Sabtu, 29 Juni 2019

MUAWIYYAH SAHABAT NABI

SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI MENDEPAK MU'AWIYYAH DARI JAJARAN SHAHABAT?

Beberapa pihak beranggapan bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tidak memasukkan Mu'awiyyah bin Abi Sufyan sebagai shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم lantaran kutipan dari Syakhshiyyah Islamiyyah jilid I berikut:

ومثلا قد يقال معاوية بن أبي سفيان رأى الرسول صلى الله عليه وسلم واجتمع به، وكل من رأى الرسول صلى الله عليه وسلم واجتمع به صحابي، فالنتيجة معاوية بن أبي سفيان صحابي، وهذه النتيجة خطأ.
"Misalnya kadang dikatakan: Mu'awiyah bin Abi Sufyan pernah melihat dan bertemu dengan Rasul صلى الله عليه وسلم. Dan setiap orang yang pernah melihat dan bertemu dengan Rasul صلى الله عليه وسلم adalah shahabat, maka konklusinya Mu'awiyyah bin Abi Sufyan adalah shahabat. Konklusi spt ini salah."

Demikianlah potongan kutipan tsb. Dan kalau hanya mengutip kutipan tsb semata, memang tidak dipungkiri bahwa Syaikh Taqiyuddin tidak memasukkan beliau sebagai shahabat. Namun, kalau kita melihat lebih utuh kutipan tsb, maka akan lain lagi ceritanya. Coba kita perhatikan bersama kutipan yang lebih utuhnya,:

ومثلا قد يقال معاوية بن أبي سفيان رأى الرسول صلى الله عليه وسلم واجتمع به، وكل من رأى الرسول صلى الله عليه وسلم واجتمع به صحابي، فالنتيجة معاوية بن أبي سفيان صحابي، وهذه النتيجة خطأ. فليس كل من رأى الرسول صلى الله عليه وسلم واجتمع به صحابيا وإلا لكان أبو لهب صحابيا، بل صحابي هو كل من تحقق فيه معنى الصحبة كأن غزا مع الرسول صلى الله عليه وسلم غزوة أو غزوتين أو صحبه سنة أو سنتين.
"Misalnya kadang dikatakan: Mu'awiyah bin Abi Sufyan pernah melihat dan bertemu dengan Rasul صلى الله عليه وسلم. Dan setiap orang yang pernah melihat dan bertemu dengan Rasul صلى الله عليه وسلم adalah shahabat, maka konklusinya Mu'awiyyah bin Abi Sufyan adalah shahabat. Konklusi spt ini salah. Karena tidak semua orang yang melihat dan bertemu dengan Rasul صلى الله عليه وسلم adalah shahabat, alasannya jika demikian (definisinya) maka Abu Lahab adalah shahabat. Padahal shahabat adalah setiap orang yang terpenuhi di dalam dirinya makna shuhbah seperti dia pernah berperang bersama Rasul صلى الله عليه وسلم dalam satu atau dua kali peperangan atau dia yang senantiasa menemani dan melazimi (menyertai secara intens) beliau selama satu atau dua tahun lamanya."

Dengan melihat fakta Mu'awiyyah bin Abi Sufyan kemudian dinilai dengan standar definisi yang dipegang oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tsb maka akan kita dapati dengan jelas bahwa Mu'awiyyah bin Abi Sufyan tegas termasuk salah seorang shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم. Beberapa bukti yang menunjukkan hal tsb adalah sebagai berikut:

Pertama, beliau masuk Islam di tahun ke 8 Hijrah pada peristiwa Fath Makkah dan setelah itu Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadikannya salah satu penulis wahyu. Ini artinya beliau senantiasa melazimi (menemani intensif) Rasulullah صلى الله عليه وسلم lebih dari satu atau dua tahun. Dan kalau melihat tahun wafatnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم, yakni tahun ke 11 Hijrah, artinya Mu'awiyyah telah melazimi beliau selama 3 tahun. Apalagi kedudukan beliau sebagai salah satu katib (penulis wahyu) nya Rasulullah صلى الله عليه وسلم, semakin menguatkan ke-shuhbah-an beliau dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Kedua, beliau pernah berperang bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam tiga peperangan sekaligus, yakni perang Hunain, Perang Thaif, dan Perang Tabuk.. Fakta ini bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi syarat definisi yang dipegang oleh ulama ushul yang Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berada di dalamnya.

Dengan demikian, ditinjau dari sisi manapun, baik sisi shuhbah dan sisi gahzwunnya beliau, maka jelas sekali Mu'awiyyah bin Abi Sufyan adalah shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم. Adapun tentang konklusi logika mantiq di atas, hanya menunjukkan bahwa premis yang salah berkonsekuensi pada kesimpulan (konklusi) yang salah. Coba seandainya premis-premis tsb diganti dengan premis yang benar, maka konklusinya pun menjadi benar. Misalnya sbb:

Premis pertama, Mu'awiyyah senantiasa melazimi Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan pernah berperang bersamanya.
Premis kedua, setiap orang yang melazimi Rasulullah صلى الله عليه وسلم atau pernah berperang bersamanya adalah shahabat.
Konklusinya, Mu'awiyah bin Abi Sufyan adalah shahabat.

Demikianlah penjelasan sederhananya, semoga bisa dipahami oleh semua. Radliyallahu Mu'awiyyah bin Abi Sufyan.

Abdulbarr
200619

===

Jumat, 28 Juni 2019

HILAL MENURUT MAZHAB AL ARBA´AH

Oleh: M. Taufik N.T.

Prihatin melihat suasana perbedaan pendapat terkait penentuan awal akhir Ramadhan di era sosmed sekarang ini, terutama ketika pendapat bahwa jika satu daerah berhasil melihat bulan sabit itu wajib jadi patokan seluruh dunia, justru pendapat yang kuat ini, yang empat Imam Madzhab sepakat akan hal ini, yang merupakan pendapat mayoritas ahli fiqih zaman dulu, justru pendapat ini dipandang lemah oleh sebagian kalangan. Ada beberapa point yang perlu diperhatikan secara komprehensif untuk memahami persoalan ini, apakah sekedar masalah fiqih, astronomi atau masalah politik.

Pertama, terkait rukyat, pendapat empat imam madzhab menyatakan bahwa negeri yang tidak melihat bulan sabit tetap wajib mengikuti negeri yang berhasil melihatnya.

Ibnu Hubairoh (w. 560 H), dalam kitab beliau, al-Ijma’ menyatakan:

“Dan mereka (empat Imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad) telah sepakat : bahwa ketika bulan sabit telah terlihat di suatu negeri pada saat malam, maka wajib puasa atas seluruh penduduk dunia. Kecuali apa yang diriwayatkan oleh Abu Hamid Al Isfirayayni yang menyatakan rukyat tersebut tidaklah mengikat bagi negeri-negeri yang lain untuk memulai puasa. Al Qadhi Abu Thayyib At Thabari menyalahkan pendapat ini. Ia berkata: “Ini adalah kekeliruan darinya. Tetapi yang benar adalah jika penduduk suatu negeri melihat bulat sabit Ramadhan, maka (rukyat) ini berlaku bagi seluruh manusia di negeri-negeri yang lain untuk berpuasa”[1] (Ibnu Hubairoh (w. 560 H), Al Ijma’ ‘Inda Aimmati Ahlis Sunnah al Arba’ah- Ahmad bin Hanbal-Abu Hanifah-Malik- Asy Syafi’i, hal 77).

Begitu juga yang dinyatakan oleh Syaikh Abdul Wahhab as Sya’roni (w. 973 H), salah satu Ulama Madzhab Syafi’i yang pada masanya digelari dengan Al Qutbur Rabbani, dalam kitab beliau, Al-Mîzân menyatakan:

واتفقوا عَلَى أَنَّهُ إذا رؤى الهلال فى بلدة قاصية أنه يجب الصوم على سائر أهل الدنيا، إلا أن أصحاب الشافعي صححوا أنه يلزم حكمه البلد القريب دون البعيد.

"Dan mereka (empat Imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad) telah sepakat bahwa ketika bulan sabit telah terlihat di suatu negeri yang jauh, maka wajib puasa atas seluruhpenduduk dunia. Hanya saja ashhab Syafi’iy telah mentashih bahwa hukum tersebut hanya mengikat (penduduk) negeri yang dekat, bukan (penduduk negeri) yang jauh.”[2] (Syaikh Abd al-Wahhâb al- Sya’rôni (w. 973 H), Al-Mîzân, juz 2 hal 273).

Selain empat Imam Madzhab tersebut, ini juga pendapat Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H), sebagian kecil kalangan Syafi’yyah seperti Abu Thayyib[3], Ibnu Taymiyyah (wafat 728 H), Imam Asy Syaukany (wafat 1250 H) juga Syaikh Al-Ghumari.

Kedua, pendapat bahwa masing-masing wilayah mengikuti rukyatnya sendiri-sendiri, sehingga wilayah yang tidak melihat bulan tidak boleh mengikuti rukyat wilayah yang melihatnya, ini adalah pandangan sebagian besar Ashab Syafi’i berdasarkan hadits Kuraib bahwa Ibnu Abbas di Madinah tidak mengikuti rukyatnya Mu’awiyah di Syam.[4]

Sementara empat imam Imam Madzhab, termasuk Imam Syafi’i sendiri, yang tentu mengetahui juga hadits tersebut tidak memahaminya seperti itu. Hadits Kuraib tersebut memang shahih, namun sisi pendalilannya yang tidak tepat menurut mayoritas ‘ulama. Jika sebelumnya Imam as Syaukani menunjukkan sisi ketidaktepatan berdalil dengan hadits tersebut, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghumari, salah seorang ulama dan ahli hadits yang bermaadzhab Syafi’i[5], beliau menunjukkan 20 sisi ketidaktepatan berdalil dengan hadits tersebut untuk rukyat ‘lokal’, beliau tulis dalam kitab beliau, Taujîh al-Andhzâr li Tawhîdi al-Muslimin fi al-Shaumi wa al-Ifthâr, hlm. 111-135 (bisa diambil kitabnya di : http://waqfeya.com/book.php?bid=2061)

Beliau menyatakan bahwa hadits Kuraib tersebut, jika dirunut keriwayat-riwayat asalnya, sebenarnya justru menjadi dalil akan wajibnya menyatukan puasa (dan ‘ied) sedunia dengan mengikuti rukyat satu kota (yang melihat) bulan[6], sebagaimana pendapat empat Imam Madzhab. Penolakan Ibnu Abbas terhadap rukyat Muawiyah itu mengandung beberapa kemungkinan makna; bisa karena alasan beda Mathla’ sebagaimana pandangan rukyat lokal, bisa juga karena alasan yang lain, sehingga menggunakan hadits tersebut untuk menjustifikasi ‘rukyat lokal’ adalah mentarjih tanpa murojjih, dan ini tidak tepat.[7]

Selanjutnya beliau menyampaikan banyak riwayat, atsar dan qoul ‘ulama yang menunjukkan bahwa penolakan Ibnu Abbas terhadap rukyat Mu’awiyah lebih memungkinkan bukan disebabkan oleh alasan jarak namun oleh alasan:

Pertama, penolakan tersebut bisa jadi karena Ibnu Abbas menganggap Muawiyah tidak megikuti Imam (Khalifah) yang hak, yakni Ali bin Abi Thalib.[8]

Kedua, penolakan tersebut bisa karena yang bersaksi hanya Kuraib sendirian. Sedangkan mayoritas ‘ulama mensyaratkan untuk penentuan ‘Ied diperlukan dua saksi, sementara awal ramadhan cukup satu saksi[9]. Terkait hal ini Imam al Baihaqi menjelaskan dalam kitabnya, al-Sunan al-Kubro, “(penolakan Ibnu Abbas terhadap rukyat Muawiyah) mengandung pengertian bahwa tidak tsabit rukyat di negeri lain tersebut dengan dua saksi, karena Kuraib menyatakannya sendirian.”[10]

Lagi pula, dalam riwayat al-Baihaki, di Madinah, Khalifah Umar pernah ditemui seorang lelaki yang mengaku melihat hilal , ditanya oleh beliau, “darimana kamu datang?” lelaki itu menjawab: “dari al Maghrib” lalu ‘Umar pun menerima kesaksian lelaki tersebut.[11]

(alasan berikutnya bisa dibaca  langsung di kitab beliau)

***

Yang agak aneh dengan pandangan ‘rukyat lokal’, adalah berdalil dengan riwayat Kuraib tersebut untuk ‘berbedanya’, namun ‘memaksakan’ tidak boleh berbeda dalam satu negara. Padahal jika konsekuen dengan hadits tersebut, jarak Madinah (24o28’ N 39o36’ E ) dengan Syam (33°30′N 36°18′E) hanya berkisar 1.044 km[12], perbedaan waktu antara Madinah dengan Syam hanya 13 menit 12 detik[13], seharusnya setiap beda waktu 13 menit 12 detik juga memungkinkan berbeda hari puasa/idul fithrinya.

Syam dan Madinah saat itu juga masih satu negara, namun dalam riwayat tersebut berbeda hari, kalau konsekuen dengan riwayat ini, harusnya juga berpendapat bahwa satu negarapun boleh beda hari, apalagi kalau merujuk ke kitab-kitab madzhab Syafi’i, akan dijumpai bahwa jarak sekitar 80 km sudah tidak wajib mengikuti satu dengan yang lain, sebagian menyatakan jarak 24 farsakh (sekitar 133 km), kemana ‘larinya’ semua pendapat tersebut?

Ya, begitulah fikih, bisa beda-beda pandangan, tinggal kita saja memilih pandangan yang kita nilai paling tepat, dengan tetap menjaga hubungan baik dengan yang berbeda pandangan. Diskusi boleh, berkelahi jangan. Allaahu A’lam.

---

[1] Ibnu Hubairoh, Al-Ijma’ ‘Inda Aimmati Ahlis Sunnah al Arba’ah (Riyadh: Maktabah al-’Ubaikan, 2003), hlm. 77.

[2] Abd al-Wahhâb al- Sya’rôni, Al-Mîzân, Cet. I. (Beirut: Alim al-Kutub, 1979), juz 2, hlm. 273.

[3] فتح الباري لابن حجر 4/123

[4] Hadits yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, & Ahmad dari Kuraib:

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ : لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah engkau berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami.

[5] Menurut as-Syarif Muhammad Hasan Ibn ‘Ali al-Kattani al-Atsari, dalam tesisnya yang berjudul “Fiqh al-Ghumari” mengatakan: “Syekh Ahmad Shiddiq al-Ghumari merupakan satu-satunya keluarga Al-Ghumari yang bermadzhab Syafi’i. Beliau telah meningggalkan Madzhab Maliki dan berpindah ke Madzhab Syafi’i, barang kali hal itu dilakukan karena buah cintanya terhadap hadits dan atsar sahabat.”

[6] Abu al-Fadl Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghumari, Taujîh Al-Andhzâr Li Tawhîdi Al-Muslimin Fi Al-Shaumi Wa Al-Ifthâr, n.d., hlm. 111.

[7] Ibid.

[8] Ibid., hlm. 122.

[9] Ini Juga pendapat Madzhab Syafi’i, Muhammad al-Zuhaili, Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’i, Cet. III. (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2011), juz 2, hlm. 160.

[10] Abu al-Fadl Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghumari, Taujîh Al-Andhzâr Li Tawhîdi Al-Muslimin Fi Al-Shaumi Wa Al-Ifthâr, hlm. 124.

[11] Ibid., hlm. 134.

[12] Dihitung dg software Mawaaqit v. 2.3, bandingkan dengan jarak Banda Aceh (5°33′N 95°19′E) dengan Papua (4°46′ LS 137°48′ BT) yakni 4.662 km, kalau konsekuen dengan hadits Kuraib ini ada kemungkinan 4 kombinasi waktu awal-akhir Ramadhan yang berbeda di Indonesia.

[13] Beda 1 jam dalam derajat garis Bujur = 360o/24 jam = 15o/jam. Selisih garis bujur Madinah dg Syam = 3o18’ = 3,3o. Selisih waktu Madinah dg Syam = 3,3o/15o jam = 0,22 jam = 13 menit 12 detik.

PENGAKUAN ULAMA AL AZHAR MENGENAI SYAIKH TAQIYUDDIN an Nabhani

AL-AZHAR ASY-SYARIF MENGUKUHKAN SYAIKH TAQIYYUDDIN SEBAGAI 'ALLAMAH MUJAHID

Temuan ustadz Ahmad Syahreza tentang penilaian terhadap al-Syaikh al-'Allamah al-Mujahid al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani:

Al-Syaikh Muhammad Ahmad an-Nādiy:
وقد تخرج الشيخ محمد متولي الشعراوي في الفترة التي تخرج فيها شيخنا تقي الدين النبهاني رحمه الله ... وقال محمد متولي الشعراوي يصف الشيخ تقي الدين النبهاني: صحابي أخر لغير زمانه ... كان يديم السكوت ... وإذا تكلم حديثه لؤلؤ ... قوي الحجة ... مقنعا ... متصلبا للراي الذي آمن به

Al-Syaikh Abū Mālik:
وهناك تلقى العلم على يد عدد من العلماء المعروفين منهم الشيخ محمد الخضر حسين الذي تولى مشيخة الأزهر فيما بعد، وكان جده الشيخ يوسف هو الذي وجهه لتلقي العلم على يد الشيخ الخضر حسين، ومن شيوخه أيضا العلامة الشيخ حسنين محمد مخلوف.   ... ومن الشيوخ الذين تلقى العلم على أيديهم الشيخ الكومي، وكان كفيفاً وعالماً في التفسير، وكان يعرف الشيخ تقي جيداً، وكان يثني عليه كثيراً. يروى أمين مكتبة الأزهر: كان هناك ولد اسمه تقي الدين يأتيني ليستعير المراجع، وكنا لا نعيرها لأحد، ولكن لأن هذا الولد كان ذكياً، فقد كنت أعيرها له وكان يرجعها بعد أن يقرأها وقد قرأها كلها.  ويقول الشيخ فتحي سليم عن علاقة الشيخ تقي بالكتاب أثناء الدراسة الأزهرية: "واطلع على ما حوته مكتبة الأزهر في ذلك الوقت من مراجع لغة وأصول فقه وغيرها حسب ما ذكر زملاؤه الثقات".

Dr. Ihsan Samara:
هو رجل مبدئي سياسي همه إيجاد الإسلام في معترك الحياة، وقد بذل جهده في تبني منظومة فكرية سياسية حضارية لازمة في نهضة الأمة وبنائها بناء إسلاميا

Al-Syaikh Abu al-Harits al-Muslimiy:
حدثني أحد الثقات عن الدكتور عبد الحليم الرمحي, أنه ألتقى في مصر مع الشيخ سيد سابق رحمه الله تعالى، وكان يشرح له بعض مفاهيم حزب التحرير وفقال له الشيخ سيد سابق إن هذه الأفكار التي تطرحها كان يدرسنا إياها سيد قطب أنا وأربعة من أهل العلم من كتاب مكتوب بخط اليد، الكتاب موجود في مكتبتي ... عاد الشيخ الرحمي بعد ساعات فوجد الكتاب بين يدي سيد سابق, وهو مكتوب بخط اليد، وأول فقرة فيه هي :
"ينهض الإنسان بما عنده من فكر عن الحياة والكون والإنسان, وعن علاقتها جميعها بما قبل الحياة الدنيا وما بعدها. فكان لا بد من تغيير فكر الإنسان الحاضرة تغييرا أساسيا شاملا, وإيجاد فكر آخر له حتى ينهض, لأن فكر هو الذي يوجد المفاهيم عن الأشياء, ويركز هذه المفاهيم. والإنسان يكيف سلوكه في الحياة بحسب مفاهيمه عنها ... انتهى

Ahmad al-Syaikh:
عن عبد العزيز ألبي زيد قال : شهادة أبو داود، محمد داود عودة ( أبو داود ) عضو المجلس الثوري لحركة فتح ومهندس عملية ميونخ يقول عن الشيخ تقي الدين النبهاني : محمد داود عودة يقول عن الشيخ تقي الدين النبهاني: "أنا بأعتبر أن الشيخ تقي الدين النبهاني، أنه من الرجال المخلصين لأمتهم ولأرضهم ولشعبه. واتهم كثيرا، وأنا أعرف كيف مات. رحمه الله. أبو إبراهيم الشيخ تقي الدين، مات فقيرا معدما، ومات جاكتته ممزوعة ويسكن في شقة متواضعة على الطابق الخامس "

Al-Syaikh 'Adnan:
الشيخ تقي الدين النبهاني رحمه الله : عالم رباني وأصولي فقيه وسياسي فذ وحامل دعوة قوي امين شجاع وعلم من اعلام الامة في هذا الزمان، نحسبه كذلك ولا نزكي على الله احدا

Ada juga pandangan al-Muhaddits Dr. Mahmud Said Mamduh. Bagi sebagian orang mungkin blm memuaskan, tapi saya lebih percaya mereka yang ikhlas dan melihat sosoknya secara langsung, dari pada pandangan orang yang tidak menyukainya. Jika sudah tidak suka, maka nyaris tidak ada kebaikan sedikitpun.

Sebenarnya pengakuan dari Al Azhar lebih dari cukup. Apalagi bagi yg membaca karya-karyanya dengan tulus, akan langsung mengenal siapa dan bagaimana kualifikasi penulisnya. Seorang mujaddid dan mujtahid pada zamannya.

HUKUM MEMELIHARA DAN MENJUAL BELIKAN HEWAN PIARAAN

Hukum Memelihara dan Menjualbelikan Hewan Piaraan

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :
Ustadz, bagaimana hukumnya memelihara dan menjual belikan hewan piaraan?
(Irwan Gunawan, bumi Allah)

Jawab :
Hewan piaraan (pet animal) adalah hewan yang dipelihara untuk menjadi sahabat manusia atau memberi kesenangan kepada manusia, misalnya anjing dan kucing. Tujuan pemeliharaannya berbeda dengan tujuan pemeliharaan hewan ternak (livestock), hewan percobaan laboratorium (laboratory animals), hewan pekerja, atau hewan olahraga, yang dipelihara lebih karena alasan-alasan ekonomi. (en.wikipedia.org, www.britannica.com).

Hewan piaraan yang paling populer di Barat adalah anjing, kucing, dan kuda. Selain itu masih banyak, misal berbagai hewan pengerat (seperti hamster), burung (seperti kenari, parkit, kakaktua), reptilia (seperti kura-kura, kadal, ular, iguana), ikan (seperti arwana, lohan), dan arthropoda (seperti laba-laba), dsb.

Hukum memelihara hewan piaraan secara syar’i adalah boleh, selama memenuhi 4 (empat) syarat sbb;

Pertama,
hewannya bukan hewan najis, yakni najis secara dzatnya (najis ‘ain/hissi), seperti anjing dan babi. Memelihara hewan piaraan yang najis tidak boleh, karena termasuk memanfaatkan najis yang telah dilarang oleh syariah. Kaidah fiqih menetapkan : laa yajuuzu al intifaa’ bi an najis mutlaqan (Tidak boleh memanfaatkan najis secara mutlak). (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Al Shalah, 1/115).

Kecuali terdapat nash syariah yang membolehkannya, misalnya memelihara anjing untuk menjaga ternak atau berburu. Nabi SAW bersabda, ”Barangsiapa memelihara anjing, kecuali anjing untuk menjaga ternak atau berburu, akan berkurang pahala amalnya tiap hari sebanyak satu qirath.” (HR Muslim no 1574).(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 35/124).

Kedua,
hewannya wajib diberi makan dan minum yang cukup. Memelihara hewan tanpa diberi makan dan minum yang cukup hukumnya haram.

Dalilnya sabda Nabi SAW, ”Seorang perempuan masuk neraka karena seekor kucing yang diikatnya. Perempuan itu tidak memberinya makan dan tidak pula membiarkannya lepas agar dapat memakan binatang-binatang bumi.” (HR Bukhari no 3140; Muslim no 2242).

Ketiga,
hewannya tak menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Misal singa, beruang, atau buaya yang dipelihara dalam kandang secara tak aman bagi manusia. Jika diletakkan di kandang yang aman bagi manusia, hukumnya boleh.

Dalilnya sabda Rasulullah SAW, ”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri atau bahaya bagi orang lain dalam Islam (laa dharara wa la dhiraara fi al islam)” (HR Ibnu Majah no 2340; Ahmad 1/133 & 5/326).

Keempat,
hewan yang dipelihara tak menjadi sarana untuk perbuatan yang haram. Misalnya, memelihara ayam jantan (jago) yang akan digunakan untuk perjudian.

Sebab kaidah fiqih menyebutkan : al wasiilah ila al haram muharramah(segala sarana menuju yang haram, hukumnya haram). (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 1/85).

Tak disyaratkan hewan piaraan adalah hewan yang halal dimakan (al ma`kuul). Dalilnya, meski memakan daging kucing haram hukumnya (HR Ibnu Majah dari Jabir RA, no 3250), tapi memelihara kucing itu tetap dibolehkan.

Nabi SAW bersabda, ”Sesungguhnya kucing itu tidak najis, ia hanyalah hewan-hewan jantan dan betina yang banyak berkeliling di antara kalian (thawwaafiina ‘alaikum wa at thawwaafaat).” (HR Abu Dawud & Tirmidzi).(Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 42/267-269; Imam Suyuthi, Al Jami’ Al Shaghir, 2/191, Imam Nawawi, Al Majmu’, 9/3).

Adapun menjual belikan hewan piaraan, hukumnya boleh jika hewannya halal dimakan, misalnya kelinci, kuda, tupai, dsb. Jika hewannya haram dimakan, seperti anjing, babi, kucing, ular, singa, burung elang, dsb, maka menjual belikannya haram.

Dalilnya kaidah fiqih yang berbunyi : Kullu maa hurrima ‘ala al ‘ibaad fa-bai’uhu haram (setiap-tiap apa saja yang diharamkan atas para hamba-Nya, maka menjual belikannya haram).(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/287). Wallahu a’lam. (Ustadz Muhammad Shiddiq Al-Jawi)

GIGIHNYA PARA ULAMA DALAM BELAJAR

BEGINILAH GIGIHNYA PARA ULAMA DALAM BELAJAR
Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah

Pernah kah kita suatu saat malas untuk mendatangi majelis ta’lim?
Entah alasannya sedang tidak mood, atau merasa ada hal lain yang lebih penting.

Kadangkala ada orang, hujan sedikit ia izin untuk tidak halqah(ngaji kitab). Atau, alasan kendaraan dan sakit, tiba-tiba beralasan untuk tidak hadir pengajian. Padahal, itu adalah kesempatannya untuk belajar.

Jika dibandingkan dengan kerja keras para ulama, ternyata usaha kita untuk belajar tidak ada apa-apanya. Kita hanya tahu para Ulama setelah nama mereka dikenang. Tak banyak yang tahu potret kehidupan ‘sengsara’ mereka dan bagaimana mereka berjuang untuk ilmu dan berkhidmat kepada ummat. Pengetahuan kita hanya terbatas karya-karya mereka yang luar biasa.

Simak bagaimana potret kehidupan para ulama salaf sesungguhnya dibawah ini, yang kami himpun dari kitab Shafahaat min Shabril ‘Ulama(Lembar-lembar Kesabaran Para ‘Ulama) karya-nya Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah rahimahullah.

1. Abu Hurairah Menahan Lapar Demi Mendapatkan Hadits

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya, Kitab Al-‘Ilm, Bab Hifdzul ‘Ilm Juz 1 Hal. 190, ia berkata : Abu Hurairah berkata,

“Sesungguhnya saudara-saudara kami dari kalangan Muhajirin sibuk dengan perdagangan mereka di pasar. Sedangkan, saudara-saudara kami dari Anshar sibuk bekerja dengan harta mereka.”

Sementara, Abu Hurairah sendiri selalu menyertai Rasulullah sebatas perutnya kenyang. Ia hadir di Majelis yang tidak mereka hadiri. Ia menghafal apa yang tidak mereka hafal. Syaikhul Islam Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini membuktikan bahwa mengambil sedikit dari dunia itu lebih memungkinkan untuk menjaga ilmu.” (Fathul Baari, 1/192).

2. Jabir Ibn Abdillah Menempuh Perjalanan Satu Bulan Untuk Mendapatkan Satu Hadits

Imam Abu Abdillah Al-Bukhari berkata di dalam Shahihnya, kitab Al-Ilm, Juz 1 Hal. 158, Bab Al-Khuruj fi Thalabil ‘Ilm, “Jabir Ibn Abdillah melakukan perjalanan selama satu bulan untuk menemui Abdullah Ibn Unais, demi mendapatkan satu hadits.”

3. Ibnu Abbas Sering Tidur Di Depan Pintu Rumah Pemilik Hadits

Imam Ibn Katsir bercerita di dalam Al-Bidayah wan Nihayah Juz. 8, Hal. 298, tentang biografi Imam Ibn Abbas, bahwa Imam Al-Baihaqy berkata –dengan sanad sampai kepada Ikrimah- ia berkata, bahwa Ibnu Abbas menceritakan,

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam wafat, aku berkata kepada seorang laki-laki dari Anshar,’Marilah kita bertanya (suatu ilmu) kepada para sahabat Rasulullah, pada hari ini jumlah mereka banyak.’ Dia menjawab, ‘Kamu ini aneh, wahai Ibnu Abbas! Apakah engkau mengira orang-orang akan membutuhkan mu, sementara para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam berada di tengah-tengah mereka.’

Ibnu Abbas mengatakan,
“Orang itu tidak berkenan, maka aku pun berjuang untuk mendapatkan hadits dari para sahabat senior. Jika terdapat hadits yang aku dengar ada pada seseorang, maka aku pun datang ke rumahnya, walaupun ia sedang istirahat di siang hari. Maka, aku menghamparkan kain ku di depan pintunya, melindungiku dari debu yang tertiup angin. Maka, ia pun keluar dan segera melihatku. Ia bertanya, “Wahai sepupu Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam, Apa yang membuatmu datang ke sini? Mengapa engkau tidak meminta ku untuk datang menemui mu?” Aku menjawab, “Tidak, aku lebih berhak untuk datang kepada mu”. Ibnu Abbas mengatakan, “Aku pun bertanya tentang suatu hadits kepadanya.”

Ibnu Abbas bercerita, “Orang Anshar tersebut berumur panjang, sehingga ia melihat diriku, sementara orang-orang berkumpul di sekelilingku bertanya kepada ku,” Orang itu berkata, “Anak muda ini lebih mengerti daripada aku.”

4. Imam Malik Mencongkel Atap Rumahnya

Qadhi ‘Iyadh menuturkan dalam kitab Tartibul Madaarik Juz 1, Hal. 130 bahwa Ibnul Qasim menuturkan :

“Menuntut Ilmu menjadikan Imam Malik harus mencongkel atap rumahnya dan menjual kayunya, sehingga setelah itu dunia mendatanginya.” Bahkan Imam Malik berkata,”Ilmu tak akan diraih, sebelum dirasakan pahitnya kemiskinan”.

5. Imam Syafi’I Menulis di Kertas Bekas

Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam kitab Al-Intiqa’ fi Fadha-il As-Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’, hal. 70 : Imam Syafi’I berkata,

“Aku tidak mempunyai harta. Aku menuntut Ilmu dalam usia muda (usia 13 tahun). Aku pergi ke kantor dan meminta kertas bekas untuk menulis.”

6. Imam Ahmad Ibn Hanbal Menjual Pakaian Dalam Demi Buka Shaum

Disebutkan dalam kitab Al-Minhaj Al-Ahmad, Juz 1 Hal. 8, karya Abu Al-Yumni Al-Ulaimi Al-    Hanbali tentang biografi Imam Ahmad, bahwa Imam Ahmad pernah pergi menemui Abdurrazzaq di Shan’a – Yaman, tahun 197 H. Yahya Ibn Ma’in menemani nya dalam perjalanan tersebut.

Yahya menuturkan, “Ketika kami ingin menemui Abdurrazzaq di Yaman, kami sempatkan menunaikan ibadah haji. Ketika aku thawaf, aku meihat Abdurrazzaq juga tengah thawaf. Maka, aku mengucapkan salam kepadanya, seraya mengatakan, ‘Ini adalah Ahmad Ibn Hanbal, saudaramu.’

Maka kami pun berencana pergi ke Shan’a. Abdurrazzaq menawarkan uang dirham dalam jumah besar, tetapi Ahmad tidak menerimanya. Abdurrazzaq berkata, ‘Anggaplah ini seperti hutang’. Ahmad tetap menolak. Kami pun menawarkan bekal-bekal kami kepadanya, tetapi ia tetap menolak. Maka, sekali waktu kami mengintipnya. Ternyata ia membuat tali celana dalam dan menjualnya untuk ia gunakan berbuka shaum.”

7. Semua Warisan milik Yahya Ibn Ma’in Habis Digunakan untuk Ilmu, Sampai Ia Tak Mampu Beli Sendal
A
l-Ulaimi menuturkan dalam kitab Al-Minhaj Al-Ahmad, Juz 1. Hal. 95 : “Imam Yahya Ibn Ma’in lahir pada masa Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur tahun 158 H. Ayahnya, Ma’in, adalah sekretaris Abdullah Ibn Malik. Ia diberi kepercayaan untuk menangani pajak penduduk Ray. Saat wafat beliau meninggalkan warisan sebanyak satu juta lima puluh ribu dirham. Maka, Yahya menggunakan seluruhnya untuk kepentingan hadits, sehingga tidak tersisa sedikit pun dari uang itu, meski untuk membeli sandal yang akan ia pakai.”

8. Imam Abu Dawud Menulis Hadits dengan Modal Makan Kacang

Imam Abu Dawud As-Sijistani(seorang Imam Hadits terkemuka, penyusun Sunan Abi Dawud), berkata, “Aku memasuki kota Kuffah dan hanya mempunyai uang satu dirham. Dengannya, aku membeli 30 mud kacang-kacangan. Aku makan darinya dan menulis hadits dari Al-Asyaj (yakni Abdullah Ibn Sa’id Al Kindi, ahli hadits Kufah). Kacang-kacangan tersebut belum habis, hingga aku mampu menulis dengan modal tersebut 30.000 hadits, baik yang maqthu’ maupun mursal. (Adz-Dzahabi, Tadzkiratul Huffadz, 2/768)

9. Imam Thabrani Tidur Beralaskan Tikar Selama 30 Tahun Hidupnya

Al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata di dalam Tadzkiratul Huffadz Juz 3, Hal. 912 dan 915, tentang biografi Imam At-Thabrani,

“Dia adalah seorang hafidz(imam hadits), ulama, hujjah yang tersisa dari para hafidz, Abul Qasim Sulaiman Ibn Ahmad Al-Lakhami As-Syami At-Thabrani. Lahir tahun 260 H, dan wafat tahun 360 H, umurnya satu abad lebih sepuluh bulan. Haditsnya telah memenuhi dunia. Karya-karya nya melebihi 75 karya.

Imam At-Thabrani pernah ditanya, “Bagaimana ia mendapat hadits begitu banyak?”. Beliau menjawab, “Aku tidur di Tikar selama 30 tahun”(makna nya beliau meninggalkan leha-leha).

10. Ya’qub Ibn Sufyan Al-Farisi Menghabiskan Waktu 30 Tahun dalam Perjalanan Mencari Ilmu

Tercantum di dalam Tahdzibut Tahdzib Juz 11 Hal. 387, tentang biografi seorang hafidz pengembara, Ya’qub Ibn Sufyan Al-Farisi(w. 277 H), bahwa Abu Abdirrahman An-Nawahandi berkata, “Aku mendengar Ya’qub Ibn Sufyan berkata, ‘Aku telah menulis ilmu dari seribu syaikh lebih, yang semuanya tsiqat.” Ibnu Hamzah mengatakan, “Ya’qub Ibn Sufyan berkata kepada ku, ‘Aku menghabiskan 30 tahun dalam perjalanan mencari ilmu.”

11. Imam Al-Bukhari Senantiasa Terjaga di Malam Hari Demi Menulis Hadits

Tercantum di dalam Thabaqat As-Syafi’iyyah, Juz 2, Hal. 220 dan 226, tentang biografi Imam Bukhari bahwa Muhammad Ibn Abi Hatim berkata, “Jika aku bersama Abu Abdillah(Imam Bukhari) dalam suatu perjalanan, maka dia mengumpulkan kami dalam satu rumah, kecuali terkadang di musim panas. Aku melihatnya bangun dalam satu malam sebanyak lima belas sampai dua puluh kali. Pada saat seperti itu, ia mengambil pemantik api, lalu ia menyalakan api dan lampu. Kemudian ia mengeluarkan hadits-hadits, dan menandainya. Lalu, ia merebahkan diri, dan shalat di waktu sahur sebanyak tiga belas rakaat.

HADITS KURAIB PENENTUAN HILAL DARI KALANGAN SYAFI´IYYAH

Hadits Kuraib dan Hadits Amir Mekkah (al-Harits ibn Hathib) Tentang Hilal Dalam Pandangan Ulama Hadits Syafi’iyyah

Mukaddimah
Para Ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat dalam penentuan Hilal Syar’i, bahkan diantara para fuqaha yang lebih memilih penggunaan ru`yah (pengamatan) hilal dibandingkan hisab (perhitungan astronomis). Setidaknya Imam al-Qadhi Abu ath-Thayyib ath-Thabari, ahli fiqih terkemuka di kalangan Syafi’iyyah Iraqiyyun berbeda dengan fuqaha Iraqiyyun selainnya, termasuk dengan muridnya, Imam Abu Ishaq asy-Syairazi, beserta fuqaha Syafi’iyyah Khurasaniyyun yang menyatakan bahwa setiap negeri memiliki ru`yah masing-masing, diantaranya Imam al-Haramain dan muridnya, Imam Abu Hamid al-Ghazzali.

Dengan kata lain, Imam Abu ath-Thayyib memilih ru`yah global, sedangkan fuqaha Syafi’iyyah lainnya memilih ru`yah lokal, dengan bersandar pada Hadits Kuraib dari Abdullah ibn Abbas radhiyallâhu anhumâ, sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Daud dalam as-Sunan:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي حَرْمَلَةَ أَخْبَرَنِي كُرَيْبٌ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ ابْنَةَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا فَاسْتَهَلَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْنَا الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرَ فَسَأَلَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ قُلْتُ رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ قَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ قُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ قَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُهُ حَتَّى نُكْمِلَ الثَّلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَفَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ قَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Menurut Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’, Imam Abu ‘Ali as-Sinji dan yang lainnya memilki pendapat yang sama dengan Imam Abu ath-Thayyib. Bahkan menurut Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bârî menyebutkan bahwa Imam al-Baghawi menukil hal yang sama dari Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, meskipun Imam al-Baghawi setuju dengan pendapat fuqaha Khurasaniyyun yang lainnya.

Setidaknya ditemukan adanya beberapa kajian dari Ulama Syafi’iyyah mengenai hadits Kuraib, terutama dibandingkan dengan hadits Amir Mekkah dan yang semakna denganya. Diantaranya dilakukan oleh Imam Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain al-Baihaqi dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Âtsâr, Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi dalam Ma’âlim as-Sunan, syarah-nya as-Sunan, karya Imam Abu Daud, dan secara “tidak langsung” oleh Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam at-Talkhîsh al-Habîr, takhrij-nya Fath al-‘Azîz, karya Imam ar-Rafi’i.

Penelitian Imam al-Baihaqi
Dapat disimpulkan bahwa menurut Imam al-Baihaqi, hadits Kuraib dapat di-jama’ dengan Hadits Amir Mekkah bahwa penolakan Ibn Abbas radhiyallâhu anhumâ terjadi karena bersifat tafarrud (menyendiri), sedangkan hilal al-fithr disyaratkan 2 (dua) orang saksi yang adil, bersandar pada Hadits Amir Mekkah.

قال البيهقي: وقد يحتمل أن يكون مراده بقوله: هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ما فسره في موضع آخر في غير هذه القصة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله قد أمده لرؤيتكم، فإن أغمي عليكم فأكملوا العدة، ويكون قوله لا ينوي من جهة قياسا على هذا الخبر، والله أعلم، وقد روينا عن النبي صلى الله عليه وسلم: أنه عهد إليهم إذا لم يروا الهلال وشهد شاهدا عدل أن ينسكوا، فإذا أكملوا العدة على شهادة شاهدي عدل وجب النسك، وإن كانت الرؤية في بلد آخر، وقد يحتمل أن يكون ابن عباس إنما قال: ذلك لانفراد كريب بهذا الخبر، وجعل طريقه طريق الشهادات، فلم يقبل فيه قول واحد والله أعلم

Yang dimaksud Imam al-Baihaqi  (وقد روينا عن النبي صلى الله عليه وسلم: أنه عهد إليهم إذا لم يروا الهلال وشهد شاهدا عدل أن ينسكوا) ialah hadits Amir Mekkah yang disebutkan sebelum pembahasan Hadits Kuraib, sebagai berikut:

الشهادة على رؤية هلال الفطر
قال الشافعي: لا أقبل على رؤيته إلا شاهدين عدلين فأكثر قال أحمد: قد روينا عن أمير مكة أنه خطب، ثم قال: عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية، فإن لم نره وشهد شاهدا عدل نسكنا بشهادتهما
أخبرناه أبو بكر بن الحارث الفقيه قال: أخبرنا أبو محمد بن حبان الأصبهاني قال: حدثنا محمد بن يحيى المروزي قال: حدثنا سعيد بن سليمان الواسطي، عن عباد بن العوام عن أبي مالك الأشجعي قال: حدثنا حسين بن الحارث الجدلي، جديلة قيس، أن أمير مكة خطبنا، فقال: عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية، فإن لم نره وشهد شاهد عدل نسكنا بشهادتهما، فسألت الحسين: من أمير مكة ؟ فقال: لا أدري، ثم لقيني بعد، فقال: هو الحارث بن حاطب أخو محمد بن حاطب، ثم قال : الأمير فيكم من هو أعلم بالله ورسوله، وقد سمع هذا من رسول الله صلى الله عليه وسلم وأومأ إلى رجل فإذا هو ابن عمر، وصدق الأمير هو أعلم بالله منه، فقال: بذلك أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أخرجه أبو داود، والدارقطني في كتابيهما نازلا من حديث سعيد بن سليمان، ثم قال الدارقطني: هذا إسناد متصل صحيح،

Penelitian Imam al-Khaththabi
Imam al-Khaththabi menjelaskan Hadits Kuraib dengan mengutip penukilan Imam Ibn Mundzir, rujukan mengenai Ijma’ dan Ikhtilaf, kemudian melanjutkannya dengan pembahasan Hadits yaum asy-syakk dan Hadits Amir Mekkah yang fokus pada mekanisme penerimaan hilal al-fithr. 

قال الخطابي: قلت اختلف الناس في الهلال يستهله أهل بلد في ليلة ثم يستهله أهل بلد آخر في ليلة قبلها أو بعدها فذهب إلى ظاهر حديث ابن عباس القاسم بن محمد وسالم بن عبد الله بن عمر وعكرمة وهو مذهب إسحاق وقالوا لكل قوم رؤيتهم. وقال ابن المنذر قال أكثر الفقهاء إذا ثبت بخبر الناس أن أهل بلد من البلدان قد رأوه قبلهم فعليهم قضاء ما أفطروه، وهو قول أصحاب الرأي ومالك، وإليه ذهب الشافعي وأحمد.
قال الخطابي: قلت لا أعلم اختلافا في أن شهادة الرجلين العدلين مقبولة في رؤية هلال شوال وإنما اختلفوا في شهادة رجل واحد، فقال أكثر العلماء لا يقبل فيه أقل من شاهدين عدلين. وقد روي عن عمر بن الخطاب من طريق عبد الرحمن بن أبي ليلى أنه أجاز شهادة رجل واحد في أضحى أو فطر، ومال إلى هذا القول بعض أهل الحديث وزعم أن باب رؤية الهلال باب الإخبار فلا يجري مجرى الشهادات ألا ترى أن شهادة الواحد مقبولة في رؤية هلال شهر رمضان فكذلك يجب أن تكون مقبولة في هلال شهر شوال. قلت لو كان ذلك من باب الإخبار لجاز فيه أن يقول أخبرني فلان أنه رأى الهلال فلما لم يجز ذلك على الحكاية عن غيره علم أنه ليس من باب الإخبار والدليل على صحة ذلك أنه يقول أشهد أني رأيت الهلال كما يقول ذلك في سائر الشهادات ولكن بعض الفقهاء ذهب في أن رؤية هلال رمضان خصوصا من باب الإخبار وذلك لأن الواحد العدل فيه كاف عند جماعة من العلماء واحتج بخبر ابن عمر أنه قال أخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم إني رأيت الهلال فأمرالناس بالصيام.

Pada intinya Imam al-Khaththabi setuju dengan disyaratkannya 2 (dua) orang saksi untuk diterimanya hilal al-fithr, yang berarti berdasarkan alur berpikir tersebut, Imam al-Khaththabi sependapat dengan pemahaman Imam Abu ath-Thayyib terhadap Hadits Kuraib. Dengan menukil qaul Imam Ibn Mundzir, seakan mengisyaratkan bahwa beliau “setuju” bahwa Imam asy-Syafi’i sepakat dengan pendapat sebagian besar ulama, yakni (إذا ثبت بخبر الناس أن أهل بلد من البلدان قد رأوه قبلهم فعليهم قضاء ما أفطروه).

Penelitian Imam Ibn Hajar
Perlu ditegaskan bahwa belum kami temukan qaul yang jelas dari Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani mengenai Hadits Amir Mekkah, apalagi dikaitkan dengan Hadits Kuraib. Yang jelas, Imam Ibn Hajar dalam Fath al-Bârî menyebutkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu mengenai pilihan antara ru`yah lokal atau ru`yah global. Namun, saat men-takhrij hadits-hadits dalam kitab Fath al-‘Azîz karya Imam ar-Rafi’i, syarah-nya kitab al-Wajîz karya Imam Abu Hamid al-Ghazzali, pada bahasan syarat diterima ru`yah, Imam Ibn Hajar menjadikan Hadits Amir Mekkah sebagai syahid bagi hadits yang dijadikan dalil oleh Imam ar-Rafi’i.

قال ابن حجر: حَدِيثُ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِه، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ، فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، إلَّا أَنْ يَشْهَدَ شَاهِدَانِ. رَوَاهُ النَّسَائِيُّ مِنْ رِوَايَةِ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ الْجَدَلِيّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ: أَنَّهُ خَطَبَ النَّاسَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ، فَقَالَ: أَلَا إنِّي جَالَسْت أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَأَلْتهمْ، وَإِنَّهُمْ حَدَّثُونِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَذَكَرَهُ، وَفِي آخِرِهِ: فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا. وَرَوَاهُ أَحْمَدُ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ، وَلَفْظُهُ فِي آخِرِهِ : فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا. وَرَوَاهُ أَبُو دَاوُد مِنْ حَدِيثِ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ: أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ حَاطِبٍ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ: عَهِدَ إلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ ورَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ فَقَالَ: إسْنَادٌ مُتَّصِلٌ صَحِيحٌ .

Meskipun berbeda asal haditsnya, yakni dari Abdurrahman ibn Zaid ibn al-Khaththab namun dalam matan-nya semakna, Imam an-Nasa`i meriwayatkanya dengan lafad sebagai berikut:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا

Adapun Imam Abu Daud meriwayatkan dari Amir Mekkah, al-Harits ibn Hathib dengan lafad sebagai berikut:

عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا

Lafad hadits tersebut berbeda dengan hadits lain dengan adanya tambahan lafad (وَانْسُكُوا لَهَا) , sehingga dapat melengkapi pemaknaan hadits Amir Mekkah.

Memang benar, yang kami temukan Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani hanya mengikuti alur pembahasan Imam ar-Rafi’i, yakni hadits Amir Mekkah dijadikan dalil tambahan bahwa kesaksian 2 (dua) orang merupakan syarat bagi penerimaan ru`yah hilal menurut sebagian ulama.

قال الرافعي: واما رؤية الهلال فالناس ضربان (من) رأى الهلال فيلزمه الصوم قال رسول الله صلي الله عليه وسلم "صوموا لرؤيته"  ومن لم يره فبم تثبت الرؤية في حقه إن شهد عدلان تثبت وإن شهد واحد فقولان (احدهما) وبه قال مالك وهو رواية البويطي أنها لا تثبت لما روى انه صلى الله عليه وسلم قال " صوموا لرؤبته وافطروا لرؤيته فان غم عليكم فاكملوا شعبان ثلاثين يوما ألا ان يشهد شاهدان " ولانه لا يحكم في هلال شوال الا بقول عدلين فكذلك في هلال رمضان (واصحهما) وهو الذى نص عليه في أكثر كتبه وبه قال احمد في الرواية الصحيحة عنه انها تثبت

Pembahasan serupa juga dijelaskan Imam Ibn Qudamah al-Hanbali dalam al-Mughnî, meskipun tidak menukil riwayat dari Amir Mekkah, yakni hanya menyebutkan riwayat dari Abdurrahman ibn Zaid.

وقال عثمان بن عفان رضي الله عنه: لا يقبل إلا شهادة اثنين .وهو قول مالك، والليث، والأوزاعي، وإسحاق لما روى عبد الرحمن بن زيد بن الخطاب، أنه خطب الناس في اليوم الذي يشك فيه فقال: إني جالست أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وسألتهم، وإنهم حدثوني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته، وانسكوا، فإن غم عليكم فأتموا ثلاثين، وإن شهد شاهدان ذوا عدل، فصوموا وأفطروا رواه النسائي.
Jadi, hadits ru`yah yang berkaitan dengan an-nusuk, baru dipahami sebagai hadits yang mensyaratkan kesaksian 2 (dua) orang dalam penerimaan ru`yah, sekalipun Imam ar-Rafi’i dan Imam Ibn Qudamah lebih menguatkan dalil lain yang menyatakan cukup dengan kesaksian 1 (satu) orang untuk ru`yah hilal Ramadhan, berbeda dengan hilal Syawal. Pembahasan yang serupa dapat ditemukan pula dalam al-Hâwî al-Kabîr, karya Imam al-Qadhi al-Mawardi.

Khatimah
Urgensi men-jama’ hadits Kuraib dengan hadits Amir Mekkah lebih diperlukan bagi kalangan Syafi’iyyah, karena bagi Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah yang dianggap mu’tamad menurut mereka ialah ru`yah global, meskipun dimungkinkan ada pendapat ghair mu’tamad yang berbeda. Lebih daripada itu, pembahasan para ulama lebih banyak berkaitan dengan hilal Ramadhan dan Syawal saja. Adapun untuk hilal Dzulhijjah menggunakan Qiyas, karena nash-nash yang diteliti memang seputar Ramadhan dan Syawal, kecuali hadits Amir Mekkah, yang salah satu pemaknaannya dapat dipahami sebagai “aturan khusus” untuk hilal Dzulhijjah, yakni dengan menafsirkan an-nusuk dengan makna khusus, yakni haji, bukan ibadah secara umum. 

Memang benar, terdapat hadits hilâl dzilhijjah yang berkaitan dengan adab bagi orang yang akan berkurban, namun maudhu’ atau topik pembahasannya bukan terkait penentuan hilal, karena masalahnya bukan “terlihatnya hilal”, namun “siapakah yang melihat”, yang menjadi perbedaan utama antara ru`yah lokal dengan ru`yah global. Mungkin karena demikian kondisinya, kami tidak menemukan dalam pembahasannya dalam kajian dan diskusi para ulama pada bab penentuan hilal  syar’i.  Dengan kata lain, hadits hilâl dzilhijjah bermakna umum, sehingga tidak dapat menjadi hujjah yang sharih untuk men-tarjih salah satu pendapat.

Oleh karena itu, pendapat yang menjadikan keputusan Amir Mekkah sebagai acuan dalam penentuan hilal Dzulhijjah bukanlah pendapat yang syadz, namun merupakan pengembangan dari pemikiran ru`yah global. Setidaknya, pendapat tersebut mempertimbangkan bahwa penentuan hilal Dzulhijjah lebih disandarkan kepada Qiyas, padahal ditemukannya adanya nash, yakni hadits Amir Mekkah dan adanya kemungkinan penafsiran an-nusuk kepada salah satu maknanya yang khusus, yakni Haji. Hal demikian berdasarkan qarinah “adanya wasiat kepada Amir Mekkah” sebagai pihak yang bertanggung jawab secara praktis dalam pelaksanaan Haji, maka an-nusuk bukan dimaknai ibadah dan ketaatan secara umum, sehingga shaum termasuk bagian darinya, namun dimaknai secara khusus, yakni Haji. Apalagi dikuatkan dengan periwayatan Abdurrahman ibn Zaid yang menggabungkan an-nusuk dan ash-shaum dengan menggunakan harful ‘athaf, yang berarti keduanya adalah hal yang berbeda. Terlebih lagi pendapat tersebut dapat menjadi solusi bagi penyatuan syiar Islam, yakni Haji dan I’dul Adha, yang akan memudahkan terwujudnya kesatuan negeri kaum muslimin, sehingga “terbebas” dari pemaksaan penerapan ide nation-state yang lahir Syikes-Picot Agreement yang digagas oleh kaum Kafir Penjajah.

Boleh dikatakan, pendapat ini secara “Qaul” termasuk jadîd atau baru, namun secara “Manhaj” tetap menggunakan kaidah yang mu’tabar  dan mu’tamad. Artinya, bukan terkategori syadz ataupun bid’ah, namun dapat dikategorikan sebagai tajdid. Hal demikian sebagaimana Imam asy-Syafi’i yang menghilangkan “garis batas” antara Ahl al-Hadits dan Ahl ar-Ra`y, Imam al-Bukhari yang menjadi pelopor kajian “kumpulan” hadits marfu’ shahih, para ulama Abbasiyyah yang menjadikan wilâyah al-‘ahd sebagai mekanisme “resmi” dalam pengangkatan Khalifah, dan para  ulama Utsmaniyyah yang “menghilangkan” syarat Quraisy bagi seorang Khalifah. Pada masa sebelum mereka, pendapat-pendapat tersebut terkategori “baru”. Tentu saja, selama didukung oleh dalil ataupun syubhah dalil, berbagai pendapat yang terkategori “baru” merupakan pemikiran syar’i yang boleh diikuti. Tidak masalah jika ulama “muta`akhirin” lebih dapat memahami dalil dibandingkan ulama “mutaqaddimin”, sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam:

لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّ الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ رواه البخاري
وفي رواية مسلم أَلَا لِيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ يُبَلِّغُهُ يَكُونُ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ
وفي رواية الترمذي نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ

Setidaknya, bagi para pengkaji hadits dapat memahami bahwa periwayatan gharîb atau tafarrud bukan berarti syadz atau munkar, karena ziyâdah ats-tsiqâh dapat diterima selama tidak bertentangan dengan yang lebih tsiqah, meskipun pada sebagiaan pemaknaannya. Dengan kata lain, selama ada ihtimâl dan dapat di-jama’, periwayatan tersebut tidak boleh ditolak. Adapun bagi para pengkaji fiqih, setidaknya bisa qanâ’ah dengan qaul para fuqaha, dari Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i: “Apabila suatu hadits terbukti shahih, maka hadits tersebut adalah madzhabku”, dan dari Imam Malik: “Dan setiap pendapatku yang tidak sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah”. Wallâhu A’lâm.

Tanbih
Apabila diperhatikan, dengan membandingkan kajian fuqaha Syafi’iyyah, mulai dari kalangan “mutaqaddimin”, berupa penukilan Imam Ibn Mundzir, syarah Imam al-Khaththabi dalam Ma’âlim as-Sunan, pendapat yang dinisbahkan kepada Imam al-Qadhi Abu ath-Thayyib, ulasan Imam al-Baihaqi dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Âtsâr, hingga rujukan fiqih “muta`akhirin”, yakni al-Hâwî al-Kabîr, karya Imam al-Qadhi al-Mawardi; Nihâyah al-Mathlab, karya Imam al-Haramain; dan al-Muhadzdzab, karya Imam Abu Ishaq asy-Syairazi, dapat dikatakan bahwa pemikiran ru`yah lokal mulai menjadi “arus utama” setelah dipopulerkan 2 (dua) pembesar fuqaha Syafi’iyyah yang hidup pada satu masa, yakni Imam al-Haramain dari Khurasaniyyun dan Imam Abu Ishaq asy-Syairazi dari ‘Iraqiyyun. Pada masa fuqaha setelah keduanya, Imam ar-Rafi’i melanjutkan pemikiran Imam al-Haramain melalui karyanya Fath al-‘Azîz, syarah al-Wajîz karya Imam al-Ghazzali murid dari Imam al-Haramain, sedangkan Imam an-Nawawi melanjutkan pemikiran Imam Abu Ishaq asy-Syairazi dengan men-syarah kitabnya, al-Muhadzdzab, melalui karyanya al-Majmû’. Dengan demikian, pada masa sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pemikiran ru`yah global lebih “masyhur” di kalangan Syafi’iyyah, ditinjau dari kedudukan Imam al-Baihaqi bagi Syafi’iyyah dan dari alur pembahasan Imam al-Mawardi yang “tidak banyak” memberikan perhatian terhadap ru`yah lokal, meskipun menetapkannya sebagai ikhtilaf yang mu’tabar, dengan tidak adanya pembahasan “perbedaan hilal bagi musafir antar negeri”.

Purwakarta, Dzulhijjah 1439 H/ Agustus 2018 M
Ahmad Abdurrahman al-Khaddami al-Jawi asy-Syafi’i

Nb:
Kami banyak mengambil faidah dalam bermudzakarah bersama Dr. Kyai al-Hajj Azi Ahmad Tadjudin, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Purwakarta dan al-Ustadz Yuana Ryan Tresna, Mudir Majlis Khadimus Sunnah Bandung.