Selasa, 29 Oktober 2019

KOREKSI KALAMULLAH

{KOREKSI} “MASIH TENTANG KALAMULLAH” [2]

Menjelang sore kemarin, ada yang mengirim tulisan di WAG, judulnya “MASIH TENTANG KALAMULLAH” [2], ditulis oleh Al-Fadhil Al-Ustaz Hidayat Nur (cuplikannya bisa Anda lihat di SS). Tulisannya terlihat bagus, namun ada kekeliruan yang perlu dibetulkan, ada kesalahan yang harus diluruskan, dan ada fakta sebenarnya yang harus diketahui bersama.

Pada point ➊, beliau nampaknya masih meragukan kesahihan aṡar Imam Aḥmad yang menyatakan bahwa Kalam Allah dengan Suara, ini bisa kita lihat pada kalimatnya dalam kurung “(jika riwayat dari beliau shahih)”. Ini sebuah kekeliruan yang perlu dibetulkan, karena aṡar tersebut benar-benar Sahih tanpa ada keraguan sedikit pun, sudah pernah saya ulas disini (https://web.facebook.com/aedogawa/posts/2359322544320004).

Berikutnya, beliau mengatakan bahwa aṡar Imam Aḥmad tersebut dikembalikan ke metode Tafwidh (MENYERAHKAN MAKNANYA KEPADA ALLAH DAN MEMALINGKAN KALIMAT SHAUT DARI MAKNA ZHAHIRNYA...). Ini kesalahan fatal yang harus diluruskan, kenapa? Karena salah memaknai kata “tafwidh”. Sejak kapan makna “tafwidh” seperti itu? Yang benar, makna “tafwidh” adalah menyerahkan maknanya kepada Allah, ini saja. Adapun kata-kata “memalingkan kalimat shaut dari makna zhahirnya” adalah maknanya “takwil”.

Kesalahan yang harus diluruskan berikutnya adalah, beliau memaksakan diri agar aṡar Imam Aḥmad tersebut dikembalikan ke metode tafwidh. Sekali lagi, ini sebuah kesalahan. Karena yang benar dan sahih adalah, mengembalikan aṡar tersebut ke metode iṡbāt, bukan yang lain. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-‘Arif Billāh Asy-Syaykh ‘Abdul-Qādir Al-Jīlānī Al-Ḥanbalī (w. 561 H):

وقد نص الإمام أحمد رحمه الله على إثبات الصوت في رواية جماعة من الأصحاب رضوان الله عليهم أجمعين. خلاف ما قالت الأشعرية من أن كلام الله معنى قائم بنفسه، والله حسيب كل مبتدع ضال مضل
“Sungguh Al-Imām Aḥmad telah menegaskan tentang IṠBĀT SUARA dalam riwayat sejumlah sahabatnya (murid-muridnya) riḍwānullahu ‘anhum ajma‘īn. BERBEDA dengan apa yang dinyatakan oleh ASY‘ARIYYAH, bahwa Kalam Allah adalah makna yang berdiri sendiri. Dan Allah yang akan menghisab setiap mubtadi‘ (ahli bidah) yang sesat lagi menyesatkan.” [Al-Gunyah li-Ṭalibī Ṭarīq Al-Ḥaq ‘azza wa jalla, hal. 131]

Pernyataan Syekh Al-Jīlānī diatas sangat jelas dan terang, bahwa Imam Aḥmad dan para Mahasantrinya meng-IṠBĀT Suara Kalāmullāh, BUKAN men-tafwidh sebagaimana dikatakan oleh Yai Hidayat Nur.
Pernyataan Syekh Al-Jīlānī selaras dengan (misalnya) Al-Imām Al-‘Imrānī Asy-Syāfi‘ī dan Al-Imām As-Sijzī Asy-Syāfi‘ī yang meng-IṠBĀT Suara Kalāmullāh. Bahkan Al-Imām Muwaffiqquddīn Ibnu Qudāmah Al-Maqdisī Al-Ḥanbalī (w. 620 H) menulis risalah khusus tentang isu ini dengan judul Aṣ-Ṣirāṭ Al-Mustqīm fi IṠBĀṬ Al-Ḥarf Al-Qadīm.

Pada point ➋, beliau secara yakin mengatakan bahwa Ibnu Kullab yang ditaklidi oleh mayoritas Asy‘ariyyah diakui bagian dari Ahlussunnah wal Jama‘ah, sudah banyak testimoni dan komentar dari ulama besar Ahlussunnah tentang ini, katanya.

Saya penasaran dengan ulama besar yang memberi testimoni tersebut, karena saya belum pernah menjumpai ada Ahli Hadis yang meriwayatkan hadis darinya, tentu ini sangat aneh bagi sosok yang katanya “agung” seperti beliau. Barangkali Al-Fadhil Ustaz Hidayat Nur berkenan berbagi informasi tersebut. Karena yang saya jumpai adalah sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Ḥāfiẓ Syaykhus-Sunnah Abū Naṣr As-Sijzī Asy-Syāfi‘ī (w. 444 H):

اعلموا - أرشدنا الله وإياكم - أنه لم يكن خلاف بين الخلق، على اختلاف نحلهم من أول الزمان إلى الوقت الذي ظهر فيه ابن كلاب والقلانسي، والصالحي والأشعري، وأقرأنهم الذين يتظاهرون بالرد على المعتزلة، وهم معهم بل أخس حالاً منهم في الباطن
“Ketahuilah -semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami dan kepada kalian- bahwasanya tidak ada perselisihan diantara manusia dengan perbedaan pemahaman mereka sejak awal zaman (islam) sampai waktu munculnya IBNU KULLĀB, Al-Qalānisī, Aṣ-Ṣāliḥī, AL-ASY‘ARĪ, dan kawan-kawan mereka yang menampakan bantahan terhadap Mu‘tazilah, padahal mereka bersama mereka (mu‘tazilah), bahkan mereka lebih jelek keadaan batinnya (dari mu‘tazilah).” [Ar-Radd ‘alā Man Inkār Al-Ḥarf waṣ-Ṣawt, hal. 70-71]

Yang menarik adalah pernyataan beliau, bahwa Imam Asy-Syahrastānī mengklaim pendapat Kalam Lafzi dari Asy‘ariyyah merupakan mazhab Salaf. Klaim dari Imam Asy-Syahrastānī ini perlu ditinjau ulang, karena (justru) yang saya jumpai dari pernyataan Imam Asy-Syahrastānī adalah sebagai berikut:

فأبدع الأشعري قولا ثالثا وقضى بحدوث الحروف وهو خرق الإجماع وحكم بأن ما نقرأه كلام اللّه مجازا لا حقيقة وهو عين الابتداع
Kemudian al-Asy'ari mengeluarkan pendapat ketiga (dalam masalah kalam) dan menetapkan ke-baru-an huruf dan ini MELANGGAR IJMAK. Beliau juga menghukumi bahwa apa yang kita baca (al-Qur'an) adalah kalam Allah yang bersifat majaz dan bukan hakiki, dan ini benar-benar perbuatan BIDAH (al-ibtidā‘). [Nihāyatul-Aqdām fī ‘Ilmil-Kalām, hal. 303]

Keterangan dari Asy-Syahrastānī itu sangat jelas bahwa pendapat Asy‘ariyyah tentang Kalam adalah pendapat baru (bidah), BUKAN pendapat mazhab Salaf. Hal ini memang benar adanya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah Aṡar Sahih yang diriwayatkan oleh Al-Ḥāfiẓ Ḍiyā’uddīn Al-Maqdisī Al-Ḥanbalī (w. 643 H):

أَخْبَرَنَا أَبُو أَحْمَدَ عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَلِيِّ بْنِ عُبَيْدِ الله الْمَعْرُوف ب ابْن سُكَيْنَةَ الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ أَنَّ أَبَا مُحَمَّدٍ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَلِيِّ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ المقرىء أَخْبَرَهُمْ قِرَاءَةً عَلَيْهِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْخَلَّالُ مِنْ لَفْظِهِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ شَاذَانَ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَفِيرٍ قَالَ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ
Telah mengabarkan kepada kami [Abū Aḥmad ‘Abdul-Wahhāb bin ‘Alī bin ‘Ubaydullāh, yang dikenal dengan Ibnu Sukaynah Aṣ-Ṣūfī di Bagdād], bahwa Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin ‘Alī bin Aḥmad bin ‘Abdullāh Al-Muqri’ telah mengabarkan kepada mereka yang membacakan kepadanya, telah mengabarkan kepada kami [‘Abdul-Malik bin Aḥmad bin Al-Ḥasan], ia berkata: telah menceritakan kepada kami [Abū Muḥammad Al-Ḥasan bin Muḥammad Al-Khallāl] dengan lafalnya, telah menceritakan kepada kami [Abū Bakr Aḥmad bin Ibrāhīm bin Syāżān, telah menceritakan kepada kami [Al-Ḥusayn bin Muḥammad bin ‘Aqīr], ia berkata: Abū Ja‘far Aḥmad bin Sinān berkata:

مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ شَيْئَيْنَ أَوْ أَنَّ الْقُرْآنَ حِكَايَةٌ فَهُوَ وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ زِنْدِيقٌ كَافِرٌ بِاللَّهِ
“Barangsiapa menyangka bahwa Al-Qur’an terdiri dari dua bagian (Kalam Nafsi dan Kalam Lafzi), atau menyangka bahwa Al-Qur’an merupakan hikāyah (maknawi), maka dia —demi Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah selain-Nya— adalah orang zindiq lagi kafir kepada Allah...” [Ikhtiṣāṣul-Qur’ān bi-‘Awdih ilā Ar-Raḥīm Ar-Raḥmān, no. 16]

Mungkin ada yang bertanya, siapakah Abū Ja‘far Aḥmad bin Sinān Al-Qaṭṭān Al-Wāsiṭī? Beliau wafat tahun 259 H, merupakan seorang Ulama Hadis yang Ḥāfiẓ lagi Ṡiqah, Mahaguru dari Al-Imām Ibnu Jarīr Aṭ-Ṭabarī, Muḥammad bin Ismā‘īl Al-Bukhārī, Ibnu Mājah, Abū Dāwud, dan banyak ulama hadis lainnya.

Dengan demikian, klaim dari Ustaz Hidayat Nur bahwa akidah Asy‘ariyyah tentang sifat kalam yang katanya sejalan dengan pemikiran ulama Salaf, adalah BATIL bin BATAL. Bagi orang awam seperti saya, lebih tenang dan tentram ikut penjelasan ulama Salaf saja, yakni menetapkan sifat Kalam Allah Bersuara dengan suara yang berbeda dengan Makhluk-Nya. Insyaallah itu lebih selamat...

Sekian dulu, semoga berfaedah. Amin...

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa
(Orang Madura Biasa, Mantan NU, Mantan Ikhwan Tarekat Tijani, Mantan Asy'ariyyah, Mantan HT, dan Mantanmu yang lainnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar