Jumat, 28 Juni 2019

SAHABAT PART 3.

SAHABAT

Part III
Oleh: Gus Ustadz Utsman zahid as sidani

Kerangka Membuat Definisi

1. Aspek bahasa lebih luas cakupannya, karena ada majaz dan isytirak. Karenanya kata "SAHABAT" ditinjau dari aspek bahasa maknanya sangat luas, bukan hanya untuk menyebut orang pernah melihat atau berjumpa dg Nabi saw., tapi bahkan musuh pun bisa disebut dg sahabat dari kerangka bahasa ini.

2. Aspek 'urf (konvensi umum). Cakupan lebih sempit dibanding aspek bahasa. Sebab di dalam 'urf, selain adanya haqiqah lughowiyah, juga dipersyaratkan adanya konvensi masyarakat; bagaimana kebiasaan masyarakat menggunakan satu kata. Dalam kaitannya dg kata SAHABAT, dalam aspek 'urf, hanya digunakan untuk menyebut mereka yang pernah mulazamah, menetapi (memiliki kedekatan emosional), mukhalathah (berbaur, bercampur) dan mu'asyarah (saling bergaul). Orang-orang yg pernah ketemu dg kita di sebuah pesawat, misalnya, kemudian kita kenalan, ngobrol ala kadarnya, jelas tidak dapat disebut SAHABAT kita. Begitu pula dg SAHABAT Nabi saw., jika mengacu kepada aspek 'urf ini, maka cakupannya tidak bisa menyentuk setiap orang yang HANYA melihat atau HANYA bertemu dg Nabi saw. meski dia Muslim.

3. Aspek Syar'i (makna syara'). Makna ini semakin sempit. Karena tidak cukup dengan lamanya mulazamah, mukhalathah, dan mu'asyarah, tapi ada syarat lain, yaitu: Mutaba'ah/ mengikuti. Jika kita pakai aspek ini, maka lebih sempit lagi cakupan SAHABAT Nabi saw. Sebab, mereka yg lama bergaul, tapi minus mutaba'ah, tidak mendapat sebutan SAHABAT.

++++++

Dalam mendefinsikan SAHABAT, para ulama sejak dahulu kala berbeda pendapat. Mengapa?
1. Karena sebagian lebih menitik beratkan pada aspek bahasa, dg syarat tambahan: Islam dan mati dalam Islam. Ini dilakukan oleh mayoritas ulama hadits.
2. Karena sebagian lain lebih menitik beratkan pada aspek 'urf. Ini lakukan oleh mayoritas ulama 'ushul.
3. Sedangkan sebagian yg lain menitik beratkan pada makna 'urf plus syar'i.

+++++
Agar penjelasan saya di atas tidak dianggap klaim saya semata, saya kutipkan ungkapan al-Amidi, di dalam al-Ihkam.

Dan perlu saya tegaskan bahwa beliau mengikuti pendapat pertama. Namun demikian beliau ketika merajihkan pendapat pertama beliau menggunakan redaksi: "al-asybah", yg berarti: Nampaknya yg lebih mirip... artinya lebih mendekati kebenaran.

Beliau tidak menyatakan seperti yg dikatakan oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani, bahwa selain pendapat pertama adalah syadz/menyimpang. Cukup janggal memang pernyataan Ibn Hajar, mengingat mayoritas ahli ushul justru tidak mengikuti pendapat pertama, dan banyak ulama hadits mutaqaddimin yg sejalan dg ulama ushul (akan saya angkat insyaAllah pada TS terpisah).

Al-Amidi mengatakan:

فذهب أكثر أصحابنا وأحمد بن حنبل إلى أن الصحابي من رأى النبي وإن لم يختص به اختصاص المصحوب ولا روى عنه ولا طالت مدت صحبته

فذهب أكثر أصحابنا وأحمد بن حنبل إلى أن الصحابي من رأى النبي وإن لم يختص به اختصاص المصحوب ولا روى عنه ولا طالت مدت صحبته

وذهب عمر بن يحيى إلى أن هذا الاسم إنما يسمى به من طالت صحبته للنبي وأخذ عنه العلم

والخلاف في هذه المسألة وإن كان آيلا إلى النزاع في الإطلاق اللفظي، #فالأشبه إنما هو الأول.  (انظر: الآمدي، الاحكام في أصول الأحكام، دار الكتب العلمية ، ٢٠٠٥، مجلد ١، جزء ٢، ص: ٣٢٢)

Kutipan teks di atas kaitannya dg perbedaan pendapat tentang siapa yg layak mendapat gelar SAHABAT Nabi saw. dan bagaimana cara beliau menyatakan pilihan beliau. Beliau katakan: فالأشبه الأول. Artinya, beliau sadar betul bahwa masalahnya sama sekali tidak mendekati pasti (qath'iy), apalagi pasti.

Pertanyaannya, mengapa beliau memilih pendapat pertama? Ada tiga alasan yg beliau kemukakan, yg kesemuannya adalah aspek bahasa, bukan 'urf atau aspek makna syar'iy. Dan ini mewakili alasan para ulama yg sejalan dg pendapat pertama, sehingga terwujudlah rumusan bahwa sahabat adalah:
كل من رأى أو لقي النبي صلى الله عليه واله وسلم وهو مسلم ومات على الإسلام
"Siapa saja yg melihat atau berjumpa dg Nabi saw. dan dia Muslim dan mati dalam Islam".

Berikut kutipan dari al-Amidi:

ويدل عليه ثلاثة أمور:
الأول أن الصاحب اسم مشتق من الصحبة، والصحبة تعم القليل والكثير
والثاني، لو حلف أنه لا يصحب فلان في السفر أو ليصحبنه فإنه يبر ويحنث بصحبته ساعة
والثالث: أنه لو قال قائل صحبت فلانا، فيصح أن يقال: صحبته ساعة أو يوما أو أكثر من ذلك، وهل أخذت عنه العلم ورويت عنه أو لا؟ ولولا أن الصحبة شاملة لجميع هذه الصور ولم تكن مختصة بحالة منها لما احتيج إلى الاستفهام.  (انظر: الآمدي، الاحكام في أصول الأحكام، دار الكتب العلمية ، ٢٠٠٥، مجلد ١، جزء ٢، ص: ٣٢٢)

Di aspek inilah yg menurut asumsi saya terjadi semacam kontradiksi, di mana pendapat pertama lebih menitik beratkam pada aspek bahasa, namun mempersyaratkan dua syarat yg tidak ada kaitannya dg aspek bahasa, yaitu Islam dan mati dalam Islam.

Mengapa saya katakan " menurut asumsi saya", karena saya mencurigai pemahaman saya. Kenapa saya katakan "semacam kontradiksi" bisa jadi tidak ada kontradiksi, namun lebih karena saya tidak faham. Nah, di sini silahkan diuji. Jangan dicaci. Ok!?

Dan di sini pula, saya mengemukakan tawaran, sebagaimana kaidah merumuskan pemahaman, bahwa pertama kita upayakan mencari nash-nash syara', atau atsar sahabat, jika tidak ada kembali pada 'urf, jika tidak ada kembali pada makna bahasa.

Dan dalam hal ini kita menemukan nash syara'  dan juga atsar sahabat. (insyaAllah akan saya kemukakan di TS terpisah). Di sinilah kita mendapati Imam al-Mazini (w. 536) di dalam Syarh al-Burhan mengatakan:
لسنا نعني بقولنا "الصحابة عدول" كل من رآه النبي يوما أو زاره عاما أو اجتمع به لغرض وانصرف ، وإنما نعني به الذين لازموه وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه وأولئك هم المفلحون (انظر: تدريب الراوي للسيوطي، ٢/٢١٥، توضيح الأفكار للصنعاني، ٣/٤٣٦)
"Yang saya maksud dg perkataan kami "semua sahabat adil" bukan setiap orang yg melihat Nabi saw. sehari, atau datang kepada Nabi saw. setahun sekali, atau berkumpul dg beliau karena ada keperluan kemudian pergi lagi. Yang saya maksud SAHABAT adalah mereka yg melazimi Nabi, mendukung Nabi, menolong Nabi, dan mengikuti cahaya (Qur'an) yg diturunkan bersama Nabi saw. Mereka itulah orang-orang yg beruntung".

Ini pula (mungkin) yg mendorong Syekh Taqiyddin an-Nabhani mendefinsikan sahabat:

من طالت صحبته للنبي صلى الله عليه وآله وسلم وكثرت مجالسته له عن طريق التبع له والأخذ عنه
Orang yg cukup lama menyertai Nabi saw. dan banyak bermajlis dengan Nabi saw. melalui jalan mengikuti Nabi saw. dan mengambil ilmu dari beliau saw. (lihat: Syakhshiyyah,  3/316)

Ini pun sejalan dg atsar Anas bin Malik ra. yg insyaAllah akan saya kemukakan di TS terpisah (plus pandangan mutaqaddimin yg tidak mencukupkan aspek perjumapaan dan melihat saja, tapi harus ada shuhbah yg relatif lama.

++++

Persoalan ini tidak sama dg persoalan istilah "Hasan" dalam istilah hadits, di mana Mutaqaddimin menggunakannya berbeda dg mutaakhirin. Juga tidak sama dg istilah "Makruh" dalam perkataan para Ahli fiqh. Tidak sama. Kenapa? Karena dalam dua istilah ini, meski mengalami pergeseran penggunaan, namun makna yg dulu dipakai mutaqaddimin tetap masih terwujud dengan istilah lain yg lebih tegas oleh kalangan Muta'akhirin. Dan yg PALING Penting, baik mutaqqddimin maupun mutaakhirin, dalam kaitannya istilah "hasan" dan "makruh" tidak pernah bertumpu pada makna bahasa semata. Dan ini tidak terjadi pada istilah SAHABAT, di mana menurut pendapat pertama, makna bahasalah yg dominan untuk menentukan cakupannya.

+++++
Saya tidak bermaksud mendelegitamasi istilah SAHABAT menurut kebanyakan mutaakhirin ahli hadits ini. Itu sah-sah saja. Asal ada penjelasan bahwa ini istilah khusus ahli hadits, yg memang fokus di ittishal as-sand. La musyahhata fil ishthilah.

Yang jadi masalah adalah ketika istilah ini digunakan untuk mendelegitimasi istilah mayoritas ahli ushul, sehingga selainnya dikatakan syadz. Hal ini agar di kalangan pencari ilmu terjadi kesadaran adanya perbedaan dan adanya fokus yg berbeda sehingga melahirkan kereteria yg berbeda pula.

Wallah a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar