatadah rahimahullâh :
فمن علم علما فليعلمه وإياكم وكتمان العلم فإنها هلكة
“Barangsiapa mengetahui suatu ilmu maka ajarkanlah ilmu tersebut. Berhati - hatilah dengan menyembunyikan ilmu, karena itu adalah kebinasaan”.
Demikian pula Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ menggunakan nash tentang “menyembunyikan ilmu” sebagai dalil kefardhuan mengajarkan ilmu, sehingga berdasarkan berbagai penjelasan tadi dapat dipahami bahwa ahli ilmu atau kaum Intelektual dianggap “menyembunyikan ilmu” apabila tidak mengajarkan ilmu yang diketahuinya. Oleh karena itu, peran kaum intelektual setidaknya ada pada 2 (dua) hal, yakni:
(1) Mengajarkan ilmu “kebenaran”supaya meluas penyebarannya serta tidak terputus hingga sampai pada generasi berikutnya, dan
(2) Tidak menyembunyikan ilmu “kebenaran” saat diajukan sebuah persoalan, terutama yang berkaitan dengan solusi atas problematika (masalah) yang terjadi.
Adanya ilmu pada seseorang berarti meniscayakan adanya kewajiban Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar sesuai kemampuan yang dimilikinya, sebagaiman dijelaskan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
إنما يأمر وينهى من كان عالما بما يأمر به وينهى عنه
“Hanyasaja memerintahkan dan melarang itu bagi yang berilmu terhadap apa yang diperintahkan dan yang dilarang darinya”.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka tidak dibenarkan bagi pelajar maupun mahasiswa menempuh berbagai kesulitan untuk mencari ilmu hanya “sekedar” untuk kepuasan diri, menang dalam perdebatan, meraih kedudukan, atau sarana kesuksesan materi. Mengabaikan idealisme dan rasionalitas agar cepat lulus sekolah/kuliah, kemudian “berebut” sumber pendapatan, kekuasaan, dan pasangan. Padahal, nilai ilmu “kebenaran” itu tidak sebanding dengan ketiganya, yang merupakan ujian “fitnah” dalam kehidupan di dunia. Berbagai kemuliaan yang didapatkan ahli ilmu semestinya tidak dapat tergantikan dengan berbagai “kebahagiaan semu” yang menjadi “sekedar” perhiasaan bagi dunia yang “sudah tua”. Wallâhu A’lam.
C. Intelektual Muda Untuk Perubahan
Dengan mempertimbangkan kekuatan potensi yang dimiliki para pemuda, baik laki - laki maupun perempuan, dan peran penting kaum intelektual, serta kondisi masyarakat yang membutuhkan solusi atas krisis multidimensi yang dialaminya, maka kontribusi “yang besar” dari pelajar dan mahasiswa dalam perubahan sosial yang hakiki, bukan saja mesti didukung namun merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan.
Adapun pandangan sebagian pihak yang menetapkan bahwa kemunculan kaum Inteletual Muda merupakan tanda akhir zaman berdasarkan riwayat dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam atau dengan kata lain merupakan ciri keburukan suatu zaman maka riwayat tersebut perlu dipahami berdasarkan penjelasan para Ulama yang mu’tabar. Riwayat yang dimaksud diantaranya semisal dari Sayyidina Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ ثَلاثاً إِحْدَاهُنَّ أَنْ يَلْتَمِسَ الْعِلْمَ عِنْدَ الأَصَاغِرِ
“Diantara tanda kiamat itu ada 3 (tiga), salah satunya ialah mencari ilmu (yang ada) pada kalangan Ashâghir”.
Hadits ini diriwayatkan Imam Abdullah ibn al-Mubarak dalam az-Zuhd wa ar-Raqâ`iq. Adapun makna Ashâghir “kalangan junior” yang dimaksud bukanlah dari segi usia, namun dari segi ilmu dan kemampuan. Yakni mereka yang “kurang ilmu” dari kalangan ahli bid’ah atau orang - orang yang berpendapat dengan bersandar pada pikirannya (ra`yu), sebagaimana dinukil Imam Abu Ubaid dalam Gharîb al-Hadîts dan Imam Ibn Abdil Barr dalam Jami Bayân al-‘Ilm dari Imam Ibn al-Mubarak, yang meriwayatkan hadits tersebut. Artinya, mereka mengabaikan nash sharih dan mengunggulkan pendapatnya padahal bertentangan dengan nash. Dengan kata lain, mereka adalah para Da’i dan Muballigh yang sesat dan menyesatkan, semisal para penyeru Sekulerisme, Sosialisme, dan Nasionalime yang melakukan manipulasi terhadap ayat maupun hadits, serta qaul ulama.
Bahkan para aktivis perubahan sejak masa lalu, yakni para Nabi sebelum Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam merupakan para pemuda sebagaimana diriwayatkan Imam Ibn Abi Hatim dalam at-Tafsîr dari Muhammad ibn ‘Auf dari Sa’id ibn Manshur dari Jarir ibn Abdul Hamid dari Qabus dari ayahnya dari Sayyidina Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ berikut:
مَا بعث الله نبياً إلا شاباً ولا أوتى العلم عالم إلا وهو شاب وتلا هذه الآية قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali sebagai pemuda dan tidaklah mendapatkan ilmu seorang “alim kecuali dia adalah pemuda. Beliau membaca ayat berikut (قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ)”.
Atsar tersebut diriwayatkan dengan sanad muttashil dan para perawi tsiqah, meskipun hanya berupa Hadits Mauquf, namun merupakan tafsir terhadap ayat yang berasal dari mufassir Sahabat yang mendapatkan doa dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Riwayat tersebut semakin menguatkan apa yang dijelaskan sebelumnya bahwa Intelektual Muda merupakan kemuliaan yang Allah ‘azza wa jalla karuniakan kepada hamba - hamba-Nya, bukan sebuah kerusakan maupun musibah.
Para penulis Tarikh Islam jelas mencatat kegemilangan para pemuda yang berkhidmat untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin melalui ilmu maupun amalnya semisal As-Sâbiqûn al-Awwalûn pada periode Makiyyah, diantaranya: Ja’far ibn Abu Thalib, az-Zubair ibn al-‘Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Zaid ibn Haritsah, Utsman ibn ‘Affan, Abdullah ibn Mas’ud, al-Arqam ibn Abi al-Arqam, Mush’ab ibn ‘Umair, dan Abdullah ibn Jahsy radhiyallâhu ‘anhum; Shighâr ash-Shahabah “para Sahabat Junior” pada periode Madaniyyah, diantaranya: Umm al-Mu’minin ‘Aisyah binti Abu Bakar, Usamah ibn Zaid, Hasan ibn Ali, Husain ibn Ali, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Abdullah ibn az-Zubair, dan Abdullah ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhum; para Tab’in, diantaranya: al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar, ‘Urwah ibn az-Zubair, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit, Sa’id ibn al-Musayyab, Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, serta Abdul Malik ibn Marwan dan Umar ibn Abdul Aziz rahimahumullâh; serta generasi setelahnya, diantaranya para Imam: Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, dan Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, serta para Amir: Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dan al-Ghazi Muhammad al-Fatih al-‘Utsmani rahimahumullâh.
Oleh karena itu, berbagai gerakan pelajar dan mahasiswa untuk memperbaiki negeri - negeri Islam, termasuk Indonesia, bukanlah “penyimpangan sosial” namun justru merupakan tanda bagi “Kebangkitan Umat”. Kesadaran dan aksi yang dilakukan, terlepas apakah sudah memenuhi kriteria amal yang benar ataukah tidak, menunjukkan adanya “potensi dan harapan hidup” setelah sekian lama berada dalam pengaruh kuat Hadharah Barat. Tentu saja, kesadaran dan aksi tersebut perlu disempurnakan dengan pembinaan berkelanjutan menuju terwujudnya perubahan hakiki, yakni kehidupan Islam dalam naungan Khilâfah ‘alâ Minhâj an-Nubuwwah. Hal demikian merupakan bentuk ibadah yang utama (afdhal al-‘ibadât) sesuai hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam berikut:
يَوْمٌ مِنْ إِمَامٍ عَادِلٍ أَفْضَلُ مِنْ عُبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً، وَحَدٌّ يُقَامُ فِي الأَرْضِ بِحَقِّهِ أَزْكَى فِيهَا مِنْ مَطَرٍ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Satu hari pemerintahan yang adil lebih utama dari ibadah 60 (enam puluh) tahun dan satu had yang ditegakkan di atas bumi sesuai haknya lebih baik di dalamnya dari hujan selama 40 (empat puluh) tahun”.
Hadits ini diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr dan Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrâ, dari sisi sanad terkategori ahad dan gharib dari jalur Abu Hariz al-Azdi dari Ikrimah dari Sayyidina Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ. Imam al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâ`id menilai para rijâl-nya tsiqah, kecuali Abu Ghailan asy-Syaibani, beliau tidak mengenalnya, sanadnya marfu’ muttashil, jika yang dimaksud Abu Ghailan asy-Syaibani adalah Sa’ad ibn Thalib; Imam al-Mundziri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb dan Imam Zainuddin al-Iraqi dalam Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ` menyatakan hadits ini sanadnya hasan. Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i al-Asy’ari ash-Shufi dalam karyanya Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn, rujukan utama Shufiyyah Sunniyyah, menjadikan hadits yang semakna sebagai hujjah dan menjelaskannya sebagai berikut:
أما الخلافة والإمارة فهي من أفضل العبادات إذا كان ذلك مع العدل والإخلاص وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ليوم من إمام عادل خير من عبادة الرجل وحده ستين عاما
“Adapun Khilafah dan Imarah maka termasuk ibadah yang paling utama apabila disertai keadilan dan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: satu hari dari Imam yang adil lebih baik dari ibadah seorang laki - laki selama 60 (enam puluh) tahun”.
Sudah semestinya berbagai gerakan pelajar dan mahasiswa yang peduli terhadap negeri - negeri Islam, temasuk Indonesia, agar menempuh jalan perubahan yang benar berdasarkan manhaj yang ditetapkan Rasulullaah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam Tidak dibenarkan hanya sekedar perubahan parsial, berupa revisi undang - undang dan peraturan atau berupa pergantian rezim yang dinilai zalim dan khianat, namun hendaknya lebih daripada itu, yakni perubahan sistem secara mendasar dan menyeluruh dari Kapitalisme dan Sosialisme menuju Islam Kaffah yang akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Wallâhu A’lam.