Selasa, 29 Oktober 2019

KOREKSI KALAMULLAH

{KOREKSI} “MASIH TENTANG KALAMULLAH” [2]

Menjelang sore kemarin, ada yang mengirim tulisan di WAG, judulnya “MASIH TENTANG KALAMULLAH” [2], ditulis oleh Al-Fadhil Al-Ustaz Hidayat Nur (cuplikannya bisa Anda lihat di SS). Tulisannya terlihat bagus, namun ada kekeliruan yang perlu dibetulkan, ada kesalahan yang harus diluruskan, dan ada fakta sebenarnya yang harus diketahui bersama.

Pada point ➊, beliau nampaknya masih meragukan kesahihan aṡar Imam Aḥmad yang menyatakan bahwa Kalam Allah dengan Suara, ini bisa kita lihat pada kalimatnya dalam kurung “(jika riwayat dari beliau shahih)”. Ini sebuah kekeliruan yang perlu dibetulkan, karena aṡar tersebut benar-benar Sahih tanpa ada keraguan sedikit pun, sudah pernah saya ulas disini (https://web.facebook.com/aedogawa/posts/2359322544320004).

Berikutnya, beliau mengatakan bahwa aṡar Imam Aḥmad tersebut dikembalikan ke metode Tafwidh (MENYERAHKAN MAKNANYA KEPADA ALLAH DAN MEMALINGKAN KALIMAT SHAUT DARI MAKNA ZHAHIRNYA...). Ini kesalahan fatal yang harus diluruskan, kenapa? Karena salah memaknai kata “tafwidh”. Sejak kapan makna “tafwidh” seperti itu? Yang benar, makna “tafwidh” adalah menyerahkan maknanya kepada Allah, ini saja. Adapun kata-kata “memalingkan kalimat shaut dari makna zhahirnya” adalah maknanya “takwil”.

Kesalahan yang harus diluruskan berikutnya adalah, beliau memaksakan diri agar aṡar Imam Aḥmad tersebut dikembalikan ke metode tafwidh. Sekali lagi, ini sebuah kesalahan. Karena yang benar dan sahih adalah, mengembalikan aṡar tersebut ke metode iṡbāt, bukan yang lain. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-‘Arif Billāh Asy-Syaykh ‘Abdul-Qādir Al-Jīlānī Al-Ḥanbalī (w. 561 H):

وقد نص الإمام أحمد رحمه الله على إثبات الصوت في رواية جماعة من الأصحاب رضوان الله عليهم أجمعين. خلاف ما قالت الأشعرية من أن كلام الله معنى قائم بنفسه، والله حسيب كل مبتدع ضال مضل
“Sungguh Al-Imām Aḥmad telah menegaskan tentang IṠBĀT SUARA dalam riwayat sejumlah sahabatnya (murid-muridnya) riḍwānullahu ‘anhum ajma‘īn. BERBEDA dengan apa yang dinyatakan oleh ASY‘ARIYYAH, bahwa Kalam Allah adalah makna yang berdiri sendiri. Dan Allah yang akan menghisab setiap mubtadi‘ (ahli bidah) yang sesat lagi menyesatkan.” [Al-Gunyah li-Ṭalibī Ṭarīq Al-Ḥaq ‘azza wa jalla, hal. 131]

Pernyataan Syekh Al-Jīlānī diatas sangat jelas dan terang, bahwa Imam Aḥmad dan para Mahasantrinya meng-IṠBĀT Suara Kalāmullāh, BUKAN men-tafwidh sebagaimana dikatakan oleh Yai Hidayat Nur.
Pernyataan Syekh Al-Jīlānī selaras dengan (misalnya) Al-Imām Al-‘Imrānī Asy-Syāfi‘ī dan Al-Imām As-Sijzī Asy-Syāfi‘ī yang meng-IṠBĀT Suara Kalāmullāh. Bahkan Al-Imām Muwaffiqquddīn Ibnu Qudāmah Al-Maqdisī Al-Ḥanbalī (w. 620 H) menulis risalah khusus tentang isu ini dengan judul Aṣ-Ṣirāṭ Al-Mustqīm fi IṠBĀṬ Al-Ḥarf Al-Qadīm.

Pada point ➋, beliau secara yakin mengatakan bahwa Ibnu Kullab yang ditaklidi oleh mayoritas Asy‘ariyyah diakui bagian dari Ahlussunnah wal Jama‘ah, sudah banyak testimoni dan komentar dari ulama besar Ahlussunnah tentang ini, katanya.

Saya penasaran dengan ulama besar yang memberi testimoni tersebut, karena saya belum pernah menjumpai ada Ahli Hadis yang meriwayatkan hadis darinya, tentu ini sangat aneh bagi sosok yang katanya “agung” seperti beliau. Barangkali Al-Fadhil Ustaz Hidayat Nur berkenan berbagi informasi tersebut. Karena yang saya jumpai adalah sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Ḥāfiẓ Syaykhus-Sunnah Abū Naṣr As-Sijzī Asy-Syāfi‘ī (w. 444 H):

اعلموا - أرشدنا الله وإياكم - أنه لم يكن خلاف بين الخلق، على اختلاف نحلهم من أول الزمان إلى الوقت الذي ظهر فيه ابن كلاب والقلانسي، والصالحي والأشعري، وأقرأنهم الذين يتظاهرون بالرد على المعتزلة، وهم معهم بل أخس حالاً منهم في الباطن
“Ketahuilah -semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami dan kepada kalian- bahwasanya tidak ada perselisihan diantara manusia dengan perbedaan pemahaman mereka sejak awal zaman (islam) sampai waktu munculnya IBNU KULLĀB, Al-Qalānisī, Aṣ-Ṣāliḥī, AL-ASY‘ARĪ, dan kawan-kawan mereka yang menampakan bantahan terhadap Mu‘tazilah, padahal mereka bersama mereka (mu‘tazilah), bahkan mereka lebih jelek keadaan batinnya (dari mu‘tazilah).” [Ar-Radd ‘alā Man Inkār Al-Ḥarf waṣ-Ṣawt, hal. 70-71]

Yang menarik adalah pernyataan beliau, bahwa Imam Asy-Syahrastānī mengklaim pendapat Kalam Lafzi dari Asy‘ariyyah merupakan mazhab Salaf. Klaim dari Imam Asy-Syahrastānī ini perlu ditinjau ulang, karena (justru) yang saya jumpai dari pernyataan Imam Asy-Syahrastānī adalah sebagai berikut:

فأبدع الأشعري قولا ثالثا وقضى بحدوث الحروف وهو خرق الإجماع وحكم بأن ما نقرأه كلام اللّه مجازا لا حقيقة وهو عين الابتداع
Kemudian al-Asy'ari mengeluarkan pendapat ketiga (dalam masalah kalam) dan menetapkan ke-baru-an huruf dan ini MELANGGAR IJMAK. Beliau juga menghukumi bahwa apa yang kita baca (al-Qur'an) adalah kalam Allah yang bersifat majaz dan bukan hakiki, dan ini benar-benar perbuatan BIDAH (al-ibtidā‘). [Nihāyatul-Aqdām fī ‘Ilmil-Kalām, hal. 303]

Keterangan dari Asy-Syahrastānī itu sangat jelas bahwa pendapat Asy‘ariyyah tentang Kalam adalah pendapat baru (bidah), BUKAN pendapat mazhab Salaf. Hal ini memang benar adanya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah Aṡar Sahih yang diriwayatkan oleh Al-Ḥāfiẓ Ḍiyā’uddīn Al-Maqdisī Al-Ḥanbalī (w. 643 H):

أَخْبَرَنَا أَبُو أَحْمَدَ عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَلِيِّ بْنِ عُبَيْدِ الله الْمَعْرُوف ب ابْن سُكَيْنَةَ الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ أَنَّ أَبَا مُحَمَّدٍ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَلِيِّ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ المقرىء أَخْبَرَهُمْ قِرَاءَةً عَلَيْهِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْخَلَّالُ مِنْ لَفْظِهِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ شَاذَانَ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَفِيرٍ قَالَ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ
Telah mengabarkan kepada kami [Abū Aḥmad ‘Abdul-Wahhāb bin ‘Alī bin ‘Ubaydullāh, yang dikenal dengan Ibnu Sukaynah Aṣ-Ṣūfī di Bagdād], bahwa Abū Muḥammad ‘Abdullāh bin ‘Alī bin Aḥmad bin ‘Abdullāh Al-Muqri’ telah mengabarkan kepada mereka yang membacakan kepadanya, telah mengabarkan kepada kami [‘Abdul-Malik bin Aḥmad bin Al-Ḥasan], ia berkata: telah menceritakan kepada kami [Abū Muḥammad Al-Ḥasan bin Muḥammad Al-Khallāl] dengan lafalnya, telah menceritakan kepada kami [Abū Bakr Aḥmad bin Ibrāhīm bin Syāżān, telah menceritakan kepada kami [Al-Ḥusayn bin Muḥammad bin ‘Aqīr], ia berkata: Abū Ja‘far Aḥmad bin Sinān berkata:

مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْقُرْآنَ شَيْئَيْنَ أَوْ أَنَّ الْقُرْآنَ حِكَايَةٌ فَهُوَ وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ زِنْدِيقٌ كَافِرٌ بِاللَّهِ
“Barangsiapa menyangka bahwa Al-Qur’an terdiri dari dua bagian (Kalam Nafsi dan Kalam Lafzi), atau menyangka bahwa Al-Qur’an merupakan hikāyah (maknawi), maka dia —demi Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah selain-Nya— adalah orang zindiq lagi kafir kepada Allah...” [Ikhtiṣāṣul-Qur’ān bi-‘Awdih ilā Ar-Raḥīm Ar-Raḥmān, no. 16]

Mungkin ada yang bertanya, siapakah Abū Ja‘far Aḥmad bin Sinān Al-Qaṭṭān Al-Wāsiṭī? Beliau wafat tahun 259 H, merupakan seorang Ulama Hadis yang Ḥāfiẓ lagi Ṡiqah, Mahaguru dari Al-Imām Ibnu Jarīr Aṭ-Ṭabarī, Muḥammad bin Ismā‘īl Al-Bukhārī, Ibnu Mājah, Abū Dāwud, dan banyak ulama hadis lainnya.

Dengan demikian, klaim dari Ustaz Hidayat Nur bahwa akidah Asy‘ariyyah tentang sifat kalam yang katanya sejalan dengan pemikiran ulama Salaf, adalah BATIL bin BATAL. Bagi orang awam seperti saya, lebih tenang dan tentram ikut penjelasan ulama Salaf saja, yakni menetapkan sifat Kalam Allah Bersuara dengan suara yang berbeda dengan Makhluk-Nya. Insyaallah itu lebih selamat...

Sekian dulu, semoga berfaedah. Amin...

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa
(Orang Madura Biasa, Mantan NU, Mantan Ikhwan Tarekat Tijani, Mantan Asy'ariyyah, Mantan HT, dan Mantanmu yang lainnya)

Senin, 28 Oktober 2019

pemuda

Hadits dan Atsar Seputar Intelektual Muda
Refleksi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober

oleh: Ahmad Abdurrahman al-Khaddami

Kondisi negeri - negeri Islam, termasuk di Indonesia saat ini menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang semakin bertambah. Berbagai peristiwa terakhir semisal diskursus mengenai UU KPK dan RUU KUHP, pengabaian separatisme di Papua, penelantaran kassus pembakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan, konflik berkepanjangan pasca Pemilu, kriminalisasi ulama dan ormas Islam, dan menguatnya pengaruh AS dan Cina, membuktikan hal tersebut. Tentu saja, secara alami menimbulkan berbagai  gerakan perbaikan terhadap kondisi umat dan negeri, termasuk dari kalangan Intelektual Muda, yakni para pelajar dan mahasiswa, berupa penyebaran opini/pemikiran di media sosial maupun aksi turun ke jalan.

Berdasarkan fakta dan peristiwa tadi perlu dikaji mengenai pandangan Islam terkait   pemuda apakah pada asalnya “bermasalah” ataukah tidak, peran intelektual apakah  sekedar “penjaga ilmu” ataukah lebih lagi, dan apakah dibenarkan adanya perubahan  yang muncul dari kalangan intelektual muda ataukah justru terkategori “ancaman serius’   nan mengandung madharat.

A. Pemuda Menurut Islam
Bahasa Arab merupakan bahasa Islam, karena merupakan bahasa yang digunakan oleh nash syar’i, begitupun penjelasan terkait nash yang disusun para Ulama. Dalam bahasa Arab, lafad asy-Syâbb dan al-Fatâ digunakan untuk menunjukkan makna “Pemuda”. Adapun batasan usianya menurut para Ulama ialah sejak baligh hingga 30 atau 50 tahun.
قال ابن منظور (لسان العرب) الفتاء الشَّباب والفَتى والفَتِيَّةُ الشابُّ والشابَّةُ
“Imam Ibn Manzhur dalam (Lisân al-Arab): al-Fatâ` yakni asy-Syabâb. al-Fatâ dan al-Fatiyyah, yakni asy-Syâbb dan asy-Syâbibah”.

وقال المرتضى الزبدي (تاج العروس) قال مُحَمَّد بنُ حَبِيب زَمَنُ الغُلُومِيَّة سَبْعَ عَشَرَةَ سَنَةً مُنْذُ يُولَدُ إِلى أَن يَسْتَكْمِلَها ثم زَمَنُ الشَّبَابِيَّة مِنْهَا إِلَى أَنْ يَسْتَكْمِلَ إِحْدَى وخَمْسِينَ سنة ثم هُوَ شَيْخٌ إِلَى أَنْ يَمُوتَ وقيل الشَّابُّ البَالِغُ إِلَى أَنْ يُكَمِّل ثَلاَثِين وقيل ابنُ سِتَّ عَشَرَةَ إِلى  اثْنَتَيْن وثَلاَثِين
“Sayyid al-Murtadha az-Zabidi dalam (Tâj al-‘Arûs): Muhammad ibn Habib berkata, masa al-Ghulumiyyah itu 17 tahun sejak dilahirkan sampai sempurna (17 tahun) kemudian masa asy-Syababiyyah darinya sampai sempurna 51 tahun kemudian masa Syaikh sampai meninggal. Dikatakan asy-Syabb itu usia baligh sampai sempurna 30 tahun. Dikatakan (pula) sejak 16 tahun sampai 32 tahun”.

قال النووي (شرح صحيح مسلم) وَالشَّابّ عِنْد أَصْحَابنَا هُوَ مَنْ بَلَغَ وَلَمْ يُجَاوِز ثَلَاثِينَ
“Imam an-Nawawi dalam (Syarh Shahîh Muslim): Dan asy-Syabb menurut Ashhab kami (Syafi’iyyah) ialah orang yang baligh dan belum melewati usia 30 tahun”.

Dengan demikian, generasi kaum muslimin saat ini yang telah mencapai usia pelajar SMP dan SMA serta mahasiswa, baik yang menempuh studi S1 maupun setelahnya terkategori “Pemuda” berdasarkan penjelasan para Ulama. Konsepsi tersebut “lebih jelas” dibandingkan klasifikasi “Remaja/Teenager” dan “Dewasa/Adult” yang biasa digunakan oleh Peradaban Barat. Diantara nash – nash yang berkaitan dengan periode asy-Syababiyyah sebagai berikut:

(1) Dari Sayyidina ‘Uqbah ibn ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنْ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla benar - benar takjub (memuliakan di sisi-Nya dan memberikan pahala yang baik) terhadap pemuda yang tidak ada padanya shabwah (kecenderungan kepada hawa nafsu karena baiknya kebiasaan pemuda tersebut dan kekuatan tekadnya dalam menjauhi keburukan)”.

Hadist ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam al-Musnad dan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr. Imam al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâ`id menyatakan bahwa sanadnya hasan. Dalam Ilmu Hadits, sebagaimana dijelaskan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrîb ar-Râwî, pada asalnya perkataan dari ahli hadits yang mu'tamad bahwa sanadnya hasan, jika tanpa disertai penjelasan adanya syadz atau illat, menunjukkan kualitas hadits tersebut adalah hasan, karena pada asalnya syadz atau illat itu tidak ada hingga dibuktikan. Dengan demikian, hadits tersebut dapat digunakan sebagai hujjah dalam hukum maupun fadhilah amal. Adapun syarah hadits tersebut dinukil dari Faidh al-Qadhîr, karya Imam al-Munawi.

(2) Dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam, beliau bersabda mengenai 7 (tujuh) golongan yang mendapatkan naungan pada Yaumul Mahsyar, salah satu diantaranya:

شَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ
“Pemuda yang giat dalam beribadah kepada Allah (yang menunjukkan bahwa ketakwaan dirinya mengalahkan hawa nafsunya, padahal terdapat dorongan syahwat yang kuat pada dirinya)”.

Hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dengan syarah dari Fath al-Bârî, karya Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani.

(3) Dari Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu:
أَمَّا سَمِعْتُ اللهَ تعالى يقول قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ وإِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وهَلِ الْخَيْرُ إِلاّ في الشَّبَابِ
“Adapun saya mendengar Allah ta’ala berfirman, mereka berkata, kami mendengar seorang pemuda yang menyebutkan mereka, dikatakan (nama) baginya Ibrahim dan sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka. Bukankah kebaikan hanya ada pada para pemuda?”.

Atsar ini diriwayatkan Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jâmi’ li Akhlâq ar-Râwî. Dalam riwayat lengkapnya, ungkapan tersebut merupakan respon atas pandangan “negatif” sebagian pihak terhadap para pemuda yang hadir dalam majlisnya Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu.

Dapat disimpulkan bahwa menurut hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam dan atsar Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu dimungkinkan adanya kondisi pemuda yang baik “sejak awal”, meskipun diakui bahwa peluang pemuda untuk “tidak baik” juga cukup kuat, karena faktor besarnya dorongan potensi kehidupan (ath-Thâqah al-Hayawiyyah), berupa kebutuhan jasmani maupun gharizah yang ada padanya.  Oleh karena itu, anggapan sebagian masyarakat bahwa pemuda itu “belum dewasa”, “emosinya tidak stabil”, “tidak berpikir panjang”, dan semisalnya tidaklah sepenuhnya benar. Justru para pemuda yang giat beribadah serta tidak cenderung kepada hawa nafsu mendapat pujian dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Bahkan Sayyidina Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu menegaskan “Kebaikan itu hanya ada pada para pemuda”.

Nash - nash tadi juga tidak dikhususkan untuk laki - laki saja, namun juga perempuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhuna al-‘Alim ‘Atha ibn Khalil Abu Rusytah hafizhahullâh dalam salah satu Soal-Jawab-nya bahwa meskipun dalam hadits 7 (golongan) yang mendapat naungan pada Yaumul Mahsyar menggunakan lafad mudzakkar namun di dalamnya mengandung makna muannats, kecuali yang berkaitan dengan hukum khusus bagi laki - laki, yakni Imam yang adil dan seseorang yang hatinya terikat dengan mesjid. Disebutkan dalam kitabnya, Taisîr al-Wushûl ila Ushûl, hal demikian dinamakan at-Taghlîb, yakni uslub bahasa Arab dalam pengunaan lafad - lafad umum yang mencakup bagian - bagian lainnya karena adanya hubungan diantara keduanya. Dengan demikian, semua pelajar maupun mahasiswa, laki - laki maupun perempuan sangat mungkin menjadi shalih dan shalihah “sejak awal”. Yang berarti menurut Islam, anggapan terhadap pemuda - pemudi sebagai “generasi belum matang” sehingga “tidak layak” untuk menjadi “pelopor kebaikan” di tengah masyarakat merupakan pandangan yang perlu dikaji ulang. Berbagai pandangan “negatif” terhadap “kepemimpinan pemuda” perlu dibatasi konteksnya, yakni dari segi teknis yang berkaitan dengan praktek dan pengalaman, bukan dari segi kemampuan dan pengetahuan. Wallâhu A’lam.

B. Kaum Intelektual Menurut Islam

Diantara tujuan atau hikmah dari penerapan Syariah Islam ialah menjaga akal (Hifzh al-‘Aqli). Salah satu bentuk penjagaan tersebut ialah dengan mewajibkan mencari ilmu dan menetapkan kemuliaan terhadap ilmu, ahlinya (ulama) dan para pencarinya. Yang berarti, optimalisasi potensi intelektualitas dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam yang mesti diterapkan. Bahkan menjadikan kebodohan “jahiliyyah” sebagai “saudara kembar” dari kekufuran. Oleh karena itu, kedudukan kaum intelektual dalam Islam sangatlah istimewa, namun juga mengisyaratkan adanya amanah dan tanggung jawab yang juga “luar biasa”.

Dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah  shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
“Barangsiapa yang ditanya suatu ilmu, sedangkan dia mengetahuinya kemudian menyembunyikan ilmu tersebut maka dia dibelenggu pada Yaumul Qiyamah dengan belenggu dari neraka”.

Hadist ini diriwayatkan para Imam: Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân. Diriwayatkan pula hadits semisal dari Ibn Mas’ud, Anas, Jabir, Ibn Umar, dan Ibn ‘Amru radhiyallâhu ‘anhum. Imam at-Tirmidzi menilainya hasan dan menurut Imam al-Hakim: sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim.

Imam al-Munawi dalam Faidh al-Qadhîr menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat dorongan untuk mengajarkan ilmu karena mempelajari ilmu itu untuk disebarkan dan dakwah kepada kebenaran, sedangkan menyembunyikan ilmu akan menghilangkan hikmah (tujuan) tersebut. Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqîh wa al-Mutafaqqih meriwayatkan dari Qatadah rahimahullâh :

فمن علم علما فليعلمه وإياكم وكتمان العلم فإنها هلكة
“Barangsiapa mengetahui suatu ilmu maka ajarkanlah ilmu tersebut. Berhati - hatilah dengan menyembunyikan ilmu, karena itu adalah kebinasaan”.

Demikian pula Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ menggunakan nash tentang “menyembunyikan ilmu” sebagai dalil kefardhuan mengajarkan ilmu, sehingga berdasarkan berbagai penjelasan tadi dapat dipahami bahwa ahli ilmu atau kaum Intelektual dianggap “menyembunyikan ilmu” apabila tidak mengajarkan ilmu yang diketahuinya. Oleh karena itu, peran kaum intelektual setidaknya ada pada 2 (dua) hal, yakni:
(1) Mengajarkan ilmu “kebenaran”supaya meluas penyebarannya serta tidak terputus hingga sampai pada generasi berikutnya, dan
(2) Tidak menyembunyikan ilmu “kebenaran” saat diajukan sebuah persoalan, terutama yang berkaitan dengan solusi atas problematika (masalah) yang terjadi.
Adanya ilmu pada seseorang berarti meniscayakan adanya kewajiban Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar sesuai kemampuan yang dimilikinya, sebagaiman dijelaskan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:

إنما يأمر وينهى من كان عالما بما يأمر به وينهى عنه
“Hanyasaja memerintahkan dan melarang itu bagi yang berilmu terhadap apa yang diperintahkan dan yang dilarang darinya”.

Berdasarkan pemahaman tersebut maka tidak dibenarkan bagi pelajar maupun mahasiswa menempuh berbagai kesulitan untuk mencari ilmu hanya “sekedar” untuk kepuasan diri, menang dalam perdebatan, meraih kedudukan, atau sarana kesuksesan materi. Mengabaikan idealisme dan rasionalitas agar cepat lulus sekolah/kuliah, kemudian “berebut” sumber pendapatan, kekuasaan, dan pasangan. Padahal, nilai ilmu “kebenaran” itu tidak sebanding dengan ketiganya, yang merupakan ujian “fitnah” dalam kehidupan di dunia. Berbagai kemuliaan yang didapatkan ahli ilmu semestinya tidak dapat tergantikan dengan berbagai “kebahagiaan semu” yang menjadi “sekedar” perhiasaan bagi dunia yang “sudah tua”. Wallâhu A’lam.

C. Intelektual  Muda Untuk Perubahan

Dengan mempertimbangkan kekuatan potensi yang dimiliki para pemuda, baik laki - laki maupun perempuan, dan peran penting kaum intelektual, serta kondisi masyarakat yang membutuhkan solusi atas krisis multidimensi yang dialaminya, maka kontribusi “yang besar” dari pelajar dan mahasiswa dalam perubahan sosial yang hakiki, bukan saja mesti didukung namun merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan.

Adapun pandangan sebagian pihak yang menetapkan bahwa kemunculan kaum Inteletual Muda merupakan tanda akhir zaman berdasarkan riwayat dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam atau dengan kata lain merupakan ciri keburukan suatu zaman maka riwayat tersebut perlu dipahami berdasarkan penjelasan para Ulama yang mu’tabar. Riwayat yang dimaksud diantaranya semisal dari Sayyidina Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ ثَلاثاً إِحْدَاهُنَّ أَنْ يَلْتَمِسَ الْعِلْمَ عِنْدَ الأَصَاغِرِ 
“Diantara tanda kiamat itu ada 3 (tiga), salah satunya ialah mencari ilmu (yang ada) pada kalangan Ashâghir”.

Hadits ini diriwayatkan Imam Abdullah ibn al-Mubarak dalam az-Zuhd wa ar-Raqâ`iq. Adapun makna Ashâghir “kalangan junior” yang dimaksud bukanlah dari segi usia, namun dari segi ilmu dan kemampuan. Yakni mereka yang “kurang ilmu” dari kalangan ahli bid’ah atau orang - orang yang berpendapat dengan bersandar pada pikirannya (ra`yu), sebagaimana dinukil Imam Abu Ubaid dalam Gharîb al-Hadîts dan Imam Ibn Abdil Barr dalam Jami Bayân al-‘Ilm dari Imam Ibn al-Mubarak, yang meriwayatkan hadits tersebut. Artinya, mereka mengabaikan nash sharih dan mengunggulkan pendapatnya padahal bertentangan dengan nash. Dengan kata lain, mereka adalah para Da’i dan Muballigh yang sesat dan menyesatkan, semisal para penyeru Sekulerisme, Sosialisme, dan Nasionalime yang melakukan manipulasi terhadap ayat maupun hadits, serta qaul ulama.

Bahkan para aktivis perubahan sejak masa lalu, yakni para Nabi sebelum Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam merupakan para pemuda sebagaimana diriwayatkan Imam Ibn Abi Hatim dalam at-Tafsîr dari Muhammad ibn ‘Auf dari Sa’id ibn Manshur dari Jarir ibn Abdul Hamid dari Qabus dari ayahnya dari Sayyidina Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ berikut:

مَا بعث الله نبياً إلا شاباً ولا أوتى العلم عالم إلا وهو شاب وتلا هذه الآية قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali sebagai pemuda dan tidaklah mendapatkan ilmu seorang “alim kecuali dia adalah pemuda. Beliau membaca ayat berikut (قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ)”.

Atsar tersebut diriwayatkan dengan sanad muttashil dan para perawi tsiqah, meskipun hanya berupa Hadits Mauquf, namun merupakan tafsir terhadap ayat yang berasal dari mufassir Sahabat yang mendapatkan doa dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Riwayat tersebut semakin menguatkan apa yang dijelaskan sebelumnya bahwa Intelektual Muda merupakan kemuliaan yang Allah ‘azza wa jalla karuniakan kepada hamba - hamba-Nya, bukan sebuah kerusakan maupun musibah.

Para penulis Tarikh Islam jelas mencatat kegemilangan para pemuda yang berkhidmat untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin melalui ilmu maupun amalnya semisal As-Sâbiqûn al-Awwalûn pada periode Makiyyah, diantaranya: Ja’far ibn Abu Thalib, az-Zubair ibn al-‘Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Zaid ibn Haritsah, Utsman ibn ‘Affan, Abdullah ibn Mas’ud, al-Arqam ibn Abi al-Arqam, Mush’ab ibn ‘Umair, dan Abdullah ibn Jahsy radhiyallâhu ‘anhum; Shighâr ash-Shahabah “para Sahabat Junior” pada periode Madaniyyah, diantaranya: Umm al-Mu’minin ‘Aisyah binti Abu Bakar, Usamah ibn Zaid, Hasan ibn Ali, Husain ibn Ali, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Abdullah ibn az-Zubair, dan Abdullah ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhum;  para Tab’in, diantaranya: al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar, ‘Urwah ibn az-Zubair, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit, Sa’id ibn al-Musayyab, Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, serta Abdul Malik ibn Marwan dan Umar ibn Abdul Aziz rahimahumullâh; serta generasi setelahnya, diantaranya para Imam: Malik ibn Anas, Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, dan Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, serta para Amir: Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi dan al-Ghazi Muhammad al-Fatih al-‘Utsmani rahimahumullâh.

Oleh karena itu, berbagai gerakan pelajar dan mahasiswa untuk memperbaiki negeri - negeri Islam, termasuk Indonesia, bukanlah “penyimpangan sosial” namun justru merupakan tanda bagi “Kebangkitan Umat”. Kesadaran dan aksi yang dilakukan, terlepas apakah sudah memenuhi kriteria amal yang benar ataukah tidak, menunjukkan adanya “potensi dan harapan hidup” setelah sekian lama berada dalam pengaruh kuat Hadharah Barat. Tentu saja, kesadaran dan aksi tersebut perlu disempurnakan dengan pembinaan berkelanjutan menuju terwujudnya perubahan hakiki, yakni kehidupan Islam dalam naungan Khilâfah ‘alâ Minhâj an-Nubuwwah. Hal demikian merupakan bentuk ibadah yang utama (afdhal al-‘ibadât) sesuai hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam berikut:

يَوْمٌ مِنْ إِمَامٍ عَادِلٍ أَفْضَلُ مِنْ عُبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً، وَحَدٌّ يُقَامُ فِي الأَرْضِ بِحَقِّهِ أَزْكَى فِيهَا مِنْ مَطَرٍ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Satu hari pemerintahan yang adil lebih utama dari ibadah 60 (enam puluh) tahun dan satu had yang ditegakkan di atas bumi sesuai haknya lebih baik di dalamnya dari hujan selama 40 (empat puluh) tahun”.

Hadits ini diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr dan Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrâ, dari sisi sanad terkategori ahad dan gharib dari jalur Abu Hariz al-Azdi dari Ikrimah dari Sayyidina Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ. Imam al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâ`id menilai para rijâl-nya tsiqah, kecuali Abu Ghailan asy-Syaibani, beliau tidak mengenalnya,  sanadnya marfu’ muttashil, jika yang dimaksud Abu Ghailan asy-Syaibani adalah Sa’ad ibn Thalib; Imam al-Mundziri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb dan Imam Zainuddin al-Iraqi dalam Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ` menyatakan hadits ini sanadnya hasan. Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i al-Asy’ari ash-Shufi dalam karyanya Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn, rujukan utama Shufiyyah Sunniyyah, menjadikan hadits yang semakna sebagai hujjah dan menjelaskannya sebagai berikut:

أما الخلافة والإمارة فهي من أفضل العبادات إذا كان ذلك مع العدل والإخلاص وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ليوم من إمام عادل خير من عبادة الرجل وحده ستين عاما
“Adapun Khilafah dan Imarah maka termasuk ibadah yang paling utama apabila disertai keadilan dan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: satu hari dari Imam yang adil lebih baik dari ibadah seorang laki - laki selama 60 (enam puluh) tahun”.

Sudah semestinya berbagai gerakan pelajar dan mahasiswa yang peduli terhadap negeri - negeri Islam, temasuk Indonesia, agar menempuh jalan perubahan yang benar berdasarkan manhaj yang ditetapkan Rasulullaah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam Tidak dibenarkan hanya sekedar perubahan parsial, berupa revisi undang - undang dan peraturan atau berupa  pergantian rezim yang dinilai zalim dan khianat, namun hendaknya lebih daripada itu, yakni perubahan sistem secara mendasar dan menyeluruh dari Kapitalisme dan Sosialisme menuju Islam Kaffah yang akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Wallâhu A’lam.

Sabtu, 12 Oktober 2019

7

KUN SYĀFI‘IYYAN ‘ALAL-JĀDDAH Seri 7
[Spin-Off: Meluruskan Fitnah Terhadap Al-Bukhārī Bag.3]

Dari dua tulisan Spin-Off sebelumnya, masih ada orang yang belum paham maksud dari tulisan saya tersebut, yang menukil perkataan Imam Al-Bukhārī dari para Mahasantrinya. Bagi mereka yang belum paham, kedua tulisan saya itu hanya berkutat (berputar) pada teks atau redaksi saja, tanpa menyentuh konteks atau makna. Padahal apabila kedua tulisan saya itu jika dibaca pelan-pelan dan dicerna dalam-dalam, sangat jelas teks dan konteks perkataan Imam Al-Bukhārī tersebut, atau redaksi dan makna perkataan Sang Imam.

Kali ini saya coba memberikan gambaran utuh tentang pendirian Imam Al-Bukhārī dalam Akidah, yang bisa kita jumpai (salah satunya) dalam kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād war-Raddu ‘alal-Jahmiyyah wa Aṣḥāb At-Ta‘ṭīl. Kita mulai dengan sebuah kisah yang terjadi pada zaman dahulu, sebagaimana disebutkan oleh Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī dalam Ad-Durarul-Kāminah fī A‘yānil-Mā’ah Aṡ-Ṡāminah:

ثمَّ فِي ثَانِي عشرى رَجَب قَرَأَ الْمزي فصلا من كتاب أَفعَال الْعباد للْبُخَارِيّ فِي الْجَامِع فَسَمعهُ بعض الشَّافِعِيَّة فَغَضب وَقَالُوا نَحن المقصودون بِهَذَا ورفعوه إِلَى القَاضِي الشَّافِعِي فَأمر بحبسه فَبلغ ابْن تَيْمِية فَتوجه إِلَى الْحَبْس فَأخْرجهُ بِيَدِهِ

“Kemudian, pada tanggal 12 Rajab, Al-Mizzī membacakan Kitab Af‘āl Al-‘Ibād karya Imam Bukhari di Masjid Al-Jāmi‘. Sebagian pengikut Syāfi‘iyyah mendengarkannya, lalu marah. Mereka mengatakan “Kitalah yang sedang dibicarakan”. Mereka kemudian mengadukan Al-Mizzī kepada Al-Qāḍī (Mazhab) Asy-Syāfi‘ī, lalu sang Kadi memerintahkan menahan Al-Mizzī. Berita ini sampai kepada Ibnu Taymiyyah, kemudian ia bergegas ke penjara dan membebaskan Al-Mizzī sendirian.” [Diriwayatkan juga oleh Imam Muḥammad bin ‘Alī Asy-Syawkānī dalam Al-Badruṭ-Ṭāli‘ bi-Maḥāsin Man Ba‘dil-Qarni As-Sābi‘]

Dari kisah ini dapat kita ketahui bahwa:

➊ Al-Mizzī yang dikisahkan disini adalah Al-Ḥāfiẓ Jamāluddīn Abul-Ḥajjāj Al-Mizzī Asy-Syāfi‘ī. Seorang ulama besar bermazhab Syafii pada zamannya. Mahasantri dari Syaykhul-Islām Ibnu Taymiyyah. Mahaguru dari Syamsuddīn Aż-Żahabī, Tājuddīn As-Subkī, dan ‘Imāduddīn Ibnu Kaṡīr (sekaligus menantu), serta ulama besar lainnya.
➋ Al-Mizzī membacakan kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād karya Al-Bukhārī di Majelisnya di Masjid Jamik Umawi.
➌ Sebagian pengikut Syāfi‘iyyah yang ikut majelis tersebut marah, lalu melaporkan Al-Mizzī ke Kadi Mazhab Syafii, hingga Al-Mizzī dijebloskan ke penjara.
➍ Dalam riwayat yang lebih panjang di Al-Bidāyah wan-Nihāyah, Kadi tersebut adalah Al-Qāḍī Ibnu Ṣaṣra, fanatikus Asyā‘irah.
➎ Kenapa Kadi dan sebagian pengikut Syāfi‘iyyah marah kepada Al-Mizzī yang notabene ulama besar Mazhab Syafii? Jawabannya adalah, karena kandungan kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād yang dibacakan Al-Mizzī menyinggung keyakinan Kadi dan pengikut Syāfi‘iyyah yang berpaham Asyā‘irah.
➏ Kenapa bisa menyinggung keyakinan mereka yang berpaham Asyā‘irah? Bukankah kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād itu ditulis oleh Al-Bukhārī untuk membantah paham Jahmiyyah dan Ahli Ta‘ṭīl? Jawabannya, tak lain dan tak bukan adalah paham Asyā‘irah ada yang mirip atau terpapar paham radikal Jahmiyyah dan Ahli Ta‘ṭīl.

Salah satu kandungan yang membuat marah penganut Asyā‘irah adalah, Imam Al-Bukhārī menyebutkan dalam kitab tsb:

فَأَمَّا الْقُرْآنُ الْمَتْلُوُّ الْمُبَيَّنُ الْمُثَبَّتُ فِي الْمُصْحَفِ الْمَسْطُورُ الْمَكْتُوبُ الْمُوعَى فِي الْقُلُوبِ فَهُوَ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِخَلْقٍ
Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adalah Kalāmullāh, BUKAN makhluk.”

Pernyataan Al-Bukhārī senada dengan pernyataan berikut ini:

مَنْ قَالَ: لَفْظِي بِالْقُرْآنِ أَوِ الْقُرْآنُ بِلَفْظِي كَلَامُ اللَّهِ, فَهُوَ أهل السنة
“Barangsiapa berkata: lafalku ketika membaca Al-Qur’an atau Al-Qur’an ketika kubaca adalah Kalāmullāh, maka dia Ahlussunnah”.

Pernyataan diatas merupakan anti-tesa dari aṡar Ulama Salaf lainnya (seperti Aḥmad, Asy-Syāfi‘ī, Duo Ar-Rāzī, dll) yang menyatakan:

مَنْ قَالَ: لَفْظِي بِالْقُرْآنِ أَوِ الْقُرْآنُ بِلَفْظِي مَخْلُوقٌ, فَهُوَ جَهْمِيٌّ
“Barangsiapa berkata: lafalku ketika membaca Al-Qur’an atau Al-Qur’an ketika kubaca adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (berpaham Jahmiyyah)”.

Sekarang kita bandingkan dengan kata-katanya Asy-Syaykh Al-Bayjūrī Al-Asy‘arī (w. 1277 H) dalam Tuḥfatul-Murīd Syarḥ Jawharah At-Tawḥīd berikut ini:
وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق
“Adapun Al-Qur’an dengan makna lafal yang kita baca, maka ia adalah makhluk.”

Atau, lebih mudahnya, kita bandingkan dengan kata-kata pendaku Asyā‘irah yang ada di SS dibawah ini:
“Ahlussunnah Asy'ariyah: Hakikat Kalamullah adalah Qadim, pasti bukan makhluk. Tetapi tulisan al Qur’an yang tercetak atau suara manusia yang melafalkan al-Qur’an adalah makhluk sebab faktanya itu produksi manusia dan keluar dari mulut makhluk.”

Coba kita baca lagi pelan-pelan dan perhatikan dalam-dalam, kemudian bandingkan antara pernyataan Al-Bukhārī (yang selaras dengan para ulama salaf lainnya) DENGAN pernyataan Al-Bayjūrī dan pendaku Asyā‘irah tersebut, sangat tampak berbeda. Pernyataan Al-Bukhārī ini jelas representasi dari Ahlussunnah Salafuṣṣaliḥ, sedangkan pernyataan Al-Bayjūrī dan pendaku Asyā‘irah itu mirip dengan paham Jahmiyyah. Sebenarnya sangat mudah memahami hakikat, makna, atau konteks dalam isu ini, jikalau kita jernih membaca dan mencernanya.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa:
① Pandangan Al-Bukhārī dengan paham Asyā‘irah tentang “Lafẓī bil-Qur’an” TIDAK lah sama secuilpun, baik dilihat dari Argentina maupun Ethiopia. Menurut Al-Bukhāri bahwa “Lafẓī bil-Qur’an” itu Kalāmullah, sedangkan menurut paham Asyā‘irah bahwa “Lafẓī bil-Qur’an” itu makhluk.
② Makna dan konteks kandungan kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād itu TIDAK ADA mirip-miripnya sama sekali dengan paham Asyā‘irah. Kalau ada kemiripan, tentu tidak ada penolakan dari pengikut Asyā‘irah terhadap kajian kitab tersebut, dan tentunya (juga) Al-Mizzī TIDAK PERLU dipersekusi dan dipenjara gegara membacakan kitab tersebut.
③ Apabila ada pendaku Asyā‘irah mengklaim bahwa pandangan Al-Bukhārī yang tertuang dalam kitabnya tsb sama dengan paham Asyā‘irah, maka bisa dipastikan bahwa pendaku Asyā‘irah itu gagal paham terhadap Al-Bukhārī dan kitabnya.
④ Ke-gagalpaham-an ini bisa jadi karena panik mencari dukungan Ulama Salaf terhadap paham Asyā‘irah tentang kalam lafẓi dan kalam nafsi. Padahal, sepanjang penyelidikan saya, TIDAK ADA satupun ulama salaf (Sahabat, Tabiin, Tabik Tabiin) yang berpaham seperti paham Asyā‘irah.
⑤ Jika ada pendaku Asyā‘irah berhujah dengan kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād untuk mendukung paham Asyā‘irah (sebagaimana SS satunya), maka ini bid‘ah diinternal Asyā‘irah. Karena penganut Asyā‘irah pada zaman dahulu itu risih atau bahkan menolak kitab tersebut dibacakan dimuka umum, sebagaimana kisah Al-Mizzī diatas.

Bagaimana menurut Anda?

Sekian dulu, bersambung...

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa

6

KUN SYĀFI‘IYYAN ‘ALAL-JĀDDAH Seri 6
[Spin-Off: Meluruskan Fitnah Terhadap Al-Bukhārī Bag.2]

Ketika saya membaca pernyataan di kolom komentar seperti SS dibawah ini, saya teringat dengan kondisi saya ketika masih menganut paham Asy‘ariyyah dahulu, saya juga menganggap bahwa Imam Al-Bukhārī selaras pendapatnya dengan Asy‘ariyyah tentang “lafal dalam bacaan Al-Qur’an itu makhluk” (Lafẓī bil-Qur’an Makhlūq).

Akan tetapi, sejak Allah menganugerahkan kepada saya rasa cinta terhadap Ilmu Riwāyah dan Dirāyah Hadis, anggapan saya kepada Imam Al-Bukhārī berubah 180°. Ternyata Imam Al-Bukhārī tidak pernah berpendapat bahwa “Lafẓī bil-Qur’an Makhlūq”, klaim-klaim yang beredar itu hanya sebatas klaim tanpa bukti.

Berikut data lanjutan dari tulisan sebelumnya, bahwasanya Imam Al-Bukhārī sedikitpun tidak sependapat dengan Asy‘ariyyah tentang isu “Lafẓī bil-Qur’an Makhlūq”.

Seorang Mahasantri Al-Bukhārī yang lain di Naysābūr, Al-Imām Muḥammad bin Naṣir Al-Marwazī Asy-Syāfi‘ī (w. 294 H) raḥmatullah ‘alayh. Beliau mendengar bahwa Sang Mahagurunya itu berkata:

مَنْ زَعَمَ أَنِّي قُلْتُ: لَفْظِي بِالقُرْآن مَخْلُوْقٌ فَهُوَ كَذَّابٌ، فَإِنِّي لَمْ أَقُلْهُ.
“Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku telah berpendapat bahwa lafalku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk (lafẓī bil-qur’an makhlūq), maka sungguh dia adalah PENDUSTA, karena sesungguhnya aku TIDAK PERNAH mengatakan demikian.” [Tārīkh Bagdād, Tārīkh Dimasyq, Tārīkhul-Islām, dan Siyar A‘lām An-Nubalā’]

Hal senada juga diriwayatkan oleh Al-Ḥāfiẓ Abū ‘Amr Al-Khaffāf An-Naysābūrī (Mahasantri Al-Bukhārī), Beliau menyebutkan bahwa Mahagurunya tersebut berkata kepadanya:

يَا أَبَا عَمْرٍو، احْفَظ مَا أَقُوْلُ لَكَ: مَنْ زَعَمَ مِنْ أَهْلِ نَيْسَابُوْرَ وَقُومس وَالرَّيِّ وَهَمَذَان وَحلوَانَ وَبَغْدَادَ وَالكُوْفَةِ وَالبَصْرَةِ وَمَكَّةَ وَالمَدِيْنَةِ أَنِّي قُلْتُ: لَفْظِي بِالقُرْآنِ مَخْلُوْقٌ فَهُوَ كَذَّابٌ، فَإِنِّي لَمْ أَقُلْهُ إِلاَّ أَنِّي قُلْتُ: أَفْعَالُ العِبَادِ مَخْلُوْقَةٌ.
“Wahai Abu ‘Amr, ingat baik-baik apa yang kuucapkan kepadamu: Siapa saja yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafalku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk (lafẓī bil-qur’an makhlūq), baik dia dari penduduk Naysābūr, Qūmis, Ar-Rayy, Hamażān, Ḥulwān, Bagdād, Kūfah, Baṣrah, Makkah, dan Madinah, maka ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah PENDUSTA. Karena sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Aku hanya mengatakan: Segenap perbuatan hamba Allah itu adalah makhluk (Af‘ālul-‘Ibād Makhlūqah).” [Tārīkh Bagdād, Tārīkh Dimasyq, Tārīkhul-Islām, dan Siyar A‘lām An-Nubalā’]

Saya kutip lagi keterangan dari Yaḥya bin Sa‘īd, Mahasantri Al-Bukhārī, ia berkata:

قَالَ أبو عبد الله البخاريّ: حركاتهم وأصواتهم، واكتسابهم، وكتابتهم، مخلوقة، فأما القرآن المتلو المبين المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب، فهو كلام الله ليس بخلق
Abū Abdillāh Al-Bukhārī berkata: “Gerak-gerik mereka, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adalah Kalāmullāh, BUKAN makhluk.” [Tārīkh Bagdād, Siyar A‘lām An-Nubalā’, dan Ṭabaqāt Asy-Syāfi‘iyyah Al-Kubra]

Dari keterangan Imam Al-Bukhārī melalui para muridnya, dapat kita simpulkan bahwa:

➊ Siapa saja yang mengatakan bahwa Imam Al-Bukhārī berpendapat “bacaan terhadap Al-Qur’an itu makhluk”, maka dia PENDUSTA.
➋ Dengan kata lain, siapa saja yang mengatakan bahwa Imam Al-Bukhārī sependapat dengan Asyā‘irah tentang kemakhlukan bacaan Al-Qur’an, maka dia PENDUSTA.
➌ Imam Al-Bukhārī justru menyelisihi pendapat Asyā‘irah, beliau berpendapat bahwa “Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adalah Kalāmullāh, BUKAN makhluk.”
➍ Pendapat Imam Al-Bukhārī ini sejalan dengan Mahagurunya (Imam Aḥmad); sejalan dengan Mahaguru Aḥmad, yakni Imam Asy-Syāfi‘ī; dan sejalan dengan Mahaguru Asy-Syāfi‘ī, yakni Imam Mālik. Para imam ini TIDAK DIRAGUKAN lagi status ke-Ahlussunnah-annya, BUKAN asal klaim.
➎ Maka, pendapat Asyā‘irah yang menyelisihi para Imam ini bisa dipastikan BUKAN pendapat Ahlussunnah. Karena tidak ada satupun ulama Ahlussunnah Salafuṣṣaliḥ yang berpendapat sebagaimana pendapatnya Asyā‘irah.
➏ Jika pendaku Asyā‘irah masih keukeuh (ngotot) bahwa pendapat Asyā‘irah ini adalah pendapat Ahlussunnah, mohon berikan bukti SATU SAJA ulama Ahlussunnah Salafuṣṣaliḥ (Sahabat, Tabiin, Tabik Tabiin) yang berpendapat sebagaimana pendapatnya Asyā‘irah tentang kemakhlukan bacaan Al-Qur’an.
➐ Jika tak mampu memberikan bukti, masih kah ngotot mengaku sebagai representasi dari Ahlussunnah Sejati?

Bagaimana menurut Anda?

Sekian dulu, bersambung...
(Bagian berikutnya akan mengulas kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād war-Raddu ‘alal-Jahmiyyah wa Aṣḥāb At-Ta‘ṭīl karya Imam Al-Bukhārī yang coba dicatut oleh pendaku Asyā‘irah untuk mendukung pendapat Asyā‘irah seperti pada SS kedua)

Yaa Allah, ampuni daku karena pernah menduga-duga yang tidak benar tentang Imam Al-Bukhārī. Semoga Sang Imam memaafkan daku...

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa

5

KUN SYĀFI‘IYYAN ‘ALAL-JĀDDAH Seri 5
[Spin-Off: Meluruskan Fitnah Terhadap Al-Bukhārī Bag.1]

Sekarang saya mau mengajak Anda jalan-jalan ke Naysābūr, pada masa-masa Imam Al-Bukhārī berada disana. Dan diakhir, saya ajak Anda bermain Ilmu Mantiq. Agak panjang, mohon dibaca pelan-pelan.

وَقَالَ أَبُو أَحْمَدَ بنُ عَدِيٍّ: ذَكَرَ لِي جَمَاعَةٌ مِنَ المَشَايِخِ أَنَّ مُحَمَّدَ بنَ إِسْمَاعِيْلَ لَمَّا وَردَ نَيْسَابُوْرَ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ، حَسَدَهُ بَعْضُ مَنْ كَانَ فِي ذَلِكَ الوَقْتِ مِنْ مَشَايِخِ نَيْسَابُوْرَ لَمَّا رَأَوا إِقبالَ النَّاسِ إِلَيْهِ، وَاجْتِمَاعَهُم عَلَيْهِ، فَقَالَ لأَصْحَابِ الحَدِيْثِ: إِنَّ مُحَمَّدَ بنَ إِسْمَاعِيْلَ يَقُوْلُ: اللَّفْظُ بِالقُرْآنِ مَخْلُوْقٌ، فَامتحنُوهُ فِي المَجْلِسِ.

Abū Aḥmad bin ‘Adī berkata: Telah menyebutkan kepadaku sekelompok masyāyikh (ulama) bahwa ketika Muḥammad bin Ismā‘īl (Al-Bukhārī) tiba di Naysābūr, orang-orang berkumpul menemuinya, yang menimbulkan rasa dengki pada Al-Bukhārī dari segelintir masyāyikh Naysābūr yang ada pada waktu itu. Maka mereka melihat banyak orang-orang menyukai Al-Bukhārī, dan perkumpulan mereka pada majelis Al-Bukhārī. Sehingga mulailah dihembuskan kepada para ulama Ahli hadis: sesungguhnya Muḥammad bin Ismā‘īl berpendapat bahwa lafal beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Maka mereka mengeceknya di majelis Al-Bukhārī.

فَلَمَّا حضَرَ النَّاسُ مَجْلِسَ البُخَارِيِّ، قَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ، مَا تَقُوْلُ فِي اللَّفْظِ بِالقُرْآنِ، مَخْلُوْقٌ هُوَ أَمْ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ؟ فَأَعرَضَ عَنْهُ البُخَارِيُّ وَلَمْ يُجِبْهُ.

Lalu, ketika orang-orang menghadiri majelisnya Al-Bukhārī, ada seseorang berdiri dan bertanya: “Wahai Abū Abdillāh (Al-Bukhārī), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafalku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk atau bukan?” Mereka mempersilakan Al-Bukhārī untuk menjawabnya, tapi beliau tidak mau menjawabnya.

فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ، فَأَعَادَ عَلَيْهِ القَوْلَ، فَأَعرضَ عَنْهُ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ، فَالتفَتَ إِلَيْهِ البُخَارِيُّ، وَقَالَ: القُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ، وَأَفْعَالُ العبَادِ مَخْلُوْقَةٌ وَالامْتِحَانُ بِدْعَةٌ.

Namun, si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhārī pun akhirnya menjawab dengan mengatakan: “Al-Qur’an itu Kalāmullāh, bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid‘ah.”

فشَغَبَ الرَّجُلُ، وَشَغَبَ النَّاسُ، وَتَفَرَّقُوا عَنْهُ. وَقَعَدَ البُخَارِيُّ فِي مَنْزِلِهِ.

Dengan jawaban itu, si penanya membuat rusuh di majelis, dan orang-orang jadi ricuh, lalu membubarkan diri dari majelis itu. Sejak itu Al-Bukhārī berdiam diri di tempat tinggalnya”. [Tārīkh Bagdād, Siyar A‘lām An-Nubalā’, dan Ṭabaqāt Asy-Syāfi‘iyyah Al-Kubra]

Framing atas jawaban Al-Bukhārī itu membuat Umat Islam di Naysābūr kian bergaduh, hingga terdengar dan disalahpahami oleh Imam Muḥammad bin Yaḥya Az-Zuhlī, yang kemudian Az-Zuhlī mentahżir Al-Bukhārī di majelis yang diampu:

أَلاَ مَنْ يَخْتلِفُ إِلَى مَجْلِسِهِ فَلاَ يَخْتَلِفْ إِلَيْنَا، فَإِنَّهُم كَتَبُوا إِلَيْنَا مِنْ بَغْدَادَ أَنَّهُ تَكَلَّمَ فِي اللَّفْظِ، وَنهينَاهُ، فَلَمْ يَنْتَهِ، فَلاَ تقربوهُ، وَمَنْ يقربْهُ فَلاَ يقربْنَا.

“Ketahuilah! siapa saja yang masih mendatangi majelis Al-Bukhārī, dilarang datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdād telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (Al-Bukhārī) berkata-kata tentang lafad ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Mereka (orang-orang Bagdād) telah menasehati Al-Bukhārī, tetapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”[Tārīkh Bagdād, Siyar A‘lām An-Nubalā’, dan Ṭabaqāt Asy-Syāfi‘iyyah Al-Kubra]

Pada kesempatan lain, lebih lanjut Az-Zuhlī menegaskan:

القُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ مِنْ جَمِيْعِ جهَاتِهِ، وَحَيْثُ تُصُرِّفَ، فَمَنْ لزمَ هَذَا اسْتغنَى عَنِ اللَّفْظِ وَعمَّا سِوَاهُ مِنَ الكَلاَمِ فِي القُرْآنِ،... وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ لَفْظِي بِالقُرْآنِ مَخْلُوْقٌ، فَهَذَا مُبْتَدِعٌ، لاَ يُجَالَسْ وَلاَ يُكَلَّمْ. وَمِنْ ذهبَ بَعْدَ هَذَا إِلَى مُحَمَّدِ بنِ إِسْمَاعِيْلَ البُخَارِيِّ فَاتَّهِمُوهُ، فَإِنَّهُ لاَ يَحْضُرُ مَجْلِسَهُ إِلاَّ مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مذهَبِهِ

“Al-Qur’an adalah Kalāmullāh, bukan makhluk, dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara tentang lafalnya ketika membaca Al-Qur’an atau omongan yang serupa ini tentang Al-Qur’an... Barangsiapa yang menyatakan “lafalku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”, maka sungguh dia adalah Ahli Bid‘ah. Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih saja mendatangi tempatnya Muḥammad bin Ismā‘īl Al-Bukhārī, maka curigailah ia karena tidaklah ada orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semazhab dengannya (Ahli Bid‘ah).” [Tārīkh Bagdād dan Siyar A‘lām An-Nubalā’]

Isu bahwa Al-Bukhārī berkata “Lafẓī bil-Qur’an Makhlūq” selalu ‘dikampanyekan’ oleh Az-Zuhlī dalam setiap majelisnya. Pernah suatu ketika Imam Muslim bin Al-Ḥajjāj duduk di majelisnya dan mendengar ‘black campaign’ ini, sejuruh kemudian Penulis Aṣ-Ṣaḥīḥ berdiri dan meninggalkan majelis tersebut. Bahkan Muslim mengirimkan kembali kepada Az-Zuhlī seluruh catatan riwayat hadis yang didapatkannya dari Az-Zuhlī, sehingga dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya tidak ada riwayat dari Az-Zuhlī. Sikap Muslim yang membela Al-Bukhārī ini membuat Az-Zuhlī marah dan berkata di majelisnya:

لاَ يُسَاكِننِي هَذَا الرَّجُلُ فِي البلدِ.

“Orang ini (Al-Bukhārī) tidak boleh tinggal di negeri ini bersama aku”. [Siyar A‘lām An-Nubalā’]
Kemudian, Aḥmad bin Salamah (salah satu santri Al-Bukhārī) mengabarkan kemarahan Az-Zuhlī kepada Mahagurunya:

يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ، هَذَا رَجُلٌ مَقْبُوْلٌ بِخُرَاسَانَ خصوصاً فِي هَذِهِ المَدِيْنَةِ، وَقَدْ لَجَّ فِي هَذَا الحَدِيْثِ حَتَّى لاَ يَقْدِرَ أَحَدٌ منَّا أَنْ يُكَلِّمَهُ فِيْهِ، فَمَا تَرَى؟

“Wahai Abū Abdillāh (Al-Bukhārī), orang ini (Az-Zuhlī) sangat berpengaruh di Khurāsān, khususnya di kota ini (Naysābūr). Dia telah terlalu jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorang pun dari kami bisa menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”[ Siyar A‘lām An-Nubalā’]

Singkat kata singkat cerita, Imam Al-Bukhārī akhirnya meninggalkan kota Naysābūr, dan kembali ke kampung halamannya, Bukhāra.
----------

Pertanyaannya: benarkah Al-Bukhārī mengatakan “Lafẓī bil-Qur’an Makhlūq” (Lafalku ketika membaca Al-Qur’an itu makhluk) atau “Al-Qur’an bi-Lafẓī Makhlūq” (Al-Qur’an ketika kulafalkan itu makhluk)? Jawabannya, TIDAK!
Coba perhatikan lagi jawaban Al-Bukhārī diatas, beliau menjawab:

القُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ، وَأَفْعَالُ العبَادِ مَخْلُوْقَةٌ وَالامْتِحَانُ بِدْعَةٌ.

“Al-Qur’an itu Kalāmullāh, bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid‘ah.”

Perbuatan hamba (af‘ālul-‘ibād) yang disebutkan oleh Al-Bukhārī ini bersifat umum, seperti membaca, menulis, dsb. Dan ini jelas makhluk, tak ada keraguan dalam hal ini. Akan tetapi, bacaan atau pelafalan ayat-ayat suci Al-Qur’an, itu Kalam Allāh yang HAKIKI bukan Majazi.

Contoh sederhanya begini:
Kita punya kitab Ar-Risālah karya Asy-Syāfi‘ī, maka kertas dan tinta bukan Asy-Syāfi‘ī, TETAPI apa yang termaktub dalam kitab itu adalah kalam Asy-Syāfi‘ī. Jikalau kita membaca kitab tersebut, maka mulut, lidah, bibir dan suara bukan Asy-Syāfi‘ī, TETAPI apa yang dibaca dan terdengar itu adalah kalam Asy-Syāfi‘ī. Paham ‘kan maksud saya?

Baik, sebagai penutup, untuk memperjelas bahwa yang dikatakan oleh Al-Bukhārī tidak sama dengan isu yang beredar, mari kita simak keterangan dari salah satu santri Al-Bukhārī, Yaḥya bin Sa‘īd, ia berkata:

قَالَ أبو عبد الله البخاريّ: حركاتهم وأصواتهم، واكتسابهم، وكتابتهم، مخلوقة، فأما القرآن المتلو المبين المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب، فهو كلام الله ليس بخلق

Abū Abdillāh Al-Bukhārī berkata: “Gerak-gerik mereka, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adalah Kalāmullāh, BUKAN makhluk.” [Tārīkh Bagdād, Siyar A‘lām An-Nubalā’, dan Ṭabaqāt Asy-Syāfi‘iyyah Al-Kubra]

Sekarang kita bandingkan dengan kata-katanya Asy-Syaykh Al-Bayjūrī Al-Asy‘arī (w. 1277 H) dalam Tuḥfatul-Murīd Syarḥ Jawharah At-Tawḥīd berikut ini:

وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق
“Adapun Al-Qur’an dengan makna lafal yang kita baca, maka ia adalah makhluk.”

Atau, lebih mudahnya, kita bandingkan dengan kata-kata yang ada di SS dibawah ini:
“Ahlussunnah Asy'ariyah: Hakikat Kalamullah adalah Qadim, pasti bukan makhluk. Tetapi tulisan al Qur’an yang tercetak atau suara manusia yang melafalkan al-Qur’an adalah makhluk sebab faktanya itu produksi manusia dan keluar dari mulut makhluk.”

Di SS yang lain, dia menegaskan bahwa apa yang dia katakan itu sama dengan yang dikatakan oleh Al-Bukhārī.
Saya berfikir, sama dari mana? Dilihat dari Argentina pun tidak akan sama.

Saya tidak tersinggung dibilang tukang nukil tapi melupakan konteksnya, karena dengan sendirinya akan ketahuan siapa yang melupakan konteknya. Akan tetapi, saya tersinggung apabila Aimmah Salaf diomongin yang bukan-bukan, membela kehormatan mereka itu ibadah bagi saya.

Bagaimana menurut Anda?

Sekian dulu, tapi masih bersambung...
(insyaallah Spin-Off tentang Al-Bukhārī ini saya split jadi 4 bagian, agar dikemudian hari tidak muncul lagi suara-suara sumbang dari bibir-bibir sumbing yang mengatakan bahwa pendirian Al-Bukhārī mirip Asyā‘irah apatah lagi dengan Jahmiyyah)

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa

4

ASY-SYĀFI‘ī DAN ILMU KALAM #4

Pada zaman dahulu, Ahlussunnah meng-iṡbat bahwa Al-Qur’an itu Kalamullah. Lalu muncul Muktazilah mengibarkan doktrin baru warisan Jahmiyyah, bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Kemudian datang Asyā‘irah membawa gagasan baru sebagai jalan tengah, bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam nafsi itu kalam Allah, qadim, dan bukan makhluk; sedangkan Al-Qur’an dengan makna lafal dan huruf itu bukan kalam Allah, alias makhluk.

Pendapat khas ini bisa kita temukan dalam kitab-kitab Asyā‘irah, salah satunya bisa Anda lihat dalam SS dibawah. Berikutnya bisa kita lihat dalam Tuḥfatul-Murīd Syarḥ Jawharah At-Tawḥīd karya Asy-Syaykh Al-Bayjūrī Al-Asy‘arī (w. 1277 H), ia menyebutkan:

ومذهب أهل السنة أن القرآن بمعنى الكلام النفسي ليس بمخلوق، وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق

“Dan Mazhab Ahlussunnah (Asyā‘irah-Maturidiyyah) menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna Al-Kalām An-Nafsī bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’an dengan makna lafal yang kita baca, maka ia adalah makhluk.”

Sekarang, kita bandingkan pandangan tersebut dengan pandangan Al-Imām Al-Kabīr Muḥammad bin Idrīs Asy-Syāfi‘ī (w. 204 H) raḥmatullāh ‘alayh yang dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Jalīl Abul-Ḥusayn Al-‘Imrānī Asy-Syāfi‘ī (w. 558 H) raḥmatullāh ‘alayh dalam Al-Intiṣār fir-Rad ‘alal-Mu‘tazilah Al-Qadariyyah Al-Asyrār, bahwa Ar-Rabī‘ bin Sulaymān pernah mendengar Mahagurunya (Imam Asy-Syāfi‘ī) berkata:

مَنْ قَالَ: لَفْظِي بِالْقُرْآنِ أَوِ الْقُرْآنُ بِلَفْظِي مَخْلُوقٌ, فَهُوَ جَهْمِيٌّ

“Barangsiapa berkata: lafalku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafalku adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)”.

Aṡar ini SAHIH, riwayat asal yang  muttaṣil (tersambung) bisa kita jumpai dalam Syarḥ Uṣūl Al-I‘tiqād Ahlissunnah wal-Jamā‘ah karya Al-‘Allāmah Al-Ḥāfiẓ Abul-Qāsim Al-Lālikā’ī Asy-Syāfi‘ī (w. 418 H) raḥmatullāh ‘alayh. Aṡar ini disahkan dan diriwayatkan ulang (melalui Al-Lālikā’ī) oleh seorang Sufi, Al-Imām Az-Zāhid Abul-Ḥasan Al-Hakkārī (w. 486 H) dalam I‘tiqād Al-Imām Abī ‘Abdillāh Muḥammad bin Idrīs Asy-Syāfi‘ī.

Riwayat Al-Ḥāfiẓ Al-Lālikā’ī ini memiliki mutāba‘ah (pendukung) dari Al-Imām Abū Bakr Al-Bayhaqī Asy-Syāfi‘ī (w. 458 H) raḥmatullāh ‘alayh, ia menyatakan dalam Al-I‘tiqād wal-Hidāyah ila Sabīl Ar-Rasyād ‘ala Mażhab As-Salaf wa Aṣḥāb Al-Ḥadīṡ:

وقد ذكر الشافعي رحمه الله ما دل على أن ما نتلوه في القرآن بألسنتنا ونسمعه بآذاننا ونكتبه في مصاحفنا يسمى كلام الله عز وجل وأن الله عز وجل كلم به عباده بأن أرسل به رسوله صلى الله عليه وسلم
“Dan telah disebutkan oleh Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh keterangan yang menunjukkannya bahwa apa yang kita baca di dalam Al-Qur’an dengan lisan-lisan kita, kita dengar melalui telinga-telinga kita, dan kita tulis di dalam mushaf-mushaf kita; semua itu dinamakan Kalamullah ‘azza wa jalla. Dan bahwa Allah ‘azza wa jalla telah berbicara dengannya kepada hamba-hamba-Nya melalui pengutusan Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam”.

Dan, Aṡar Imam Asy-Syāfi‘ī ini juga memiliki syawahid (penguat) dari para Ulama Salaf lainnya yang menyatakan hal yang sama.

Jadi, apabila kita perhatikan dan bandingkan antara pandangan Imam Asy-Syāfi‘ī dengan mazhab Asyā‘irah dalam isu Al-Qur’an ini, akan kita dapati bahwa pemahaman atau pandangan mazhab Asyā‘irah adalah turunan/warisan paham Jahmiyyah atau terpapar paham Muktazilah, alias BUKAN pandangan Ahlussunnah wal-Jamaah.

BTW: Apabila ada orang yang mengatakan sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syāfi‘ī diatas, biasanya oleh sebagian oknum akan digelari dengan Wahabi, Mujassimah, Musyabbihah. Lantas, bagaimana dengan sosok Al-Imām Al-Kabīr Muḥammad bin Idrīs Asy-Syāfi‘ī? Akankah digelari dengan gelar yang sama!?

Sekian dulu, bersambung...

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa

3

ASY-SYĀFI‘ī DAN ILMU KALAM #3

Dalam catatan dua seri sebelumnya, masih ada yang salah paham atau bahkan gagal paham maksud dari tulisan saya dalam masalah ini. Ada yang memahami bahwa saya mengharamkan Ilmu Kalam, ini salah paham karena saya tidak pernah mengatakan demikian. Ada yang memahami bahwa yang dibenci Imam Asy-Syāfi‘ī adalah Ilmu Kalam-nya Muktazilah, ini gagal paham karena yang dibenci oleh Imam Asy-Syāfi‘ī adalah penggunaan Ilmu Kalam dalam memahami Akidah Islam oleh siapapun.

Dengan kata lain, selain dalam masalah Akidah, Imam Asy-Syāfi‘ī tetap mengeksploitasi Ilmu Kalam, seperti dalam masalah fikih. Contohnya, jikalau kita mendalami pemikiran Imam Asy-Syāfi‘ī, dengan ketajaman dan kemahiran Beliau dalam Ilmu Balagah, Beliau membolehkan merubah redaksi “sami‘allahu li-man ḥamidahu” (سمع الله لمن حمده) menjadi “man ḥamidallaha sami‘a lahu (من حمد الله سمع له); Beliau lah yang tegas menyatakan bahwa huruf jar ba’ (ب) memberi makna faedah “sebagian/parsial” (التبعيض), sehingga menyimpulkan hukum bolehnya mengusap sebagian kepala ketika berwuduk; dan contoh semisal lainnya bisa kita temui dalam kitab Al-Umm.

Akan tetapi, dalam masalah Akidah, Beliau tidak mengeksploitasi Ilmu Kalam. Beliau memilih metode iṡbat, sebagaimana para ulama Salaf. Salah satu contohnya adalah sebagaimana aṡar yang diriwayatkan oleh Al-Qāḍī Ibnu Abī Ya‘la Al-Ḥanbalī (w. 526 H) raḥmatullāh ‘alayh dalam kitab Ṭabaqāt Al-Ḥanābilah:

قرأت عَلَى المبارك قلت: له أخبرك مُحَمَّد بْن عَلِيِّ بْنِ الفتح قَالَ: أَخْبَرَنَا عَلِيّ بْن مردك قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْد الرَّحْمَنِ بْن أبي حاتم قَالَ: حَدَّثَنَا يونس ابن عبد الأعلى المصري قَالَ: سمعت أبا عَبْد اللَّه مُحَمَّد بْن إِدْرِيسَ الشافعي يقول  ...:  أتانا أنه سميع وأن له يدين بقوله {بَلْ يَدَاهُ مبسوطتان}، وأن له يمينا بقوله {وَالسَّمَوَاتُ مطويات بيمينه}، وأن له وجها بقوله {كُلُّ شيء هالك إلا وجهه} وقوله {وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الجلال والإكرام}، وأن له قدما بقول النَّبِيّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: {حتى يضع الرب فيها قدمه} يعني جهنم...

Aku membacakan riwayat kepada Al-Mubārak. Aku katakan kepadanya: Telah mengabarkan kepadamu [Muḥammad bin ‘Alī bin Al-Fatḥ], ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami [‘Alī bin Mazdak], ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami [‘Abdurraḥman bin Abī Ḥātim], ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yūnus bin ‘Abdil-A‘lā Al-Miṣrī], ia berkata: Aku mendengar [Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Idrīs Asy-Syāfi‘ī] yang mengatakan (ketika mendapat pertanyaan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah):...
“Telah sampai kepada kita bahwasanya Allah mendengar, mempunyai dua tangan berdasarkan firman-Nya {tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka}. Allah mempunyai tangan kanan, berdasarkan firman-Nya {dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya}. Allah mempunyai wajah berdasarkan firman-Nya {Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah} dan firman-Nya {Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan}. Dan Allah mempunyai kaki berdasarkan sabda Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam {Hingga Rabb (Allah) meletakkan kaki-Nya padanya} – yaitu Neraka Jahannam…”.

Aṡar ini SAHIH, diriwayatkan dengan sanad yang Sahih oleh Al-Qāḍī Ibnu Abī Ya‘la Al-Ḥanbalī. Dengan sanad yang sama, diriwayatkan juga oleh Al-Imām Ṣadruddīn Abū Ṭāhir As-Silafī (w. 576 H) raḥmatullāh ‘alayh dalam Al-Masyyakhah Al-Bagdādiyyah.

Dari pernyataan Imam Asy-Syāfi‘ī tersebut, Sang Nāṣirussunnah tidak mengeksploitasi Ilmu Kalam dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, alias Beliau memperlakukan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sifat Allah sebagaimana datangnya, tanpa Takyīf (menanyakan kaifiah), tanpa Tasybīh/Tamṡīl (menyamakan dengan makhluk), tanpa Ta‘ṭīl (meniadakannya), dan tanpa Taḥrīf/Ta‘wil (memalingkan/menyelewengkan maknanya), sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Salaf. Sebagaimana penjelasan saya pada catatan sebelumnya:
➊ https://web.facebook.com/aedogawa/posts/2340905829495009
➋ https://web.facebook.com/aedogawa/posts/2341196269465965

BTW: Apabila ada orang yang mengatakan sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syāfi‘ī diatas, biasanya oleh sebagian oknum akan digelari dengan Wahabi, Mujassimah, Musyabbihah. Lantas, bagaimana dengan sosok Al-Imām Al-Kabīr Muḥammad bin Idrīs Asy-Syāfi‘ī? Akankah digelari dengan gelar yang sama!?

Semoga berfaedah, bersambung...

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa