Jumat, 28 Juni 2019

SAHABAT PART V.

SAHABAT

Part V

THARIQAH USHULIYYIN: Mengapa Kita Pilih?

Pada part sebelumnya telah kita sajikan data-data mengenai dua thariqah; thariqah Muhadditsin dan thariqah Ushuliyin.

Thariqah Muhadditsin mendefinisikan:  Sahabat adalah setiap Muslim yg sempat melihat atau berjumpa dg Nabi saw., baik pernah bergaul dg beliau atau tidak, baik lama atau sekejap mata.

Sedangkan thariqah Ushuliyin tidak menganggap seorang Muslim disebut sebagai sahabat hanya karena melihat atau sekedar berjumpa dengan Nabi saw. Ada syarat lain, yaitu thulul mujalasah (adanya pergaulan yg relatif lama) dalam rangka mengikuti dan mengambil ilmu dari beliau. Meski sebagian ahli ushul tidak mensyaratkan akhdzul 'ilm (mengambil ilmu).

Itulah yg dimaksud dari dua thariqah; meski bukan berarti semua ahli hadits mengikuti thariqah Muhadditsin dan tidak semua Ahli Ushul mengikuti thariqah Ushuliyyin. Sebab, ada sebagian Ahli Ushul mengikuti thariqah Muhaditsin dan begitu sebaliknya.

Pada data-data sebelumnya saya juga telah mengutip bahwa mayoritas Ushuliyyin, sebagaimana dikutip dari as-Sam'ani, mengikuti Thariqah Ushuliyyin. Namun, di sini perlu saya sampaikan, sebagai amanah ilmiyah, bahwa pernyataan tersebut dibantah oleh beberapa peneliti. Mereka mengatakan, justru mayoritas Ahli Ushul mengikuti Thariqah Muhaditsin.

++++++

Ala kulli hal... Telah tsubut/valid bahwa dalam mendefinsikan sahabat ada dua thariqah. Dan bagi siapa saja yg mengkaji literatur dg jeli dapat menyimpulkan bahwa anggapan sebagian ulama bahwa Thariqah Ushuliyyin adalah thariqah yg syadz (menyimpang), merupakan kesimpulan yg patut dikaji ulang.

Nah, pada tulisan ini, saya akan kemukakan alasan mengapa kita memilih Thariqah Ushuliyyin, sebagai berikut:

1. Alasan 'Urf

Seperti pernah saya singgung sebelumnya, dalam mendefinisikan sahabat, Thariqah Muhadditsin lebih menitik beratkan pada bahasa, sedangkan Thariqah Ushiyyin -salah satu alasannya - lebih menitik beratkan pada makna 'urf.

Dan tentu, thariqah Ushuliyyin lebih sesuai dg kaidah memahami nash; di mana jika terdapat sebuah nash, namun syara' tidak memberikan makna syar'inya, sedangkan ada makna bahasa dan ada makna 'urf, maka lebih didahulukan makna 'urf. Begitu umumnya kaidah.

Di sinilah Imam al-Qadhi al-Baqillani mengatakan:
هذا هو الأصل في استقاق الاسم. ومع ذلك فقد تقرر للأمة عرف في أنهم لا يستعملون هذه التسمية (يعني: الصحابة) إلا فيمن كثرت صحبته واتصل لقاؤه ولا يجرون ذلك على من لقي المرء ساعة ومشى معه خطى وسمع منه حديثا. فوجب لذلك أن لا يجري هذا الاسم في عرف الاستعمال الا على من هذه حاله.

Inilah makna semula menurut akar kata sahabat. Namun demikian, Umat telah memiliki 'urf (konvensi) bahwa mereka tidak menyebutnya sebagai sahabat keculi pada orang yg sering bergaul dan bertemu secara terus menerus. Orang-orang yg hanya bertemu sekali, atau berjalan bersama beberapa kangkah, atau pernah mendengar sebuah pembicaraan darinya, tidak dapat disebut sahabat. Oleh sebab itu, sebutan SAHABAT NABI wajib disematkan hanya pada orang yg keadaanya seperti disebut di atas. (al-Kifayah, 100)

Hal senada dikemukakan oleh Al-Ghozali di dalam al-Mustashfa (2/261):
فإن قيل، القرآن أثنى على الصحابة، فَمَنْ الصَّحَابِيُّ؟
أَمَنْ عَاصَرَ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، أَوْ مَنْ لَقِيَهُ مَرَّةً، أَوْ مَنْ صَحِبَهُ سَاعَةً، أَوْ مَنْ طَالَتْ صُحْبَتُهُ.

وَمَا حَدُّ طُولِهَا؟
قُلْنَا: الِاسْمُ لَا يُطْلَقُ إلَّا عَلَى مَنْ صَحِبَهُ، ثُمَّ يَكْفِي لِلِاسْمِ مِنْ حَيْثُ الْوَضْعُ الصُّحْبَةُ وَلَوْ سَاعَةً، وَلَكِنَّ الْعُرْفَ يُخَصِّصُ الِاسْمَ بِمَنْ كَثُرَتْ صُحْبَتُهُ،…

Jika ditanyakan, Al-Qur'an memuji-muji sahabat! Lantas siapakah sahat itu?

Apakah orang yg hidup semasa dg Rasulullah?

Ataukah orang yg berjumpa dg beliau meski hanya sekali?

Ataukah orang yg menyertai Nabi saw. meski hanya sesaat?

Atau sahabat adalah orang yg menyertai beliau dalam waktu yg lama?

Kalau lama, berapa batasan lamanya?

Maka saya jawab: Kata sahabat tidak dapat disematkan kecuali untuk orang yg pernah menyertai beliau! Dan sesuai ashl al-wadh'i (sesuai makna dasar kata sahabat diucapkan orang Arab), dianggap cukup dg membersamai Nabi saw. meski hanya sesaat!

Namun, 'urf (konvensi umum pengguna bahasa) telah membatasi sebutan sahabat pada mereka yg cukup lama shuhbahnya (membersamainya).

========

Qultu: Inilah pernyataan al-Ghozali. Dan inilah terjemahan dan pemahaman yg benar terhadap perkataan al-Ghozali. Tidak seperti asumsi salah seorang yg sempat berdiskusi dg saya, di mana dia menyangsikan penjelasan Dr. Muhammad Sulaiman bahwa al-Ghozali termasuk yg berpendapat bahwa sebutan sahabat tidak dapat diberikan kecuali kepada seorang yg cukup lama membersamai Nabi saw. (thariqah Ushuliyyin). Teman diskusi saya ini kemudian mengutip perkataan al-Ghozali dan menerjemahkannya dg terjemahan yg kelewat fatal, dan diberi kesimpulan bahwa al-Ghozali sejalan dg Thariqah Muhadditsin..

Saya berhusnuzhub teman saya ini sedang kurang fokus, sehingga salah menerjemah, dan bukan karena beliau tidak punya perangkat yg cukup untuk mengolak-ngalik kitab-kitab induk dan masuk ke dalam belantara kitab-kitab para ulama. InsyaAllah.

2. Alasan Pasti 'Adil

Al-Mazini, di dalam Syarh al-Burhan, seperti dikutip oleh as-Suyuthi di dalam Tadrib ar-Rawi, dan As-Shan'ani di dalam Taudhih al-Afkar, mengatakan:
لسنا نعني بقولنا "الصحابة عدول" كل من رآه النبي يوما أو زاره عاما أو اجتمع به لغرض وانصرف وإنما نعني به الذين لازموه وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه وأولئك هم المفلحون
Perkataan kami "Sahabat adalah orang-orang yg 'adil", yg kami maksud bukanlah setiap orang yg melihat/dilihat oleh Nabi saw. pada suatu hari, atau mengunjungi Nabi saw. pada suatu tahun, atau berkumpul dg beliau untuk satu tujuan kemudian pergi. Yg kami maksud hanyalah mereka yg mulazamah dg Nabi saw. , menolong beliau, membantu beliau, dan mengikuti cahaya yg diturunkan bersama beliau. Mereka itulah orang-orang yg beruntung.

Dalam konteks inilah, Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar, di dalam pendahuluan beliau pada kitab Munif ar-Rutbah karya al-'Ala'iy, menceritakan pengalaman intelektualnya, sebagai berikut:

لم أزل منذ أياك الطلب والدراسة استشكل ما يقرره المحدثون وأهل مصطلح الحديث من عدهم كل من رأى النبي صلى الله عليه وسلم صحابيا، هذا مع القول بأن كل الصحابة عدول.

فقد كان بين الذين رأوا النبي صلى الله عليه وسلم من هو مؤمن ظاهرا وهو في الحقيقة منافق. وقد قال الله تعالى:
وممن حولكم من الأعراب منافقون ومن أهل المدينة مردوا على النفاق لاتعلمهم نحن نعلمهم (الآية)

وقد ثبت في الأحاديث الصحيحة قول النبي صلى الله عليه وسلم:
"ليذادن أقوام عن حوضي فأقول يارب يا رب أصحابي أصحابي، فيقال إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك ، فأقول: سحقا سحقا لمن غير بعدي".

وإذا كانت رؤية بعض الأعراب ونحوهم له صلى الله عليه وسلم لم تمنعهم الردة من الإسلام، فكيف يقال أنها تمنع من الكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم. ولا شك أن بركة رؤيته صلى الله عليه وسلم والاجتماع معه عظيمة، وأن نوره باهر يأخذ بالقلوب، ولكن بعض القلوب أشد من الصخر لا يؤثر فيها شيء، أو لا يؤثر فيها إلا بعد تكرار وطول صحبته.

ثم تبين الأمر والحمد لله بعد الإطلاع على هذه الرسالة (منيف الرتبة لمن له شرف الصحبة للعلائي) وما ذكر فيها من مذاهب أهل العلم في المسألة، فنأخذ بخلاف ما درج عليه المتأخرون من المحدثين كابن حجر وغيره، وهو قولهم إن الصحابي كل من رأى النبي صلى الله عليه وسلم مؤمنا ولو كانت رؤيته له للحظة ومات على ذلك.

"Sejak masa-masa menjadi mahasiswa dan masa mengkaji, aku selalu merasa isykal (ada yg mengganjal) terkait apa yg ditetapkan oleh para Muhadditsin dan Ulama Musthalah hadits, yakni mereka menetapkan bahwa siapa saja yg melihat Nabi saw (dan dia Muslim) adalah sahabat, padahal setiap sahabat pasti 'adil.

Alasan mengapa saya merasa ada hal yg mengganjal adalah bahwa di antara mereka yg melihat Nabi saw. kenyataannya ada yg beriman di bibir saja, hatinya munafik. Dan Allah pun menegaskan:
" Dan di antara orang-orang yg ada di sekelilingmu (Muhammad), dari kalangan Arab badui terdapat orang-orang Munafik, juga dari kalangan PENDUDUK MADINAH; mereka bersikukuh pada kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui (siapa saja) mereka. Kami mengetahui mereka". (QS. at-Taubah: 101)

Dan di dalam hadits-hadits shahih  telah valid sabda Nabi saw.: "Kelak ada sejumlah orang yg dihalau dari haudh (telaga)ku. Maka aku pun berkata: [Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, mereka sahabatku, mereka sahabatku]. Kemudian ditakan (kepadaku): [Engkau tidak tahu apa yg mereka perbuat sepeninggalanmu]. Aku pun berkata: [Celaka! celaka! bagi orang-orang yg mengubah (murtad) sepeninggalaku]".

Artinya, jika sebagian Arab baudia dan orang-orang semacam mereka berkesempatan melihat Nabi saw. mereka tidak segan-segan murtad, maka lantas bagaimana dapat dikatakan bahwa dg melihat Rasulullah saw. (dan dia masuk Islam) dapat menghalanginya berdusta atas beliau saw?!

Memang benar bahwa berkah melihat dan kerkumpul Nabi saw. sangat agung, dan cahaya beliau sangat memikat hati... Namun sebagian hati lebih keras dari pada batu; tak dapat dipengaruhi oleh apapun atau tak dapat dipengaruhi kecuali setelah berulang kali dan cukup lama bersama Nabi saw.

Kebingungan saya ini kemudian mendapat jawaban yg terang, Alhamdulillah, setelah mentelaah kitab ini (kitab: Munif ar-Rutbah liman Lahu Syaraf al-Shuhbah, karya al-'Ala'iy) dg keterangan beliau tentang berbagai pandangan para ahli  ilmu dalam masalah ini (Sahabat).

Oleh sebab itu, aku pun mengambil pendapat berbeda dg apa yg dipakai oleh kebanyakan kalangan Muta'akhirin dari ahli hadits, seperti Ibn Hajar dan yg lain; yakni pendapat mereka bahwa "Sahabat adalah Setiap orang yg melihat Nabi saw. dan dia beriman serta mati dalam iman, meski melihat hanya sekejap mata".

Qultu: Terkait hadits yg diangkat oleh Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar terdapat beberapa redaksi, sebagai berikut:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: «إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي، ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ فَأَقُولُ: إِنَّهُمْ مِنِّي فَيُقَالُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ: سُحْقًا، سُحْقًا، لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِي» (رواه البخاري: 6212، ومسلم: 2290).

عن أنس بن مالك، رضي الله عنه، قال النبي صلى الله عليه وسلم: لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ الْحَوْضَ رِجَالٌ مِمَّنْ صَاحَبَنِي ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتُهُمْ وَرُفِعُوا إِلَيَّ اخْتُلِجُوا دُونِي ، فَلَأَقُولَنَّ : أَيْ رَبِّ أُصَيْحَابِيأُصَيْحَابِي ، فَلَيُقَالَنَّ لِي : إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ (رواه البخاري، رقم  6211  ومسلم، رقم  2304 )

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه، قال، قال النبي صلى الله عليه وسلم: أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ لَيُرْفَعَنَّ إِلَيَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لِأُنَاوِلَهُمْ اخْتُلِجُوا دُونِي ، فَأَقُولُ : أَيْ رَبِّ أَصْحَابِي يَقُولُ : لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ (رواه البخاري، رقم 6642  ومسلم، 2297)

+++++

Nah, dari paparan di atas mungkin ada yg bertanya:
1. Sebenarnya perbedaan Thariqah Ushuliiyin vs Muhadditsin itu perbedaan lafzhiyah (soal redaksi saja), atau ma'nawiyah (menyentuh esensial)?
2. Apa atsar / buah dari perbedaan tersebut jika bersifat ma'nawiyyah?
3. Apakah lantas banyak hadits jadi mursal, akibat perawi ring satu tidak tergolong sahabat (versi Ushuliyin)?
4. Apakah berbeda mursal antara Ushuliyin dg Muhadditsin?

Jawabannya, insyaAllah pada TS selanjutnya. Takut kepanjangan dan kita jadi gagal fokus akhirnya salah faham, terus mengatakan yg tidak pernah saya katakan, kan bisa gubrah alias babak belur saya! hiks hiks.

Selamat berpuasa, tetap jaga emosi dan hati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar