Oleh: M. Taufik N.T.
Prihatin melihat suasana perbedaan pendapat terkait penentuan awal akhir Ramadhan di era sosmed sekarang ini, terutama ketika pendapat bahwa jika satu daerah berhasil melihat bulan sabit itu wajib jadi patokan seluruh dunia, justru pendapat yang kuat ini, yang empat Imam Madzhab sepakat akan hal ini, yang merupakan pendapat mayoritas ahli fiqih zaman dulu, justru pendapat ini dipandang lemah oleh sebagian kalangan. Ada beberapa point yang perlu diperhatikan secara komprehensif untuk memahami persoalan ini, apakah sekedar masalah fiqih, astronomi atau masalah politik.
Pertama, terkait rukyat, pendapat empat imam madzhab menyatakan bahwa negeri yang tidak melihat bulan sabit tetap wajib mengikuti negeri yang berhasil melihatnya.
Ibnu Hubairoh (w. 560 H), dalam kitab beliau, al-Ijma’ menyatakan:
“Dan mereka (empat Imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad) telah sepakat : bahwa ketika bulan sabit telah terlihat di suatu negeri pada saat malam, maka wajib puasa atas seluruh penduduk dunia. Kecuali apa yang diriwayatkan oleh Abu Hamid Al Isfirayayni yang menyatakan rukyat tersebut tidaklah mengikat bagi negeri-negeri yang lain untuk memulai puasa. Al Qadhi Abu Thayyib At Thabari menyalahkan pendapat ini. Ia berkata: “Ini adalah kekeliruan darinya. Tetapi yang benar adalah jika penduduk suatu negeri melihat bulat sabit Ramadhan, maka (rukyat) ini berlaku bagi seluruh manusia di negeri-negeri yang lain untuk berpuasa”[1] (Ibnu Hubairoh (w. 560 H), Al Ijma’ ‘Inda Aimmati Ahlis Sunnah al Arba’ah- Ahmad bin Hanbal-Abu Hanifah-Malik- Asy Syafi’i, hal 77).
Begitu juga yang dinyatakan oleh Syaikh Abdul Wahhab as Sya’roni (w. 973 H), salah satu Ulama Madzhab Syafi’i yang pada masanya digelari dengan Al Qutbur Rabbani, dalam kitab beliau, Al-Mîzân menyatakan:
واتفقوا عَلَى أَنَّهُ إذا رؤى الهلال فى بلدة قاصية أنه يجب الصوم على سائر أهل الدنيا، إلا أن أصحاب الشافعي صححوا أنه يلزم حكمه البلد القريب دون البعيد.
"Dan mereka (empat Imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad) telah sepakat bahwa ketika bulan sabit telah terlihat di suatu negeri yang jauh, maka wajib puasa atas seluruhpenduduk dunia. Hanya saja ashhab Syafi’iy telah mentashih bahwa hukum tersebut hanya mengikat (penduduk) negeri yang dekat, bukan (penduduk negeri) yang jauh.”[2] (Syaikh Abd al-Wahhâb al- Sya’rôni (w. 973 H), Al-Mîzân, juz 2 hal 273).
Selain empat Imam Madzhab tersebut, ini juga pendapat Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H), sebagian kecil kalangan Syafi’yyah seperti Abu Thayyib[3], Ibnu Taymiyyah (wafat 728 H), Imam Asy Syaukany (wafat 1250 H) juga Syaikh Al-Ghumari.
Kedua, pendapat bahwa masing-masing wilayah mengikuti rukyatnya sendiri-sendiri, sehingga wilayah yang tidak melihat bulan tidak boleh mengikuti rukyat wilayah yang melihatnya, ini adalah pandangan sebagian besar Ashab Syafi’i berdasarkan hadits Kuraib bahwa Ibnu Abbas di Madinah tidak mengikuti rukyatnya Mu’awiyah di Syam.[4]
Sementara empat imam Imam Madzhab, termasuk Imam Syafi’i sendiri, yang tentu mengetahui juga hadits tersebut tidak memahaminya seperti itu. Hadits Kuraib tersebut memang shahih, namun sisi pendalilannya yang tidak tepat menurut mayoritas ‘ulama. Jika sebelumnya Imam as Syaukani menunjukkan sisi ketidaktepatan berdalil dengan hadits tersebut, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghumari, salah seorang ulama dan ahli hadits yang bermaadzhab Syafi’i[5], beliau menunjukkan 20 sisi ketidaktepatan berdalil dengan hadits tersebut untuk rukyat ‘lokal’, beliau tulis dalam kitab beliau, Taujîh al-Andhzâr li Tawhîdi al-Muslimin fi al-Shaumi wa al-Ifthâr, hlm. 111-135 (bisa diambil kitabnya di : http://waqfeya.com/book.php?bid=2061)
Beliau menyatakan bahwa hadits Kuraib tersebut, jika dirunut keriwayat-riwayat asalnya, sebenarnya justru menjadi dalil akan wajibnya menyatukan puasa (dan ‘ied) sedunia dengan mengikuti rukyat satu kota (yang melihat) bulan[6], sebagaimana pendapat empat Imam Madzhab. Penolakan Ibnu Abbas terhadap rukyat Muawiyah itu mengandung beberapa kemungkinan makna; bisa karena alasan beda Mathla’ sebagaimana pandangan rukyat lokal, bisa juga karena alasan yang lain, sehingga menggunakan hadits tersebut untuk menjustifikasi ‘rukyat lokal’ adalah mentarjih tanpa murojjih, dan ini tidak tepat.[7]
Selanjutnya beliau menyampaikan banyak riwayat, atsar dan qoul ‘ulama yang menunjukkan bahwa penolakan Ibnu Abbas terhadap rukyat Mu’awiyah lebih memungkinkan bukan disebabkan oleh alasan jarak namun oleh alasan:
Pertama, penolakan tersebut bisa jadi karena Ibnu Abbas menganggap Muawiyah tidak megikuti Imam (Khalifah) yang hak, yakni Ali bin Abi Thalib.[8]
Kedua, penolakan tersebut bisa karena yang bersaksi hanya Kuraib sendirian. Sedangkan mayoritas ‘ulama mensyaratkan untuk penentuan ‘Ied diperlukan dua saksi, sementara awal ramadhan cukup satu saksi[9]. Terkait hal ini Imam al Baihaqi menjelaskan dalam kitabnya, al-Sunan al-Kubro, “(penolakan Ibnu Abbas terhadap rukyat Muawiyah) mengandung pengertian bahwa tidak tsabit rukyat di negeri lain tersebut dengan dua saksi, karena Kuraib menyatakannya sendirian.”[10]
Lagi pula, dalam riwayat al-Baihaki, di Madinah, Khalifah Umar pernah ditemui seorang lelaki yang mengaku melihat hilal , ditanya oleh beliau, “darimana kamu datang?” lelaki itu menjawab: “dari al Maghrib” lalu ‘Umar pun menerima kesaksian lelaki tersebut.[11]
(alasan berikutnya bisa dibaca langsung di kitab beliau)
***
Yang agak aneh dengan pandangan ‘rukyat lokal’, adalah berdalil dengan riwayat Kuraib tersebut untuk ‘berbedanya’, namun ‘memaksakan’ tidak boleh berbeda dalam satu negara. Padahal jika konsekuen dengan hadits tersebut, jarak Madinah (24o28’ N 39o36’ E ) dengan Syam (33°30′N 36°18′E) hanya berkisar 1.044 km[12], perbedaan waktu antara Madinah dengan Syam hanya 13 menit 12 detik[13], seharusnya setiap beda waktu 13 menit 12 detik juga memungkinkan berbeda hari puasa/idul fithrinya.
Syam dan Madinah saat itu juga masih satu negara, namun dalam riwayat tersebut berbeda hari, kalau konsekuen dengan riwayat ini, harusnya juga berpendapat bahwa satu negarapun boleh beda hari, apalagi kalau merujuk ke kitab-kitab madzhab Syafi’i, akan dijumpai bahwa jarak sekitar 80 km sudah tidak wajib mengikuti satu dengan yang lain, sebagian menyatakan jarak 24 farsakh (sekitar 133 km), kemana ‘larinya’ semua pendapat tersebut?
Ya, begitulah fikih, bisa beda-beda pandangan, tinggal kita saja memilih pandangan yang kita nilai paling tepat, dengan tetap menjaga hubungan baik dengan yang berbeda pandangan. Diskusi boleh, berkelahi jangan. Allaahu A’lam.
---
[1] Ibnu Hubairoh, Al-Ijma’ ‘Inda Aimmati Ahlis Sunnah al Arba’ah (Riyadh: Maktabah al-’Ubaikan, 2003), hlm. 77.
[2] Abd al-Wahhâb al- Sya’rôni, Al-Mîzân, Cet. I. (Beirut: Alim al-Kutub, 1979), juz 2, hlm. 273.
[3] فتح الباري لابن حجر 4/123
[4] Hadits yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, & Ahmad dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ : لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah engkau berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami.
[5] Menurut as-Syarif Muhammad Hasan Ibn ‘Ali al-Kattani al-Atsari, dalam tesisnya yang berjudul “Fiqh al-Ghumari” mengatakan: “Syekh Ahmad Shiddiq al-Ghumari merupakan satu-satunya keluarga Al-Ghumari yang bermadzhab Syafi’i. Beliau telah meningggalkan Madzhab Maliki dan berpindah ke Madzhab Syafi’i, barang kali hal itu dilakukan karena buah cintanya terhadap hadits dan atsar sahabat.”
[6] Abu al-Fadl Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghumari, Taujîh Al-Andhzâr Li Tawhîdi Al-Muslimin Fi Al-Shaumi Wa Al-Ifthâr, n.d., hlm. 111.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm. 122.
[9] Ini Juga pendapat Madzhab Syafi’i, Muhammad al-Zuhaili, Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Al-Syafi’i, Cet. III. (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2011), juz 2, hlm. 160.
[10] Abu al-Fadl Abdullah bin Muhammad bin al-Siddiq al-Ghumari, Taujîh Al-Andhzâr Li Tawhîdi Al-Muslimin Fi Al-Shaumi Wa Al-Ifthâr, hlm. 124.
[11] Ibid., hlm. 134.
[12] Dihitung dg software Mawaaqit v. 2.3, bandingkan dengan jarak Banda Aceh (5°33′N 95°19′E) dengan Papua (4°46′ LS 137°48′ BT) yakni 4.662 km, kalau konsekuen dengan hadits Kuraib ini ada kemungkinan 4 kombinasi waktu awal-akhir Ramadhan yang berbeda di Indonesia.
[13] Beda 1 jam dalam derajat garis Bujur = 360o/24 jam = 15o/jam. Selisih garis bujur Madinah dg Syam = 3o18’ = 3,3o. Selisih waktu Madinah dg Syam = 3,3o/15o jam = 0,22 jam = 13 menit 12 detik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar