Selasa, 31 Desember 2019

takhrij hadits

من تشبه بقوم فهو منهم
"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian kaum tersebut"

hadis ini ulama berbeda dalam menghukuminya, ada yang menshahihkan ada yang mendhaifkan.

Diantara yang menshaihkan dan menghasankan hadis ini : Imam Ibnu Hajar al 'Asqalani, adz Dzahabi, Ibnu Taimiyah, al Iraqi, dan Albani. Sedangkan yang mendhaifkan : Syaikh al Arnauth, Imam as Sakhawi, az Zarkasyi, dan az Zayla'i.

hadis ini diriwayatkan oleh empat sahabat : Ibnu Umar, Hudzaifah al Yaman, Abu Hurairah dan Anas bin Malik.
Dua jalur yang dipersilisihkan yaitu jalur Ibnu Umar dan Hudzaifah al Yaman, sedangkan dua jalur sisanya yaitu Abu Hurairah dan Anas bin Malik adalah jalur yang dhaif parah.

Hadis Ibnu Umar semua jalurnya kembali kepada rawi Abdurahman bin Tsabit bin Tsauban :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ K: " مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ "

Ibnu Hajar dalam Taghliq at Ta'liq berkata :

وأبو منيب لا يعرف اسمه، وقد وثقه العجلي وغيره، وعبد الرحمن بن ثابت مختلف في الاحتجاج به

"Abu Munib tidak diketahui namanya, namun Imam al 'Ajali dan lainnya mentsiqahkannya. Sedangkan Abdurahman bin Tsabit diperselisihkan berhujjah dengannya"

Imam Ahmad,an Nasai, Ibnu Ma'in mendhaifkan Abdurahman bin Tsabit . Sedangkan Imam Tirmidzi mengomentari Abdurahman bin Tsabit bin Tsauban :

فعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ شامى ثقة لا بأس به مستقيم الحديث ما روى عنه الثقات ، وأكثر ما أنكروا عليه إنما هو من رواية جماعة من الضعفاء والمجروحين عنه ، وما رواه عنه الأئمة الثقات فهو صحيح الحديث

"Abdurahman bin Tsabit bin Tsauban warga syam tsiqah , tidak mengapa dengannya, dan hadisnya mustaqim (benar) selama yang meriwayatkan darinya orang-orang tsiqah . Kebanyakan ulama yang menganggapnya munkar adalah karena riwayat sekelompok rawi dhaif dan majruh . Sedangkan jika rawi yang meriwayatkan darinya adalah ulama tsiqah maka hadisnya shahih"

Oleh karenanya Ali bin al Madini. Abu Hatim, Ad Duhaim dan Ibnu Hibban mentsiqahkannya secara mutlak.

maka jika mendahulukan tajrih mufassar, perkataannya Imam Tirmidzi lebih dikedepankan. Artinya hadis ini secara dzatnya shahih tanpa perlu mutabaah, karena rawi yang meriwayatkan dari Abdurahman bin Tsabit bin Tsauban adalah rawi-rawi yang tsiqat. inilah yang dilakukan oleh al 'Iraqi dalam Takhrij Ihya.

Adapun jika tidak menerima penilaian ini, karena Imam Tirmidzi dianggap tasahul, Maka kesmpulannya hadis ini dhaif tapi muhtamal (masih bisa terangkat menjadi hasan lighairihi). Karena sebab kedhaifannya tidak parah yaitu suka salah.

Namun hadis ini ada mutaba'ah dari al Walid bin Muslim sebagaimana dalam kitab al Musykil Imam at Thahawi :

أخرجه الطحاوي في " المشكل " ( 1 / 88 – ط : الهندية ) عن أبي أمية ، حدثنا محمد بن وهب بن عطية ، ثنا الوليد بن مسلم ، ثنا الأوزاعي ، عن حسان ، به

Hadis ini rawinya tsiqat kecuali Abi Umayah dan al Walid bin Muslim.

Abi Umayah dikomentari Ibnu Hajar sebagai shaduq tapi suka wahm (berperasangka).
Sedangkan al Walid bin Muslim tsiqah hanya saja beliau suka melakukan tadlis taswiyah.

Hanya saja Imam adz Dzahabi mengatakan dalam Sayr a'lam an Nubala :

وكان من أوعية العلم ، ثقة حافظا ، لكن رديء التدليس ، فإذا قال : حدثنا ، فهو حجة . هو في نفسه أوثق من بقية وأعلم

"al Walid bin Muslim termasuk ahli ilmu, tsiqah hafidz, akan tetapi sering tadlis. Jika ia berkata : حدثنا maka ia adalah hujjah. Dia secara pribadinya adalah lebih tsiqah dan alim dari Baqiyah"

dan dalam hadis ini al Walid secara sharih mengatakan حدثنا artinya hadis ini bisa dijadikan hujjah, sebagaimana perkataannya adz Dzahabi. Artinya hadis ini dhaif sebab Abi Umayah.

Namun secara manhaj ulama, jika hadis dhaif ringan jalurnya banyak, maka dapat mengangkat hadisnya menjadi hasan li ghairihi. Hadis ini sudah cukup menjadi penguat untuk hadis Abdurahman bin Tsabit, yang menjelaskan jika beliau tidak salah (yukhti) dalam hadis ini.

Adapun jika ashab al Awzai lainnya meriwayatkannya secara mawquf dari al Awzai, bisa jadi al Awzai meriwayatkan hadis ini secara marfu dan mawquf sekaligus.

Apalagi hadis ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya walaupun secara mu'alaq dengan shigah at Tamridh. Ibnu Shalah berkata sebagaimana yang dikutip Imam Suyuthi dalam Tadrib ar Rawi :

وَعِبَارَةُ ابْنِ الصَّلَاحِ: وَمَعَ ذَلِكَ فَإِيرَادُهُ لَهُ فِي أَثْنَاءِ الصَّحِيحِ يُشْعِرُ بِصِحَّةِ أَصْلِهِ إِشْعَارًا يُؤْنَسُ بِهِ وَيُرْكَنُ إِلَيْهِ

"Ungkapan Ibnu as Shalah : walaupun seperti itu (dengan sighah at Tamridh), membawakan hadis yang seperti itu oleh Imam Bukhari ditengah-tengah kitab Shahihnya memberikan gambaran shahih asalnya yang bisa dijadikan penguat dan pendukung"

belum lagi makna hadis ini sesuai dengan al Quran dan hadis-hadis shahih yang mengharuskan umat Islam untuk mukhalafah dengan orang-orang kafir, fajir, munafiq, dan fasiq.

kesimpulannya hadis ini minimal hasan, belum lagi adanya hadis dari sahabat Hudzaifah al Yaman yang shahih mawquf kepadanya dengan dihukumi marfu', karena dalam masalah halal dan haram sebagai pendukung keshahihan hadis ini.

Catatan singkat Robi Pamungkas

Note; catatan masih mentah, bisa dikritik, bahkan disalahkan, maklum masih belajar :)

Jumat, 08 November 2019

KEPO HP SUAMI/Istri

*KEPO ISI HP SUAMI/ISTRI*

Memeriksa diam-diam HP orang lain bisa diartikan sebagai tindakan untuk mencari tahu rahasia pribadi orang lain. Hukumnya haram. Dasarnya adalah QS. Al-Hujurat ayat 12. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan sangka (kecurigaan) karena sebagian dari sangka itu dosa. Jangan memata-matai orang lain…,”

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz V, hlm. 292 disebutkan,

التَّحَسُّسُ هُوَ الاِسْتِمَاعُ إِلَى حَدِيثِ الْغَيْرِ، وَهُوَ مَنْهِيٌّ عَنْهُ لِقَوْل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“Tahasus (mencari tahu) salah satunya mendengarkan percakapan orang lain. Tahasus dilarang dalam agama berdasarkan hadits Rasulullah, ‘Jangan kalian memata-matai, jangan menggunakan pancaindra untuk mencari tahu orang, jangan saling mendengki, jangan saling membenci, jangan memutuskan tali ikatan. Jadilah hamba Allah yang bersaudara,’ (HR. Muslim).”

Meski tajasus adalah haram sebagaimana keterangan al-Qur’an dan hadits, tetapi bisa juga hukumnya wajib dan mubah. Wajib dalam situasi perang, dan mubah demi kepentingan pengadilan (Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz X, hlm.162).

Beredar kabar di Youtube bahwa anggota Dar al-Ifta Mesir, Syekh Majdi Asyur, pernah mengeluarkan hukum memeriksa dan memata-matai HP bagi pasangan suami istri adalah haram dan dilarang agama. Menurut beliau, larangan ini bersifat mutlak untuk keduanya tak ada pengecualian.

Tapi saya berpendapat lain, atau lebih tepatnya mengikuti pendapat lain. Sebenarnya hal itu tidak berlaku mutlak bagi suami atas istri dan anaknya. Mengapa? Karena tanggung jawab atas istri ada di suami. Baik dan buruknya istri tergantung suami. Jadi dalam konteks pendidikan dan penjagaan, suami bisa mengecek HP istri. Tetapi jika karena dasar mencari-cari kesalahan, kecurigaan atau sangkaan, maka tetap tidak boleh.

Tentang tanggung jawab suami dalam menjaga keluarganya, Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Demikian juga atas anak. Semua hal terkait anak ada pada tanggung jawab orang tuanya. Orang tua bisa terseret ke neraka karena perilaku anak. Jadi, adalah sah bagi orang tua memeriksa HP anaknya yang dalam tanggung jawab pendidikannya.

Hal itu semua terkait dengan prasangka, kecurigaan, dan keingintahuan akan hal yang bersifat pribadi. Tetapi kalau suami-istri sudah berkomitmen saling terbuka, tidak ada yang ditutupi, dan saling mempersilahkan membuka HP masing-masing, maka persoalannya lain lagi.

Intinya harus saling terbuka, namun tetap saling menghormati aspek privasi masing-masing. Hal tersebut mungkin dirasa sulit dijalankan, di saat pondasi keluarga bukan keimanan dan di kala hilangnya kepercayaan diantara suami-istri. Pada konteks inilah sebenarnya sangat relevan dengan hadits Nabi bahwa istri adalah “tawanan” suami. Nabi bersabda,

أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ

"Hendaklak kalian berwasiat kepada para istri dengan penuh kebaikan, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan –dalam tanggung jawab/kuasa– kalian." (HR. Tirmidzi).

Imam al-Mubarakfuri menjelaskan,

أن في قوله (( أخذتموهن )) دلالة على أنها كالأسيرة المحبوسة عند زوجها ، وله التصرف فيها والسلطنة عليها حسبما بينه الشرع ، ويوافقه قوله في رواية أخرى (( فإنهن عوان عندكم )) جمع عانية وهي الأسيرة ، لكنها ليست أسيرة خائفة كغيرها من الأسراء بل هي أسيرة آمنة

“Bahwa dalam sabda Nabi, “Kalian (wahai para suami) telah mengambil mereka (sebagai istri)”, adalah dalil yang menunjukkan bahwa istri bagaikan tawanan yang terpenjara di rumah suaminya, dan seorang suami memiliki hak dan kekuasaan untuk mengaturnya sesuai ketentuan yang dijelaskan syari’at, dan ini sesuai dengan sabda beliau yang lain, “Karena sesungguhnya istri-istri kalian adalah ‘awanun atau ‘tawanan-tawanan’ kalian”. Kata “‘awanun” adalah jama’nya “‘aniyah” yang berarti tawanan, akan tetapi ia bukan tawanan yang sedang ketakutan sebagaimana para tawanan yang lain, tetapi ia adalah TAWANAN YANG AMAN.” (Mir’ah al-Mafatih Syarh Misykah, 9/24)

Para suami dan istri, saya sangat sarankan menelaah kitab “Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah” karya al-‘Allamah al-Muhaddits al-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki. Isinya sangat baik untuk membingkai kerangka hukum, akhlak dan adab keluarga muslim.

Para suami, tahu kah engkau makna “qawwam” atau makna “awanun indakum”? Tahu kah fiqih tentang qawwamah dan “tawanan”? Kalau saja tahu, sungguh dalam konteks ini tanggung suami amatlah berat. Suami bisa terseret ke neraka karena perilaku istri dan anak, namun tidak sebaliknya. La haula wa la quwwata illa billah.

26 Ramadhan 1440 H
Oleh: Ustadz Yuana Riyan Tresna hafidzahullah

Kamis, 07 November 2019

Support kampanye

Support Kampanye #CintaNabiCintaSyariah

*MENCINTAI NABI, MENCINTAI SYARIAHNYA*

Pada bulan yang istimewa ini, kaum Muslim senantiasa memperingati momentum maulid Nabi Muhammad –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, kelahiran sosok agung pembawa risalah Islam yang diutus Allah –Ta’âlâ- untuk seluruh umat manusia (kâffata li al-nâs, lihat: QS. Saba’ [34]: 28) dan sebagai rahmat bagi semesta alam (lihat: QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107).

Perhatian kaum Muslim terhadap momentum peringatan maulid, diakui sebagai salah satu bentuk ekspresi kecintaan (mahabbah) terhadap beliau –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, dimana kecintaan (mahabbah) tersebut memang wajib ditumbuhkan dan dipupuk, serta dibuktikan dengan benar sesuai taujih nabawi itu sendiri, bagaimana sebenarnya mendudukkan persoalan mahabbah ini dalam persepektif nabawi?

*MENGHIDUPKAN SUNNAH RASULULLAH, BUKTI CINTA KEPADANYA*

Salah satu hadits yang mengandung pesan penting terkait membuktikan kecintaan terhadap Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, adalah hadits dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:  

«مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ»

“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja yang mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Thabarani, dll)[1]

Hadits ini mengandung informasi berharga bagi mereka yang mengaku mencintai Nabi Muhammad –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, mengingat hadits yang agung ini mengandung petunjuk dari beliau –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, berkaitan dengan cara membuktikan kecintaan tersebut, berikut ganjaran dari Allah bagi siapa saja yang benar-benar membuktikan cintanya.

Penjelasan lebih terperinci diuraikan Imam Izzuddin al-Shan’ani (w. 1182 H) bahwa menghidupkan sunnah, terwujud dengan mengamalkannya, menyiarkannya, dan menafikan penyimpangan kaum yang menyimpang atasnya.[2] Sehingga hadits ini menunjukkan secara jelas, motivasi yang kuat bagi setiap hamba Allah yang mengaku cinta pada nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, untuk mempelajari sunnahnya, mengamalkannya, menyiarkannya serta membelanya dari penyimpangan kaum sesat dengan meluruskan penyimpangannya, sesuatu yang lazim dilakukan oleh seseorang yang mengaku mencintai sesuatu, sebagai pembuktian bagi pengakuan cintanya.

Kata sunnati, berkonotasi thariqi, yakni jalan hidupku,[3] mencakup seluruh ajaran-ajaran yang beliau gariskan untuk umatnya, baik berupa ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi’liyyah) yang dicontohkan Rasulullah–shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bagi umatnya. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menguraikan:

Sunnah asalnya bermakna thariqah (metode) dan sirah (jalan hidup), dan disebutan secara syar’i, yang dimaksud dengannya adalah apa-apa yang Nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- perintahkan, dan beliau –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- larang, serta puji baik berupa perkataan, maupun perbuatan, selain ungkapan ayat al-Qur’an.[4]

Dimana gambaran hidup Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, menggambarkan keteladanan praktis penegakkan Islam secara totalitas (kâffah) dalam seluruh aspek kehidupan, dari mulai kehidupan pribadi, keluarga, hingga kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari mulai perkara syahadat dan shalat, hingga urusan imamah dan siyasah.

Selanjutnya, mencintai Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- adalah syarat menjadi penghuni surga, sebagaimana Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- memasukinya, berdasarkan ungkapan (مَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ).

Imam Izzuddin al-Shan’ani menguraikan makna (فَقَدْ أَحَبَّنِي), yakni benar-benar cinta kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, karena sesungguhnya siapa saja yang mencintai seseorang, maka ia akan bertingkah laku seperti pihak yang dicintainya, maka tanda cinta seseorang kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- adalah bertingkah laku sesuai sunnahnya, menolong sunnahnya, serta menyeru manusia kepadanya.[5]

Mencintai Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- merupakan tuntutan keimanan dan sifat yang terpuji. Al-‘Allamah al-Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1314 H) menguraikan bahwa cinta kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- termasuk sifat yang terpuji, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik r.a., dari Nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا»

“Tidak beriman salah satu di antara kamu, hingga menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada kepada selain keduanya.” (HR. Ahmad, al-Bazzar)[6]

Frasa (لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) berkonotasi tidak beriman dengan iman yang sempurna (îmân[an] kâmil[an]), yang menunjukkan kesempurnaan iman dibuktikan dengan menjadikan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya, dimana kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, dibuktikan dengan cara ittiba’ terhadap Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ {٣١}

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Âli Imrân [3]: 31)

*BERPEGANG TEGUH KEPADA SUNNAHNYA*

Berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- merupakan gambaran ittiba’ kepada beliau, yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Allah –Ta’âlâ- berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا {٢١}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)

Allah yang memberikan pujian, menunjukkan kebenaran pihak yang dipuji, karena Allah yang Maha Benar tidak mungkin keliru dalam menilai hamba-Nya, dimana Dia memberikan predikat kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- sebagai uswat[un] hasanat[un] (teladan yang baik) bagi kita, yang disebut Imam al-Baghawi (w. 516 H) sebagai qudwah shâlihah (panutan yang shalih).[7] Dalam ayat ini pun terdapat dua penegasan (taukîd) yakni lâm dan qad di depan kata kerja lampau (al-fi’l al-mâdhi) yang berfaidah menafikan segala bentuk keraguan dan pengingkaran terhadap kebenaran informasi yang disampaikan, dan menuntut pembenaran atasnya tanpa ada sedikit pun keraguan.[8] Dimana ayat yang agung ini pun dinukil oleh Dr. Muhammad bin Hamid Hawari untuk menegaskan wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-.

Allah –Ta’âlâ- pun berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ {٧}

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata telah mendengar Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-  bersabda:

«مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»

“Apa-apa yang aku larang atas kalian maka jauhilah ia, dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian maka laksanakanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian (dengan segenap kemampuan-pen.).” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Majah, al-Bazzar dan al-Thabarani. Lafal Muslim)[9]

Kata mâ dalam ayat dan hadits di atas menjadi petunjuk keumuman pesan dalam keduanya, perintah melaksanakan apa yang Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- contohkan dan ajarkan kepada umatnya, termasuk metode dakwah dalam upaya menegakkan kehidupan Islam menerapkan Islam kâffah dalam kehidupan. Menetapinya merupakan bentuk ittibâ’ terhadap Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- yang memang diwajibkan Allah –Ta’âlâ-, dan Dia jadikan sebagai salah satu syarat meraih kemenangan.

Syaikh Nawawi al-Bantani menguraikan bahwa salah satu bukti mahabbah kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- adalah dengan meniti jalannya, melaksanakan sunnahnya, ittiba’ terhadap perkataan dan perbuatannya, menunaikan perintahnya, dan menjauhi larangannya, beradab sesuai dengan adabnya, baik dalam keadaan susah maupun senang, sebagaimana diuraikan oleh Imam al-Ramli al-Syafi’i.[10] Mencakup sunnah qauliyyah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- yang mewasiatkan umatnya untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah, menegakkan Islam totalitas dalam kehidupan.

Hal itu diperjelas nash-nash lainnya yang menunjukkan kewajiban ittibâ’ kepada Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-. Allah –Ta’âlâ- pun berfirman:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {١٥٣}

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’âm [6]: 153)

Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- pun pernah membuat garis di depan para sahabatnya dengan satu garis lurus di atas pasir, sementara di kanan kiri itu beliau menggariskan garis-garis yang banyak. Lalu beliau bersabda, “Ini adalah jalanku yang lurus, sementara ini adalah jalan-jalan yang di setiap pintunya ada syaithan yang mengajak ke jalan itu.” Kemudian Nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- membaca QS. Al-An’âm [6]: 153 yang memerintahkan kita mengikuti jalan yang lurus serta melarang untuk mengikuti jalan yang lain. Kalimat (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) dalam ayat ini, menunjukkan hikmah dibalik seruan tersebut, yakni sebagai realisasi ketakwaan pada-Nya.

Selain itu, Allah telah mengancam orang-orang Islam yang menyalahi jalan Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dengan ancaman musibah dan azab yang pedih (QS. Al-Nûr [24]: 63), Allah pun berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا {١١٥}

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)

Diperjelas dalil-dalil al-Sunnah, yang secara tegas melarang kaum Muslim menyimpang dari jalan beliau –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, yakni dengan mengambil jalan kaum yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yang tersesat dari jalan-Nya. Salah satunya hadits dari Ibn Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

«لَتَتَّبِعُنَّ سنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ»

“Sungguh kamu mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga salah seorang dari mereka masuk lubang biawak pun sungguh kamu mengikutinya.”

Para sahabat lantas bertanya, “Apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari, Muslim)

*MENEGAKKAN SUNNAH RASULULLAH: MENEGAKKAN ISLAM KÂFFAH*

Salah satu sunnah qauliyyah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, adalah wasiat monumentalnya pada Haji Wada’ (haji perpisahan), yang mewasiatkan umatnya untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah, menjadikannya sebagai pedoman hidup:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»

“Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi dan lainnya)

Hadits ini mengandung pesan umum bagi manusia, mencakup kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya secara praktis. Wasiat Nabi –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- ini merupakan wasiat agung yang ditujukan kepada umat manusia secara umum, termasuk pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya.

Wasiat Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- ini, mengandung perintah fardhu untuk berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, mencakup kewajiban menjadikan keduanya sebagai dasar negara dan hukum perundang-undangan, mencakup aspek politik dalam negeri maupun luar negeri, fardhu dengan petunjuk (qarînah) adanya janji keselamatan dari kesesatan, diperkuat dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah lainnya.

Hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, yang menegakkan institusi politik Islam berpusat di Madinah al-Munawwarah, diteruskan oleh para sahabat al-khulafâ’ al-râsyidûn pada periode yang disebut Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits hasan riwayat Imam Ahmad, sebagai periode al-khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah. Ditegaskan para ulama dalam turats mereka yang menguraikan kewajiban menegakkan institusi Khilafah ini dalam kehidupan, sebagai ajaran Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dan disepakati para sahabat dengan konsensus (ijma’) mereka.

Dimana itu semua memahamkan kita secara terang benderang, bahwa penerapan Islam dalam kehidupan membutuhkan kekuasaan politik, yang ditafsirkan oleh Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- dalam bentuk praktis yakni dengan tegaknya institusi politik, negara Islam (al-daulah al-Islâmiyyah). Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)–begitu pula para ulama lainnya- mengumpamakannya sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان)[11], lalu Al-Ghazali pun menegaskan:

الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع

“Al-Dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”[12]

Merealisasikan itu semua bagian dari menyambut seruan Allah yang berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ {٢٤}

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfâl [8]: 24)

*MENOLONG RASULULLAH, SUNNAHNYA DAN GOLONGANNYA*

Menolong Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, sunnahnya dan golongannya (ahl al-sunnah), termasuk dalam cakupan menolong DinuLlah dalam QS. Muhammad [47]: 7:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {٧}

“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 7)

Dalam ayat yang agung ini, Allah menggunakan bentuk ungkapan syarat dan jawabnya (al-jumlah al-syarthiyyah), dengan perangkat (adat al-syarth) yakni in (إِنْ): jika kalian menolong Allah (إن تنصروا الله). Kalimat menolong, setelah sebelumnya diawali dengan seruan yang berkaitan dengan keyakinan (akidah), menunjukkan bahwa aktivitas menolong ini merupakan aktivitas yang berkenaan dengan perbuatan (hukum syara’) yang dilandasi oleh keimanan (akidah Islam), tidak terpisahkan.

Istimewanya, dalam kalimat ini Allah menisbatkan pertolongan hamba-hamba-Nya kepada-Nya, padahal Allah Maha Kuasa atas segala perkara, tidak membutuhkan pertolongan makhluk-Nya.

Imam Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi (w. 338 H) dan al-Qadhi Badruddin Ibn Jama’ah al-Syafi’i (w. 733 H) menjelaskan bahwa  bentuk ungkapan tersebut merupakan bentuk kiasan (majâz).[13] Pada ayat tersebut yang disebutkan langsung dinisbatkan kepada ”Allah”, namun maksudnya adalah dînuLlâh (agama Allah). Perinciannya, yakni dengan menghilangkan bentuk idhâfah dari kata Allah[14]: yakni menghilangkan kata dîn di depan lafal jalâlah (Allah), karena makna sebenarnya adalah menolong Rasul-Nya, Dîn-Nya[15], syari’at-Nya, dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh)[16], dalam ilmu balaghah (al-ma’âni), ini yang diistilahkan al-îjâz bi al-hadzf (bentuk meringkas perkataan dengan menghilangkan bagian), yang berfaidah lebih menguatkan makna yang dikehendaki daripada penyebutannya secara lengkap.[17]

Relevansinya dalam ayat ini, menunjukkan pentingnya perbuatan menolong agama Allah, karena seakan menisbatkan pertolongan makhluk langsung pada Allah ’Azza wa Jalla, ini sudah cukup menunjukkan besarnya kedudukan amal perbuatan tersebut, sehingga cukup menjadi dorongan kuat, targhîb, bagi hamba Allah yang mencintai-Nya, Din-Nya dan mengharapkan perjumpaan dengan-Nya. Bahkan jika seandainya Allah tidak menginformasikan ganjaran agung bagi mereka yang menolong Din-Nya: {يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ}.

Jika lantas timbul pertanyaan, “Dengan cara apa menolong dînuLlâh?” Jawabannya, yakni dengan beriman dan beramal shalih, salah satunya dengan berdakwah dengan meniti metode dakwah Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-, dakwah pemikiran, memahamkan umat agar menjadikan Islam sebagai ideologi kehidupan.

*JANJI KEMENANGAN BAGI YANG MENOLONG SYARIAHNYA*

Kalimat {يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ} merupakan jawaban (jawâb al-syarth) jika terpenuhinya apa yang menjadi syarat yakni ”menolong dînuLlâh” {إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ}. Pertolongan dari Allah, merupakan pertolongan untuk meraih keberhasilan atau keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Imam al-Sam’ani menafsirkan makna al-nashr minaLlâh (pertolongan dari Allah) yakni al-hifzh (pemeliharaan dan penjagaan dari segala keburukan) dan al-hidâyah (bimbingan petunjuk untuk senantiasa berada di atas kebenaran).

Ungkapan agung yutsabbit aqdâmakum (Dia akan meneguhkan kaki-kaki kalian), merupakan bentuk kiasan (majâz mursal), disebutkan sebagian yakni aqdâm (kaki-kaki) padahal yang dimaksud adalah keseluruhan diri orang yang Allah teguhkan (ithlâq al-juz’i wa irâdat al-kulli). Digunakan istilah kaki-kaki ini, karena ia adalah alat untuk berpijak (adât al-tsabât), sebagaimana diuraikan oleh Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili[18]. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan rasa, menggambarkan keteguhan, yakni teguh dalam Islam, dan dalam peperangan (jihad)[19], serta teguh dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk tantangan-tantangan dalam berdakwah, sebagaimana dialami oleh para nabi dan rasul –’alaihi al-salâm-.

Bukankah tiada kenikmatan yang lebih agung daripada nikmat iman dan Islam? Hingga Allah berfirman:

وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ {١٠٢}

“Dan janganlah sekali-kali kamu (wahai orang-orang yang beriman) mati melainkan dalam keadaan Islam.” (QS. Âli Imrân [3]: 102)

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., bahwa Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

«مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبّاً، وَبِالإسْلاَمِ ديناً، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً، وَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ»

“Siapa saja yang ridha Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai Din-nya, Muhammad sebagai rasul baginya, maka wajib baginya ganjaran surga.”

Maka Abu Sa’id merasa takjub, lalu ia berkata: “Tolong ulang kembali untukku wahai Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam-?” Kemudian Rasulullah –shallâLlâhu ‘alaihi wa sallam- mengulang kembali perkataannya (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Hibban, al-Nasa’i)[20]

*PENUTUP*

Inilah makna mencintai Nabi yakni mencintai syariahnya. Mencintai syariahnya terwujud dengan menghidupkan sunnahnya dengan mengupayakan tegaknya Islam secara totalitas dalam kehidupan. Kecintaan itulah yang mengantarkan seorang Muslim berada di barisan pejuang yang memperjuangkan Din al-Islam.

Keteladanan, keteguhan, dan pengorbanan beliau –shallâLlâhu ’alayhi wa sallam- dalam mengemban dakwah Islam ini, sudah seharusnya menggugah nafsiyyah kita, dakwah menuju Islam kâffah. Untaian bait sya’ir salah seorang sahabat berikut ini, cukup menggambarkan semangat beramal mereka ketika bersama Rasulullah membangun masjid, pada awal tegaknya kehidupan Islam di Madinah:

لَئِنْ قَعَدْنَا وَالنَّبِيُّ يَعْمَلُ * لَذَاكَ مِنَّا الْعَمَلُ الْمُضَلّلُ

“Betapa kita duduk menganggur, sedangkan Nabi asyik bekerja * Sungguh ia perbuatan sesat menyesatkan.”[21]

Tentu kaum Muslim tak ingin seperti kaum yang duduk-duduk berdiam diri, berpangku tangan menunggu pertolongan turun dari langit untuk membangkitkan kaum Muslim dalam tidurnya yang panjang, padahal Rasulullah –shallâLlâhu ’alayhi wa sallam- telah beramal, dan memberikan keteladanan sebaik-baiknya keteladanan. Dan kita, sebagaimana sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H):

نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا

“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun * Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[22]

Allâhu a’lam. [IAN/YRT]


*Catatan Kaki:*

[1] HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2678, bab بَابُ مَا جَاءَ فِي الأَخْذِ بِالسُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ البِدَعِ), ia berkata: “Hadits ini hasan gharib dari jalur ini.”; Abu Abdillah al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadr al-Shalât (no. 714); Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath (no. 9439); Al-Lalika’i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (no. 8); Ibn Baththah dalam al-Ibânah al-Kubrâ (no. 51); Ibn Syahin dalam Al-Targhîb fi Fadha’il al-A’mal (no. 527).
[2] Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, cet. I, 1432 H, juz X, hlm. 55.
[3] Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, India: Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1404 H, hlm. 281.
[4] Majduddin Abu al-Sa’adat Al-Mubarak Ibn al-Atsir, Al-Nihâyah fi Gharib al-Hadîts, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399 H, juz II, hlm. 409.
[5] Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz X, hlm. 55.
[6] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 13151) Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari “Sanadnya shahih sesuai syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim)”; Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 7540).
[7] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, Dâr Thayyibah, cet. IV, 1417 H, hlm. 420.
[8] Dalam persepektif ilmu balaghah (ilm al-ma’âni) keberadaan kata-kata taukîd (penegasan) yang lebih dari satu semisal lâm dan kata qad di depan al-fi’l al-mâdhi berfaidah menafikan segala bentuk pengingkaran, terlebih lagi keraguan dan menuntut pembenaran akan kebenaran berita yang disampaikan, ini dinamakan pula khabar inkari. Lihat: Abdullah al-Hamid dkk, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 39.
[9] HR. Muslim dalam Shahih-nya (no. 6184); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 10255); Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 1); Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 7658); Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (no. 8773).
[10] Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq fî Syarh Sullam al-Taufîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 104.
[11] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[12] Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H), Imam al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630 H), Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi (w. 896 H), dan lainnya.
[13] Yakni dalam tinjauan ilmu balaghah: ‘ilm al-bayân. Lihat: Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz IV, hlm. 119; Badruddin Ibn Jama’ah, Îdhâh al-Dalîl fî Qath’i Hujjaj Ahl al-Ta’thîl, Mesir: Dâr al-Salâm, cet. I, 1410 H, hlm. 117.
[14] Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinni al-Maushuli, Al-Muhtasib fî Tabyîn Wujûh Sawâdz al-Qirâ’ât wa al-Îdhâh ‘anhâ, Wizârat al-Awqâf, 1420 H/1999, juz I, hlm. 188.
[15] Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz IX, hlm. 31.
[16] Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, juz VIII, hlm. 42.
[17] Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm. 51.
[18] Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz ke-26, hlm. 83.
[19] Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz IX, hlm. 31.
[20] HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no. 1884); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 11117); Ibn Hibban dalam Shahîh-nya (no. 4612), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hadits hasan gharib”; Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (no. 8742); Al-Nasa’i dalam Sunan-nya (no. 3131).
[21] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Dâr Hijr, cet. I, 1418 H/1997, juz IV, hlm. 535.
[22] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.

Rabu, 06 November 2019

ISTRI ANDA,IRO´AH atau ZAUJAH?

// ISTRI ANDA, IMRO'AH atau ZAUJAH? //
[Renungan Untuk Semua Suami/Istri]

Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman (Khadim Ma'had Syaraful Haramain)
____________________________

Apakah kita telah memiliki satu visi dan akidah yg benar, harmonis dan tiada masalah yg mengganjal antara suami dan istri ?

Muhasabah dan tadabbur untuk para suami (dan istri) dari bahasan Tafsir al-Qur’an Tematik
BEDA “IMRA’AH, ZAUJAH, SHAHIBAH”
DALAM AL-QUR’AN

Al-Qur’an menggunakan kata istri dengan tiga lafadz yaitu Imra’ah, Zaujah, Shahibah, tetapi apa konotasi masing-masing sama, atau berbeda? Terkadang isteri disebut Zaujah, kadang Imra’ah, mengapa dibedakan?

Mari kita cerna dan analisis dengan baik, perbedaan masing-masing lafadz ini dalam al-Qur’an:

#Pertama, imra’ah [perempuan]

Jika dia mempunyai hubungan fisik & ikatan perkawinan antara pria dan wanita, tetapi tidak ada keharmonisan dan kecocokan pemikiran, maka perempuan ini disebut imra’ah.

#Kedua, zaujah [perempuan yang menjadi isteri]

Jika ada hubungan fisik & perkawinan, saling mengasihi, karena adanya kecocokan pemikiran, keharmonisan dan cinta kasih. Perempuan ini disebut zaujah [isteri/pasangan hidup].

Mengapa demikian ?

Mari kita perhatikan, ketika Alloh menyebut:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوح #وَامْرَأَتَ لُوطٍ*

“Alloh telah membuat perumpamaan bagi orang Kafir perempuan [isteri] Nuh dan perempuan [isteri] Luth.” [Q.s. at-Tahrim: 10]

Alloh tidak menyebut, “Zaujah Nuh”, atau “Zaujah Luth.” Hal ini karena adanya perbedaan visi dan akidah di antara keduanya. Mereka, Nuh dan Luth ‘alaihima as-salam, adalah para Nabi, dan beriman, sementara isteri-isteri mereka tidak beriman.

Begitu juga ketika Alloh menyebut:

وَقَالَتِ #امْرَأَتُ فِرْعَوْن قُرَّتُ عَيْنٍ لِّي وَلَكَ ۖ

“Dan berkatalah perempuan [isteri] Fir'aun, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu.” [Q.s. al-Qasas: 09]

Tidak menyebut, “Zaujah Fir’aun”, karena Fir’aun tidak beriman, atau Kafir, sementara isterinya telah beriman.

Sementara itu, perhatikanlah beberapa posisi, ketika al-Qur’an yang mulia menggunakan lafadz, “Zaujah” [isteri/perempuan yang menjadi pasangan hidup] yang 1 visi dan akidah yg lurus, Alloh berfirman:

ﻭَﻗُﻠْﻨَﺎ ﻳَﺎ آﺩَﻡُ ﺍﺳْﻜُﻦْ ﺃَﻧْﺖَ #ﻭَﺯَﻭْﺟُﻚَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Dan Kami [Allah] berfiman, “Wahai Adam, tinggallah kamu dan isterimu di surga.” [Q.s. al-Baqarah: 35]

ﻳﺎَ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞْ #ﻷﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu...” [Q.s. al-Ahzab: 28]

Itu semua, karena Alloh ingin menunjukkan adanya kecocokan pemikiran dan keharmonisan yang sempurna terutama dalam hal agama di antara keduanya..

Memang ada kasus dimana adakalanya Alloh menggunakan lafadz, “imra’ah” [perempuan], dengan konotasi isteri yang agamanya sama, sebagaimana yang digunakan melalui lisan Nabi Zakaria ‘alaihissalam, meski pemikirannya sama, dan ada keharmonisan di antara keduanya.

Yang beda adalah pada hati Nabi Zakaria ada harapan yang kurang terpenuhi dan masih mengganjal di benaknya pada istrinya, yakni terkait masalah keturunan

Alloh berfirman:

ﻭَﻛَﺎﻧَﺖْ #ﺍِﻣْﺮَﺃَﺗِﻲْ ﻋَﺎﻗِﺮﺍً‏

“ Isteriku adalah wanita yang mandul.“ [Q.s. Maryam: 05]

Ternyata, saat itu ada kemungkinan sedang terjadi masalah dalam hubungan antara Zakaria dengan isterinya, karena masalah kemandulan. Maka, Nabi Zakaria mengadukan harapannya kepada Alloh.

Singkatnya, setelah Alloh menganugerahkan putra kepadanya, yaitu Nabi Yahya ‘alaihissalam, sehingga tiada lagi masalah yang mengganjal di hati suami dan istri maka ungkapan al-Qur’an yang digunakan juga berbeda. Allah berfirman:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ ۚ

“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung.“ [Q.s. al-Anbiya’: 90]

Dalam konteks yang lain, Alloh juga menelanjangi rumah tangga Abu Lahab, seraya berfirman:
#وَامْرَأَتُه حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.” [Q.s. al-Lahab: 4]

Al-Qur’an ingin menunjukkan, bahwa di antara mereka sebenarnya tidak ada kesepahaman dan kecocokan.

#Ketiga, lafadz “Shahibah” [pendamping]

Al-Qur’an menggunakan lafadz “Shahibah” ketika hubungan secara fisik, perkawinan dan pemikiran antara suami isteri tersebut telah putus. Karena itu, hampir sebagian besar untuk menggambarkan fenomena pada Hari Kiamat, al-Qur’an menggunakan lafadz, “Shahibah”. Alloh berfirman:

ﻳَﻮْﻡَ ﻳَﻔِﺮُّ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻣِﻦْ ﺃَﺧِﻴْﻪِ ﻭَﺃُﻣِّﻪِ وَﺃَﺑِﻴْﻪِ #ﻭَﺻَﺎﺣِﺒَﺘِﻪِ ﻭَﺑَﻨِﻴْﻪِ

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri (pendamping) dan anak-anaknya.” [Q.s. ‘Abasa: 24-26]

Hal ini karena hubungan fisik dan pemikiran di antara keduanya telah terputus.

Pertama, karena kematian, dan kedua karena huru hara pada Hari Kiamat.

Untuk menegaskan itu, Alloh dengan tegas berfirman:

أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُن لَّهُ #صَاحِبَةٌ

“Bagaimana Dia (Alloh) mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri?” [Q.s. al-An’am: 101]

Mengapa Alloh tidak menggunakan lafadz, “Zaujah” atau “Imra’ah”?

Itu semua untuk menafikan adanya hubungan fisik, perkawinan dan pemikiran, dengan penafikan secara pasti, baik secara global maupun detail. Hal ini karena Alloh ﷻ tidak mungkin melakukan hal tsb.

Nah, PR untuk kita semua adalah apakah para suami muslim selama ini hanya memiliki zaujah atau masih sebatas imro'ah ?

Sudahkan kita satu visi, harmonis, memiliki aqidah dan pemahaman agama yang sama2 lurus serta tak ada masalah dan kekecewaan pada suami/istri kita ?

Maha Suci Alloh yang telah menurunkan
Mukjizat al-Qur’an yang luar biasa.[]WaLlãhu a'lam.

Jumat, 01 November 2019

kajian pasutri

Hukum istri memasukkan zakar suaminya yg sedang tidur,ke dalam liang vaginanya
#kajian khusus pasutri.!!!

Dalam kitab تحفة العروسين disebutkan :
اعتناق المرأة للرجل من الخلف والصاقها ثدييها بظهره مما يزيد فى شهوته
Merangkulnya istri kpd suaminya dari belakang dan menempelkan kedua puting susunya ke punggung suami itu salah satu cara dapat menambah gairah syahwat sang suami
لمس المؤخرة و ضربها بشكل خفيف و مستمر يوقظ في المرأة احاسيس مختلفة و يجعلها تطلب المزيد دائما وأيضا لأن في هذا المكان بعض اطراف الأعصاب التي تثير المرأة بمجرد لمسهاويشعرها أن الرجل يريد شيئا ما منها
Memegang bagian belakang(bokong) istri & memukul dgn cara yg halus nan terus menerus itu dapat membangkitkan rasa yg berbeda2 bagi istri sehingga istri ingin selalu minta hal tersebut,knp istri suka ditepuk2/diremas2 pantatnya? karena ada sebagian ujung saraf2 yg dapat membangkitkan seorang istri hanya dgn memegang pantatnya dan dia merasa bahwa suaminya menginginkan sesuatu darinya

وفي كشاف القناع قال البهوتي الحنبلي وليس لها استدخال ذكره وهو نائم في فرجها بلا إذنه لأنه تصرف فيه بغير إذنه ولها لمسه وتقبيله بشهوة ولو نائما
Dlm kitab Kassyaful Qina' ,Imam Al Bahuti Al Hambali berkata : bagi istri tidak boleh memasukkan zakar suaminya ke dalam lubang vaginannya sedang suaminya tidur tanpa izin dari suaminya,karena itu termasuk menggunakan barangnya tanpa izin suaminya,namun istri boleh memegang/mengotak atik & mencium zakar suaminya walapun si suami sedang tidur
وللزوج الاستمتاع بزوجته كل وقت على اي صفة كانت اذا كان فى القبل ولو كان من جهة عجيزتها
Masih dlm kitab Kassyaful Qina' : bagi suami boleh menikmati istrinya setiap saat dgn gaya apapun dlm menyetubuhi vaginanya wlaupun dari arah belakang (pantat)
قال ابن عابدين الحنفي سأل أبا حنيفة عن الرجل يمس فرج امرأته وهي تمس فرجه ليتحرك عليها هل ترى بذلك بأسا قال لا وأرجو أن يعظم الأجر
Ibnu Abidin dlm kitabnya Raddul Muhtar berkata: Abu Yusuf pernah bertanya kpd Imam Abu Hanifah tentang seorang suami yg memegang farji istrinya sedangkn si istri juga bermain2/memegang zakar suaminya agar saling bergejolak syahwat mereka berdua,apakah engkau berpendapat bahaya akan hal tersebut?? Abu Hanifah menjawab : tidak!! Justru Aku berharap pahalanya semakin besar
وقال القاضي ابن العربي قد اختلف الناس في جواز نظر الرجل إلى فرج زوجته على قولين: أحدهما يجوز: لأنه إذا جاز له التلذذ فالنظر أولى ...
وقال أصبغ من علمائنا يجوز له أن يلحسه بلسانه
وقال في مواهب الجليل شرح مختصر خليل قيل لأصبغ إن قوما يذكرون كراهته فقال من كرهه إنما كرهه بالطب لا بالعلم ولا بأس به وليس بمكروه
Ashbagh berkata : boleh bagi suami menjilat - jilati farji istrinya dgn lidahnya
Kemudian beliau ditanya : ada Ulama yg menyebutkan makruh menjilat farji istri,maka beliau menjawab : sebenarnya hal itu makruh/tidak disukai dlm segi ilmu kesehatan,adapun dlm ilmu agama tidak apa dan tidak makruh
وقد روي عن مالك أنه قال لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع وزاد في رواية ويلحسه بلسانه
Diriwayatkn dari Imam Malik bahwa beliau berkata: tidak bahaya bagi seorang suami melihat farji istrinya saat bersenggama. Dan ada riwayat tambahan dari beliau : tidak mengapa bagi suami menjilat farji istrinya dgn lidahnya
وقال الفناني الشافعي يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها
وقال المرداوي الحنبلي في الإنصاف قال القاضي في الجامع يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع ويكره بعده... ولها لمسه وتقبيله بشهوة وجزم به في الرعاية وتبعه في الفروع وصرح به ابن عقيل
Al Fannani As Syafi'i berkata : Boleh bagi suami menikmati seluruh tubuh istrinya walaupun menghisap klitoris/klentit istrinya asal tidak menyetubuhi dubur istrinya. Boleh mencium vagina istrinya sebelum jima', adapun setelah jima' maka hukumnya makruh,bagi istri jg sama,boleh memegang2 & mencium penis suaminya. Hal ini jg diperjelas oleh Ibnu Aqil.

________________nantikan in Sya ALLAH episod jum'at depan dgn bahasan yg lebih hots hots
Baca juga gaya bercium yg nikmat & anjuran mendesah serta bergoyang disini
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=777438839296322&id=100010906382146

Selasa, 29 Oktober 2019

KOREKSI KALAMULLAH

{KOREKSI} “MASIH TENTANG KALAMULLAH” [2]

Menjelang sore kemarin, ada yang mengirim tulisan di WAG, judulnya “MASIH TENTANG KALAMULLAH” [2], ditulis oleh Al-Fadhil Al-Ustaz Hidayat Nur (cuplikannya bisa Anda lihat di SS). Tulisannya terlihat bagus, namun ada kekeliruan yang perlu dibetulkan, ada kesalahan yang harus diluruskan, dan ada fakta sebenarnya yang harus diketahui bersama.

Pada point ➊, beliau nampaknya masih meragukan kesahihan aṡar Imam Aḥmad yang menyatakan bahwa Kalam Allah dengan Suara, ini bisa kita lihat pada kalimatnya dalam kurung “(jika riwayat dari beliau shahih)”. Ini sebuah kekeliruan yang perlu dibetulkan, karena aṡar tersebut benar-benar Sahih tanpa ada keraguan sedikit pun, sudah pernah saya ulas disini (https://web.facebook.com/aedogawa/posts/2359322544320004).

Berikutnya, beliau mengatakan bahwa aṡar Imam Aḥmad tersebut dikembalikan ke metode Tafwidh (MENYERAHKAN MAKNANYA KEPADA ALLAH DAN MEMALINGKAN KALIMAT SHAUT DARI MAKNA ZHAHIRNYA...). Ini kesalahan fatal yang harus diluruskan, kenapa? Karena salah memaknai kata “tafwidh”. Sejak kapan makna “tafwidh” seperti itu? Yang benar, makna “tafwidh” adalah menyerahkan maknanya kepada Allah, ini saja. Adapun kata-kata “memalingkan kalimat shaut dari makna zhahirnya” adalah maknanya “takwil”.

Kesalahan yang harus diluruskan berikutnya adalah, beliau memaksakan diri agar aṡar Imam Aḥmad tersebut dikembalikan ke metode tafwidh. Sekali lagi, ini sebuah kesalahan. Karena yang benar dan sahih adalah, mengembalikan aṡar tersebut ke metode iṡbāt, bukan yang lain. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-‘Arif Billāh Asy-Syaykh ‘Abdul-Qādir Al-Jīlānī Al-Ḥanbalī (w. 561 H):

وقد نص الإمام أحمد رحمه الله على إثبات الصوت في رواية جماعة من الأصحاب رضوان الله عليهم أجمعين. خلاف ما قالت الأشعرية من أن كلام الله معنى قائم بنفسه، والله حسيب كل مبتدع ضال مضل
“Sungguh Al-Imām Aḥmad telah menegaskan tentang IṠBĀT SUARA dalam riwayat sejumlah sahabatnya (murid-muridnya) riḍwānullahu ‘anhum ajma‘īn. BERBEDA dengan apa yang dinyatakan oleh ASY‘ARIYYAH, bahwa Kalam Allah adalah makna yang berdiri sendiri. Dan Allah yang akan menghisab setiap mubtadi‘ (ahli bidah) yang sesat lagi menyesatkan.” [Al-Gunyah li-Ṭalibī Ṭarīq Al-Ḥaq ‘azza wa jalla, hal. 131]

Pernyataan Syekh Al-Jīlānī diatas sangat jelas dan terang, bahwa Imam Aḥmad dan para Mahasantrinya meng-IṠBĀT Suara Kalāmullāh, BUKAN men-tafwidh sebagaimana dikatakan oleh Yai Hidayat Nur.
Pernyataan Syekh Al-Jīlānī selaras dengan (misalnya) Al-Imām Al-‘Imrānī Asy-Syāfi‘ī dan Al-Imām As-Sijzī Asy-Syāfi‘ī yang meng-IṠBĀT Suara Kalāmullāh. Bahkan Al-Imām Muwaffiqquddīn Ibnu Qudāmah Al-Maqdisī Al-Ḥanbalī (w. 620 H) menulis risalah khusus tentang isu ini dengan judul Aṣ-Ṣirāṭ Al-Mustqīm fi IṠBĀṬ Al-Ḥarf Al-Qadīm.

Pada point ➋, beliau secara yakin mengatakan bahwa Ibnu Kullab yang ditaklidi oleh mayoritas Asy‘ariyyah diakui bagian dari Ahlussunnah wal Jama‘ah, sudah banyak testimoni dan komentar dari ulama besar Ahlussunnah tentang ini, katanya.

Saya penasaran dengan ulama besar yang memberi testimoni tersebut, karena saya belum pernah menjumpai ada Ahli Hadis yang meriwayatkan hadis darinya, tentu ini sangat aneh bagi sosok yang katanya “agung” seperti beliau. Barangkali Al-Fadhil Ustaz Hidayat Nur berkenan berbagi informasi tersebut. Karena yang saya jumpai adalah sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Ḥāfiẓ Syaykhus-Sunnah Abū Naṣr As-Sijzī Asy-Syāfi‘ī (w. 444 H):

اعلموا - أرشدنا الله وإياكم - أنه لم يكن خلاف بين الخلق، على اختلاف نحلهم من أول الزمان إلى الوقت الذي ظهر فيه ابن كلاب والقلانسي، والصالحي والأشعري، وأقرأنهم الذين يتظاهرون بالرد على المعتزلة، وهم معهم بل أخس حالاً منهم في الباطن
“Ketahuilah -semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami dan kepada kalian- bahwasanya tidak ada perselisihan diantara manusia dengan perbedaan pemahaman mereka sejak awal zaman (islam) sampai waktu munculnya IBNU KULLĀB, Al-Qalānisī, Aṣ-Ṣāliḥī, AL-ASY‘ARĪ, dan kawan-kawan mereka yang menampakan bantahan terhadap Mu‘tazilah, padahal mereka bersama mereka (mu‘tazilah), bahkan mereka lebih jelek keadaan batinnya (dari mu‘tazilah).” [Ar-Radd ‘alā Man Inkār Al-Ḥarf waṣ-Ṣawt, hal. 70-71]

Yang menarik adalah pernyataan beliau, bahwa Imam Asy-Syahrastānī mengklaim pendapat Kalam Lafzi dari Asy‘ariyyah merupakan mazhab Salaf. Klaim dari Imam Asy-Syahrastānī ini perlu ditinjau ulang, karena (justru) yang saya jumpai dari pernyataan Imam Asy-Syahrastānī adalah sebagai berikut:

فأبدع الأشعري قولا ثالثا وقضى بحدوث الحروف وهو خرق الإجماع وحكم بأن ما نقرأه كلام اللّه مجازا لا حقيقة وهو عين الابتداع
Kemudian al-Asy'ari mengeluarkan pendapat ketiga (dalam masalah kalam) dan menetapkan ke-baru-an huruf dan ini MELANGGAR IJMAK. Beliau juga menghukumi bahwa apa yang kita baca (al-Qur'an) adalah kalam Allah yang bersifat majaz dan bukan hakiki, dan ini benar-benar perbuatan BIDAH (al-ibtidā‘). [Nihāyatul-Aqdām fī ‘Ilmil-Kalām, hal. 303]

Keterangan dari Asy-Syahrastānī itu sangat jelas bahwa pendapat Asy‘ariyyah tentang Kalam adalah pendapat baru (bidah), BUKAN pendapat mazhab Salaf. Hal ini memang benar adanya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah Aṡar Sahih yang diriwayatkan oleh Al-Ḥāfiẓ Ḍiyā’uddīn Al-Maqdisī Al-Ḥanbalī (w. 643 H):

أَخْبَرَنَا أَبُو أَحْمَدَ عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَلِيِّ بْنِ عُبَيْدِ الله الْمَعْرُوف ب ابْن سُكَيْنَةَ الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ أَنَّ أَبَا مُحَمَّدٍ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَلِيِّ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ المقرىء أَخْبَرَهُمْ قِرَاءَةً عَلَيْهِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْخَلَّالُ مِنْ لَفْظِهِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ شَاذَانَ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَفِيرٍ قَالَ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ
Telah mengabarkan kepada kami [Abū Aḥmad ‘Abdul-Wahhāb bin ‘Alī bin ‘Ubaydullāh, yang dikenal dengan Ibnu Sukaynah Aṣ-Ṣūfī di Bagdād], bahwa Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin ‘Alī bin Aḥmad bin ‘Abdullāh Al-Muqri’ telah mengabarkan kepada mereka yang membacakan kepadanya, telah mengabarkan kepada kami [‘Abdul-Malik bin Aḥmad bin Al-Ḥasan], ia berkata: telah menceritakan kepada kami [Abū Muḥammad Al-Ḥasan bin Muḥammad Al-Khallāl] dengan lafalnya, telah menceritakan kepada kami [Abū Bakr Aḥmad bin Ibrāhīm bin Syāżān, telah menceritakan kepada kami [Al-Ḥusayn bin Muḥammad bin ‘Aqīr], ia berkata: Abū Ja‘far Aḥmad bin Sinān berkata:

مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ شَيْئَيْنَ أَوْ أَنَّ الْقُرْآنَ حِكَايَةٌ فَهُوَ وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ زِنْدِيقٌ كَافِرٌ بِاللَّهِ
“Barangsiapa menyangka bahwa Al-Qur’an terdiri dari dua bagian (Kalam Nafsi dan Kalam Lafzi), atau menyangka bahwa Al-Qur’an merupakan hikāyah (maknawi), maka dia —demi Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah selain-Nya— adalah orang zindiq lagi kafir kepada Allah...” [Ikhtiṣāṣul-Qur’ān bi-‘Awdih ilā Ar-Raḥīm Ar-Raḥmān, no. 16]

Mungkin ada yang bertanya, siapakah Abū Ja‘far Aḥmad bin Sinān Al-Qaṭṭān Al-Wāsiṭī? Beliau wafat tahun 259 H, merupakan seorang Ulama Hadis yang Ḥāfiẓ lagi Ṡiqah, Mahaguru dari Al-Imām Ibnu Jarīr Aṭ-Ṭabarī, Muḥammad bin Ismā‘īl Al-Bukhārī, Ibnu Mājah, Abū Dāwud, dan banyak ulama hadis lainnya.

Dengan demikian, klaim dari Ustaz Hidayat Nur bahwa akidah Asy‘ariyyah tentang sifat kalam yang katanya sejalan dengan pemikiran ulama Salaf, adalah BATIL bin BATAL. Bagi orang awam seperti saya, lebih tenang dan tentram ikut penjelasan ulama Salaf saja, yakni menetapkan sifat Kalam Allah Bersuara dengan suara yang berbeda dengan Makhluk-Nya. Insyaallah itu lebih selamat...

Sekian dulu, semoga berfaedah. Amin...

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa
(Orang Madura Biasa, Mantan NU, Mantan Ikhwan Tarekat Tijani, Mantan Asy'ariyyah, Mantan HT, dan Mantanmu yang lainnya)

Senin, 28 Oktober 2019

pemuda

Hadits dan Atsar Seputar Intelektual Muda
Refleksi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober

oleh: Ahmad Abdurrahman al-Khaddami

Kondisi negeri - negeri Islam, termasuk di Indonesia saat ini menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang semakin bertambah. Berbagai peristiwa terakhir semisal diskursus mengenai UU KPK dan RUU KUHP, pengabaian separatisme di Papua, penelantaran kassus pembakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan, konflik berkepanjangan pasca Pemilu, kriminalisasi ulama dan ormas Islam, dan menguatnya pengaruh AS dan Cina, membuktikan hal tersebut. Tentu saja, secara alami menimbulkan berbagai  gerakan perbaikan terhadap kondisi umat dan negeri, termasuk dari kalangan Intelektual Muda, yakni para pelajar dan mahasiswa, berupa penyebaran opini/pemikiran di media sosial maupun aksi turun ke jalan.

Berdasarkan fakta dan peristiwa tadi perlu dikaji mengenai pandangan Islam terkait   pemuda apakah pada asalnya “bermasalah” ataukah tidak, peran intelektual apakah  sekedar “penjaga ilmu” ataukah lebih lagi, dan apakah dibenarkan adanya perubahan  yang muncul dari kalangan intelektual muda ataukah justru terkategori “ancaman serius’   nan mengandung madharat.

A. Pemuda Menurut Islam
Bahasa Arab merupakan bahasa Islam, karena merupakan bahasa yang digunakan oleh nash syar’i, begitupun penjelasan terkait nash yang disusun para Ulama. Dalam bahasa Arab, lafad asy-Syâbb dan al-Fatâ digunakan untuk menunjukkan makna “Pemuda”. Adapun batasan usianya menurut para Ulama ialah sejak baligh hingga 30 atau 50 tahun.
قال ابن منظور (لسان العرب) الفتاء الشَّباب والفَتى والفَتِيَّةُ الشابُّ والشابَّةُ
“Imam Ibn Manzhur dalam (Lisân al-Arab): al-Fatâ` yakni asy-Syabâb. al-Fatâ dan al-Fatiyyah, yakni asy-Syâbb dan asy-Syâbibah”.

وقال المرتضى الزبدي (تاج العروس) قال مُحَمَّد بنُ حَبِيب زَمَنُ الغُلُومِيَّة سَبْعَ عَشَرَةَ سَنَةً مُنْذُ يُولَدُ إِلى أَن يَسْتَكْمِلَها ثم زَمَنُ الشَّبَابِيَّة مِنْهَا إِلَى أَنْ يَسْتَكْمِلَ إِحْدَى وخَمْسِينَ سنة ثم هُوَ شَيْخٌ إِلَى أَنْ يَمُوتَ وقيل الشَّابُّ البَالِغُ إِلَى أَنْ يُكَمِّل ثَلاَثِين وقيل ابنُ سِتَّ عَشَرَةَ إِلى  اثْنَتَيْن وثَلاَثِين
“Sayyid al-Murtadha az-Zabidi dalam (Tâj al-‘Arûs): Muhammad ibn Habib berkata, masa al-Ghulumiyyah itu 17 tahun sejak dilahirkan sampai sempurna (17 tahun) kemudian masa asy-Syababiyyah darinya sampai sempurna 51 tahun kemudian masa Syaikh sampai meninggal. Dikatakan asy-Syabb itu usia baligh sampai sempurna 30 tahun. Dikatakan (pula) sejak 16 tahun sampai 32 tahun”.

قال النووي (شرح صحيح مسلم) وَالشَّابّ عِنْد أَصْحَابنَا هُوَ مَنْ بَلَغَ وَلَمْ يُجَاوِز ثَلَاثِينَ
“Imam an-Nawawi dalam (Syarh Shahîh Muslim): Dan asy-Syabb menurut Ashhab kami (Syafi’iyyah) ialah orang yang baligh dan belum melewati usia 30 tahun”.

Dengan demikian, generasi kaum muslimin saat ini yang telah mencapai usia pelajar SMP dan SMA serta mahasiswa, baik yang menempuh studi S1 maupun setelahnya terkategori “Pemuda” berdasarkan penjelasan para Ulama. Konsepsi tersebut “lebih jelas” dibandingkan klasifikasi “Remaja/Teenager” dan “Dewasa/Adult” yang biasa digunakan oleh Peradaban Barat. Diantara nash – nash yang berkaitan dengan periode asy-Syababiyyah sebagai berikut:

(1) Dari Sayyidina ‘Uqbah ibn ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنْ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla benar - benar takjub (memuliakan di sisi-Nya dan memberikan pahala yang baik) terhadap pemuda yang tidak ada padanya shabwah (kecenderungan kepada hawa nafsu karena baiknya kebiasaan pemuda tersebut dan kekuatan tekadnya dalam menjauhi keburukan)”.

Hadist ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam al-Musnad dan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr. Imam al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâ`id menyatakan bahwa sanadnya hasan. Dalam Ilmu Hadits, sebagaimana dijelaskan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrîb ar-Râwî, pada asalnya perkataan dari ahli hadits yang mu'tamad bahwa sanadnya hasan, jika tanpa disertai penjelasan adanya syadz atau illat, menunjukkan kualitas hadits tersebut adalah hasan, karena pada asalnya syadz atau illat itu tidak ada hingga dibuktikan. Dengan demikian, hadits tersebut dapat digunakan sebagai hujjah dalam hukum maupun fadhilah amal. Adapun syarah hadits tersebut dinukil dari Faidh al-Qadhîr, karya Imam al-Munawi.

(2) Dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam, beliau bersabda mengenai 7 (tujuh) golongan yang mendapatkan naungan pada Yaumul Mahsyar, salah satu diantaranya:

شَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ
“Pemuda yang giat dalam beribadah kepada Allah (yang menunjukkan bahwa ketakwaan dirinya mengalahkan hawa nafsunya, padahal terdapat dorongan syahwat yang kuat pada dirinya)”.

Hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dengan syarah dari Fath al-Bârî, karya Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani.

(3) Dari Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu:
أَمَّا سَمِعْتُ اللهَ تعالى يقول قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ وإِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وهَلِ الْخَيْرُ إِلاّ في الشَّبَابِ
“Adapun saya mendengar Allah ta’ala berfirman, mereka berkata, kami mendengar seorang pemuda yang menyebutkan mereka, dikatakan (nama) baginya Ibrahim dan sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka. Bukankah kebaikan hanya ada pada para pemuda?”.

Atsar ini diriwayatkan Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jâmi’ li Akhlâq ar-Râwî. Dalam riwayat lengkapnya, ungkapan tersebut merupakan respon atas pandangan “negatif” sebagian pihak terhadap para pemuda yang hadir dalam majlisnya Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu.

Dapat disimpulkan bahwa menurut hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam dan atsar Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu dimungkinkan adanya kondisi pemuda yang baik “sejak awal”, meskipun diakui bahwa peluang pemuda untuk “tidak baik” juga cukup kuat, karena faktor besarnya dorongan potensi kehidupan (ath-Thâqah al-Hayawiyyah), berupa kebutuhan jasmani maupun gharizah yang ada padanya.  Oleh karena itu, anggapan sebagian masyarakat bahwa pemuda itu “belum dewasa”, “emosinya tidak stabil”, “tidak berpikir panjang”, dan semisalnya tidaklah sepenuhnya benar. Justru para pemuda yang giat beribadah serta tidak cenderung kepada hawa nafsu mendapat pujian dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Bahkan Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu menegaskan “Kebaikan itu hanya ada pada para pemuda”.

Nash - nash tadi juga tidak dikhususkan untuk laki - laki saja, namun juga perempuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhuna al-‘Alim ‘Atha ibn Khalil Abu Rusytah hafizhahullâh dalam salah satu Soal-Jawab-nya bahwa meskipun dalam hadits 7 (golongan) yang mendapat naungan pada Yaumul Mahsyar menggunakan lafad mudzakkar namun di dalamnya mengandung makna muannats, kecuali yang berkaitan dengan hukum khusus bagi laki - laki, yakni Imam yang adil dan seseorang yang hatinya terikat dengan mesjid. Disebutkan dalam kitabnya, Taisîr al-Wushûl ila Ushûl, hal demikian dinamakan at-Taghlîb, yakni uslub bahasa Arab dalam pengunaan lafad - lafad umum yang mencakup bagian - bagian lainnya karena adanya hubungan diantara keduanya. Dengan demikian, semua pelajar maupun mahasiswa, laki - laki maupun perempuan sangat mungkin menjadi shalih dan shalihah “sejak awal”. Yang berarti menurut Islam, anggapan terhadap pemuda - pemudi sebagai “generasi belum matang” sehingga “tidak layak” untuk menjadi “pelopor kebaikan” di tengah masyarakat merupakan pandangan yang perlu dikaji ulang. Berbagai pandangan “negatif” terhadap “kepemimpinan pemuda” perlu dibatasi konteksnya, yakni dari segi teknis yang berkaitan dengan praktek dan pengalaman, bukan dari segi kemampuan dan pengetahuan. Wallâhu A’lam.

B. Kaum Intelektual Menurut Islam

Diantara tujuan atau hikmah dari penerapan Syariah Islam ialah menjaga akal (Hifzh al-‘Aqli). Salah satu bentuk penjagaan tersebut ialah dengan mewajibkan mencari ilmu dan menetapkan kemuliaan terhadap ilmu, ahlinya (ulama) dan para pencarinya. Yang berarti, optimalisasi potensi intelektualitas dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam yang mesti diterapkan. Bahkan menjadikan kebodohan “jahiliyyah” sebagai “saudara kembar” dari kekufuran. Oleh karena itu, kedudukan kaum intelektual dalam Islam sangatlah istimewa, namun juga mengisyaratkan adanya amanah dan tanggung jawab yang juga “luar biasa”.

Dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah  shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
“Barangsiapa yang ditanya suatu ilmu, sedangkan dia mengetahuinya kemudian menyembunyikan ilmu tersebut maka dia dibelenggu pada Yaumul Qiyamah dengan belenggu dari neraka”.

Hadist ini diriwayatkan para Imam: Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân. Diriwayatkan pula hadits semisal dari Ibn Mas’ud, Anas, Jabir, Ibn Umar, dan Ibn ‘Amru radhiyallâhu ‘anhum. Imam at-Tirmidzi menilainya hasan dan menurut Imam al-Hakim: sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim.

Imam al-Munawi dalam Faidh al-Qadhîr menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat dorongan untuk mengajarkan ilmu karena mempelajari ilmu itu untuk disebarkan dan dakwah kepada kebenaran, sedangkan menyembunyikan ilmu akan menghilangkan hikmah (tujuan) tersebut. Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqîh wa al-Mutafaqqih meriwayatkan dari Qatadah rahimahullâh :

فمن علم علما فليعلمه وإياكم وكتمان العلم فإنها هلكة
“Barangsiapa mengetahui suatu ilmu maka ajarkanlah ilmu tersebut. Berhati - hatilah dengan menyembunyikan ilmu, karena itu adalah kebinasaan”.

Demikian pula Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ menggunakan nash tentang “menyembunyikan ilmu” sebagai dalil kefardhuan mengajarkan ilmu, sehingga berdasarkan berbagai penjelasan tadi dapat dipahami bahwa ahli ilmu atau kaum Intelektual dianggap “menyembunyikan ilmu” apabila tidak mengajarkan ilmu yang diketahuinya. Oleh karena itu, peran kaum intelektual setidaknya ada pada 2 (dua) hal, yakni:
(1) Mengajarkan ilmu “kebenaran”supaya meluas penyebarannya serta tidak terputus hingga sampai pada generasi berikutnya, dan
(2) Tidak menyembunyikan ilmu “kebenaran” saat diajukan sebuah persoalan, terutama yang berkaitan dengan solusi atas problematika (masalah) yang terjadi.
Adanya ilmu pada seseorang berarti meniscayakan adanya kewajiban Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar sesuai kemampuan yang dimilikinya, sebagaiman dijelaskan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:

إنما يأمر وينهى من كان عالما بما يأمر به وينهى عنه
“Hanyasaja memerintahkan dan melarang itu bagi yang berilmu terhadap apa yang diperintahkan dan yang dilarang darinya”.

Berdasarkan pemahaman tersebut maka tidak dibenarkan bagi pelajar maupun mahasiswa menempuh berbagai kesulitan untuk mencari ilmu hanya “sekedar” untuk kepuasan diri, menang dalam perdebatan, meraih kedudukan, atau sarana kesuksesan materi. Mengabaikan idealisme dan rasionalitas agar cepat lulus sekolah/kuliah, kemudian “berebut” sumber pendapatan, kekuasaan, dan pasangan. Padahal, nilai ilmu “kebenaran” itu tidak sebanding dengan ketiganya, yang merupakan ujian “fitnah” dalam kehidupan di dunia. Berbagai kemuliaan yang didapatkan ahli ilmu semestinya tidak dapat tergantikan dengan berbagai “kebahagiaan semu” yang menjadi “sekedar” perhiasaan bagi dunia yang “sudah tua”. Wallâhu A’lam.

C. Intelektual  Muda Untuk Perubahan

Dengan mempertimbangkan kekuatan potensi yang dimiliki para pemuda, baik laki - laki maupun perempuan, dan peran penting kaum intelektual, serta kondisi masyarakat yang membutuhkan solusi atas krisis multidimensi yang dialaminya, maka kontribusi “yang besar” dari pelajar dan mahasiswa dalam perubahan sosial yang hakiki, bukan saja mesti didukung namun merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan.

Adapun pandangan sebagian pihak yang menetapkan bahwa kemunculan kaum Inteletual Muda merupakan tanda akhir zaman berdasarkan riwayat dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam atau dengan kata lain merupakan ciri keburukan suatu zaman maka riwayat tersebut perlu dipahami berdasarkan penjelasan para Ulama yang mu’tabar. Riwayat yang dimaksud diantaranya semisal dari Sayyidina Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ ثَلاثاً إِحْدَاهُنَّ أَنْ يَلْتَمِسَ الْعِلْمَ عِنْدَ الأَصَاغِرِ 
“Diantara tanda kiamat itu ada 3 (tiga), salah satunya ialah mencari ilmu (yang ada) pada kalangan Ashâghir”.

Hadits ini diriwayatkan Imam Abdullah ibn al-Mubarak dalam az-Zuhd wa ar-Raqâ`iq. Adapun makna Ashâghir “kalangan junior” yang dimaksud bukanlah dari segi usia, namun dari segi ilmu dan kemampuan. Yakni mereka yang “kurang ilmu” dari kalangan ahli bid’ah atau orang - orang yang berpendapat dengan bersandar pada pikirannya (ra`yu), sebagaimana dinukil Imam Abu Ubaid dalam Gharîb al-Hadîts dan Imam Ibn Abdil Barr dalam Jami Bayân al-‘Ilm dari Imam Ibn al-Mubarak, yang meriwayatkan hadits tersebut. Artinya, mereka mengabaikan nash sharih dan mengunggulkan pendapatnya padahal bertentangan dengan nash. Dengan kata lain, mereka adalah para Da’i dan Muballigh yang sesat dan menyesatkan, semisal para penyeru Sekulerisme, Sosialisme, dan Nasionalime yang melakukan manipulasi terhadap ayat maupun hadits, serta qaul ulama.

Bahkan para aktivis perubahan sejak masa lalu, yakni para Nabi sebelum Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam merupakan para pemuda sebagaimana diriwayatkan Imam Ibn Abi Hatim dalam at-Tafsîr dari Muhammad ibn ‘Auf dari Sa’id ibn Manshur dari Jarir ibn Abdul Hamid dari Qabus dari ayahnya dari Sayyidina Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ berikut:

مَا بعث الله نبياً إلا شاباً ولا أوتى العلم عالم إلا وهو شاب وتلا هذه الآية قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali sebagai pemuda dan tidaklah mendapatkan ilmu seorang “alim kecuali dia adalah pemuda. Beliau membaca ayat berikut (قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ)”.

Atsar tersebut diriwayatkan dengan sanad muttashil dan para perawi tsiqah, meskipun hanya berupa Hadits Mauquf, namun merupakan tafsir terhadap ayat yang berasal dari mufassir Sahabat yang mendapatkan doa dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Riwayat tersebut semakin menguatkan apa yang dijelaskan sebelumnya bahwa Intelektual Muda merupakan kemuliaan yang Allah ‘azza wa jalla karuniakan kepada hamba - hamba-Nya, bukan sebuah kerusakan maupun musibah.

Para penulis Tarikh Islam jelas mencatat kegemilangan para pemuda yang berkhidmat untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin melalui ilmu maupun amalnya semisal As-Sâbiqûn al-Awwalûn pada periode Makiyyah, diantaranya: Ja’far ibn Abu Thalib, az-Zubair ibn al-‘Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Zaid ibn Haritsah, Utsman ibn ‘Affan, Abdullah ibn Mas’ud, al-Arqam ibn Abi al-Arqam, Mush’ab ibn ‘Umair, dan Abdullah ibn Jahsy radhiyallâhu ‘anhum; Shighâr ash-Shahabah “para Sahabat Junior” pada periode Madaniyyah, diantaranya: Umm al-Mu’minin ‘Aisyah binti Abu Bakar, Usamah ibn Zaid, Hasan ibn Ali, Husain ibn Ali, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Abdullah ibn az-Zubair, dan Abdullah ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhum;  para Tab’in, diantaranya: al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar, ‘Urwah ibn az-Zubair, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit, Sa’id ibn al-Musayyab, Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, serta Abdul Malik ibn Marwan dan Umar ibn Abdul Aziz rahimahumullâh; serta generasi setelahnya, diantaranya para Imam: Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, dan Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, serta para Amir: Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dan al-Ghazi Muhammad al-Fatih al-‘Utsmani rahimahumullâh.

Oleh karena itu, berbagai gerakan pelajar dan mahasiswa untuk memperbaiki negeri - negeri Islam, termasuk Indonesia, bukanlah “penyimpangan sosial” namun justru merupakan tanda bagi “Kebangkitan Umat”. Kesadaran dan aksi yang dilakukan, terlepas apakah sudah memenuhi kriteria amal yang benar ataukah tidak, menunjukkan adanya “potensi dan harapan hidup” setelah sekian lama berada dalam pengaruh kuat Hadharah Barat. Tentu saja, kesadaran dan aksi tersebut perlu disempurnakan dengan pembinaan berkelanjutan menuju terwujudnya perubahan hakiki, yakni kehidupan Islam dalam naungan Khilâfah ‘alâ Minhâj an-Nubuwwah. Hal demikian merupakan bentuk ibadah yang utama (afdhal al-‘ibadât) sesuai hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam berikut:

يَوْمٌ مِنْ إِمَامٍ عَادِلٍ أَفْضَلُ مِنْ عُبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً، وَحَدٌّ يُقَامُ فِي الأَرْضِ بِحَقِّهِ أَزْكَى فِيهَا مِنْ مَطَرٍ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Satu hari pemerintahan yang adil lebih utama dari ibadah 60 (enam puluh) tahun dan satu had yang ditegakkan di atas bumi sesuai haknya lebih baik di dalamnya dari hujan selama 40 (empat puluh) tahun”.

Hadits ini diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr dan Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrâ, dari sisi sanad terkategori ahad dan gharib dari jalur Abu Hariz al-Azdi dari Ikrimah dari Sayyidina Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ. Imam al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâ`id menilai para rijâl-nya tsiqah, kecuali Abu Ghailan asy-Syaibani, beliau tidak mengenalnya,  sanadnya marfu’ muttashil, jika yang dimaksud Abu Ghailan asy-Syaibani adalah Sa’ad ibn Thalib; Imam al-Mundziri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb dan Imam Zainuddin al-Iraqi dalam Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ` menyatakan hadits ini sanadnya hasan. Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i al-Asy’ari ash-Shufi dalam karyanya Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn, rujukan utama Shufiyyah Sunniyyah, menjadikan hadits yang semakna sebagai hujjah dan menjelaskannya sebagai berikut:

أما الخلافة والإمارة فهي من أفضل العبادات إذا كان ذلك مع العدل والإخلاص وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ليوم من إمام عادل خير من عبادة الرجل وحده ستين عاما
“Adapun Khilafah dan Imarah maka termasuk ibadah yang paling utama apabila disertai keadilan dan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: satu hari dari Imam yang adil lebih baik dari ibadah seorang laki - laki selama 60 (enam puluh) tahun”.

Sudah semestinya berbagai gerakan pelajar dan mahasiswa yang peduli terhadap negeri - negeri Islam, temasuk Indonesia, agar menempuh jalan perubahan yang benar berdasarkan manhaj yang ditetapkan Rasulullaah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam Tidak dibenarkan hanya sekedar perubahan parsial, berupa revisi undang - undang dan peraturan atau berupa  pergantian rezim yang dinilai zalim dan khianat, namun hendaknya lebih daripada itu, yakni perubahan sistem secara mendasar dan menyeluruh dari Kapitalisme dan Sosialisme menuju Islam Kaffah yang akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Wallâhu A’lam.