Sabtu, 12 Oktober 2019

5

KUN SYĀFI‘IYYAN ‘ALAL-JĀDDAH Seri 5
[Spin-Off: Meluruskan Fitnah Terhadap Al-Bukhārī Bag.1]

Sekarang saya mau mengajak Anda jalan-jalan ke Naysābūr, pada masa-masa Imam Al-Bukhārī berada disana. Dan diakhir, saya ajak Anda bermain Ilmu Mantiq. Agak panjang, mohon dibaca pelan-pelan.

وَقَالَ أَبُو أَحْمَدَ بنُ عَدِيٍّ: ذَكَرَ لِي جَمَاعَةٌ مِنَ المَشَايِخِ أَنَّ مُحَمَّدَ بنَ إِسْمَاعِيْلَ لَمَّا وَردَ نَيْسَابُوْرَ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ، حَسَدَهُ بَعْضُ مَنْ كَانَ فِي ذَلِكَ الوَقْتِ مِنْ مَشَايِخِ نَيْسَابُوْرَ لَمَّا رَأَوا إِقبالَ النَّاسِ إِلَيْهِ، وَاجْتِمَاعَهُم عَلَيْهِ، فَقَالَ لأَصْحَابِ الحَدِيْثِ: إِنَّ مُحَمَّدَ بنَ إِسْمَاعِيْلَ يَقُوْلُ: اللَّفْظُ بِالقُرْآنِ مَخْلُوْقٌ، فَامتحنُوهُ فِي المَجْلِسِ.

Abū Aḥmad bin ‘Adī berkata: Telah menyebutkan kepadaku sekelompok masyāyikh (ulama) bahwa ketika Muḥammad bin Ismā‘īl (Al-Bukhārī) tiba di Naysābūr, orang-orang berkumpul menemuinya, yang menimbulkan rasa dengki pada Al-Bukhārī dari segelintir masyāyikh Naysābūr yang ada pada waktu itu. Maka mereka melihat banyak orang-orang menyukai Al-Bukhārī, dan perkumpulan mereka pada majelis Al-Bukhārī. Sehingga mulailah dihembuskan kepada para ulama Ahli hadis: sesungguhnya Muḥammad bin Ismā‘īl berpendapat bahwa lafal beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Maka mereka mengeceknya di majelis Al-Bukhārī.

فَلَمَّا حضَرَ النَّاسُ مَجْلِسَ البُخَارِيِّ، قَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ، مَا تَقُوْلُ فِي اللَّفْظِ بِالقُرْآنِ، مَخْلُوْقٌ هُوَ أَمْ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ؟ فَأَعرَضَ عَنْهُ البُخَارِيُّ وَلَمْ يُجِبْهُ.

Lalu, ketika orang-orang menghadiri majelisnya Al-Bukhārī, ada seseorang berdiri dan bertanya: “Wahai Abū Abdillāh (Al-Bukhārī), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafalku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk atau bukan?” Mereka mempersilakan Al-Bukhārī untuk menjawabnya, tapi beliau tidak mau menjawabnya.

فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ، فَأَعَادَ عَلَيْهِ القَوْلَ، فَأَعرضَ عَنْهُ، ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ، فَالتفَتَ إِلَيْهِ البُخَارِيُّ، وَقَالَ: القُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ، وَأَفْعَالُ العبَادِ مَخْلُوْقَةٌ وَالامْتِحَانُ بِدْعَةٌ.

Namun, si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhārī pun akhirnya menjawab dengan mengatakan: “Al-Qur’an itu Kalāmullāh, bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid‘ah.”

فشَغَبَ الرَّجُلُ، وَشَغَبَ النَّاسُ، وَتَفَرَّقُوا عَنْهُ. وَقَعَدَ البُخَارِيُّ فِي مَنْزِلِهِ.

Dengan jawaban itu, si penanya membuat rusuh di majelis, dan orang-orang jadi ricuh, lalu membubarkan diri dari majelis itu. Sejak itu Al-Bukhārī berdiam diri di tempat tinggalnya”. [Tārīkh Bagdād, Siyar A‘lām An-Nubalā’, dan Ṭabaqāt Asy-Syāfi‘iyyah Al-Kubra]

Framing atas jawaban Al-Bukhārī itu membuat Umat Islam di Naysābūr kian bergaduh, hingga terdengar dan disalahpahami oleh Imam Muḥammad bin Yaḥya Az-Zuhlī, yang kemudian Az-Zuhlī mentahżir Al-Bukhārī di majelis yang diampu:

أَلاَ مَنْ يَخْتلِفُ إِلَى مَجْلِسِهِ فَلاَ يَخْتَلِفْ إِلَيْنَا، فَإِنَّهُم كَتَبُوا إِلَيْنَا مِنْ بَغْدَادَ أَنَّهُ تَكَلَّمَ فِي اللَّفْظِ، وَنهينَاهُ، فَلَمْ يَنْتَهِ، فَلاَ تقربوهُ، وَمَنْ يقربْهُ فَلاَ يقربْنَا.

“Ketahuilah! siapa saja yang masih mendatangi majelis Al-Bukhārī, dilarang datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdād telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (Al-Bukhārī) berkata-kata tentang lafad ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Mereka (orang-orang Bagdād) telah menasehati Al-Bukhārī, tetapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”[Tārīkh Bagdād, Siyar A‘lām An-Nubalā’, dan Ṭabaqāt Asy-Syāfi‘iyyah Al-Kubra]

Pada kesempatan lain, lebih lanjut Az-Zuhlī menegaskan:

القُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ مِنْ جَمِيْعِ جهَاتِهِ، وَحَيْثُ تُصُرِّفَ، فَمَنْ لزمَ هَذَا اسْتغنَى عَنِ اللَّفْظِ وَعمَّا سِوَاهُ مِنَ الكَلاَمِ فِي القُرْآنِ،... وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ لَفْظِي بِالقُرْآنِ مَخْلُوْقٌ، فَهَذَا مُبْتَدِعٌ، لاَ يُجَالَسْ وَلاَ يُكَلَّمْ. وَمِنْ ذهبَ بَعْدَ هَذَا إِلَى مُحَمَّدِ بنِ إِسْمَاعِيْلَ البُخَارِيِّ فَاتَّهِمُوهُ، فَإِنَّهُ لاَ يَحْضُرُ مَجْلِسَهُ إِلاَّ مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مذهَبِهِ

“Al-Qur’an adalah Kalāmullāh, bukan makhluk, dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara tentang lafalnya ketika membaca Al-Qur’an atau omongan yang serupa ini tentang Al-Qur’an... Barangsiapa yang menyatakan “lafalku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”, maka sungguh dia adalah Ahli Bid‘ah. Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih saja mendatangi tempatnya Muḥammad bin Ismā‘īl Al-Bukhārī, maka curigailah ia karena tidaklah ada orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semazhab dengannya (Ahli Bid‘ah).” [Tārīkh Bagdād dan Siyar A‘lām An-Nubalā’]

Isu bahwa Al-Bukhārī berkata “Lafẓī bil-Qur’an Makhlūq” selalu ‘dikampanyekan’ oleh Az-Zuhlī dalam setiap majelisnya. Pernah suatu ketika Imam Muslim bin Al-Ḥajjāj duduk di majelisnya dan mendengar ‘black campaign’ ini, sejuruh kemudian Penulis Aṣ-Ṣaḥīḥ berdiri dan meninggalkan majelis tersebut. Bahkan Muslim mengirimkan kembali kepada Az-Zuhlī seluruh catatan riwayat hadis yang didapatkannya dari Az-Zuhlī, sehingga dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya tidak ada riwayat dari Az-Zuhlī. Sikap Muslim yang membela Al-Bukhārī ini membuat Az-Zuhlī marah dan berkata di majelisnya:

لاَ يُسَاكِننِي هَذَا الرَّجُلُ فِي البلدِ.

“Orang ini (Al-Bukhārī) tidak boleh tinggal di negeri ini bersama aku”. [Siyar A‘lām An-Nubalā’]
Kemudian, Aḥmad bin Salamah (salah satu santri Al-Bukhārī) mengabarkan kemarahan Az-Zuhlī kepada Mahagurunya:

يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ، هَذَا رَجُلٌ مَقْبُوْلٌ بِخُرَاسَانَ خصوصاً فِي هَذِهِ المَدِيْنَةِ، وَقَدْ لَجَّ فِي هَذَا الحَدِيْثِ حَتَّى لاَ يَقْدِرَ أَحَدٌ منَّا أَنْ يُكَلِّمَهُ فِيْهِ، فَمَا تَرَى؟

“Wahai Abū Abdillāh (Al-Bukhārī), orang ini (Az-Zuhlī) sangat berpengaruh di Khurāsān, khususnya di kota ini (Naysābūr). Dia telah terlalu jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorang pun dari kami bisa menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”[ Siyar A‘lām An-Nubalā’]

Singkat kata singkat cerita, Imam Al-Bukhārī akhirnya meninggalkan kota Naysābūr, dan kembali ke kampung halamannya, Bukhāra.
----------

Pertanyaannya: benarkah Al-Bukhārī mengatakan “Lafẓī bil-Qur’an Makhlūq” (Lafalku ketika membaca Al-Qur’an itu makhluk) atau “Al-Qur’an bi-Lafẓī Makhlūq” (Al-Qur’an ketika kulafalkan itu makhluk)? Jawabannya, TIDAK!
Coba perhatikan lagi jawaban Al-Bukhārī diatas, beliau menjawab:

القُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ، وَأَفْعَالُ العبَادِ مَخْلُوْقَةٌ وَالامْتِحَانُ بِدْعَةٌ.

“Al-Qur’an itu Kalāmullāh, bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid‘ah.”

Perbuatan hamba (af‘ālul-‘ibād) yang disebutkan oleh Al-Bukhārī ini bersifat umum, seperti membaca, menulis, dsb. Dan ini jelas makhluk, tak ada keraguan dalam hal ini. Akan tetapi, bacaan atau pelafalan ayat-ayat suci Al-Qur’an, itu Kalam Allāh yang HAKIKI bukan Majazi.

Contoh sederhanya begini:
Kita punya kitab Ar-Risālah karya Asy-Syāfi‘ī, maka kertas dan tinta bukan Asy-Syāfi‘ī, TETAPI apa yang termaktub dalam kitab itu adalah kalam Asy-Syāfi‘ī. Jikalau kita membaca kitab tersebut, maka mulut, lidah, bibir dan suara bukan Asy-Syāfi‘ī, TETAPI apa yang dibaca dan terdengar itu adalah kalam Asy-Syāfi‘ī. Paham ‘kan maksud saya?

Baik, sebagai penutup, untuk memperjelas bahwa yang dikatakan oleh Al-Bukhārī tidak sama dengan isu yang beredar, mari kita simak keterangan dari salah satu santri Al-Bukhārī, Yaḥya bin Sa‘īd, ia berkata:

قَالَ أبو عبد الله البخاريّ: حركاتهم وأصواتهم، واكتسابهم، وكتابتهم، مخلوقة، فأما القرآن المتلو المبين المثبت في المصاحف المسطور المكتوب الموعى في القلوب، فهو كلام الله ليس بخلق

Abū Abdillāh Al-Bukhārī berkata: “Gerak-gerik mereka, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adalah Kalāmullāh, BUKAN makhluk.” [Tārīkh Bagdād, Siyar A‘lām An-Nubalā’, dan Ṭabaqāt Asy-Syāfi‘iyyah Al-Kubra]

Sekarang kita bandingkan dengan kata-katanya Asy-Syaykh Al-Bayjūrī Al-Asy‘arī (w. 1277 H) dalam Tuḥfatul-Murīd Syarḥ Jawharah At-Tawḥīd berikut ini:

وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق
“Adapun Al-Qur’an dengan makna lafal yang kita baca, maka ia adalah makhluk.”

Atau, lebih mudahnya, kita bandingkan dengan kata-kata yang ada di SS dibawah ini:
“Ahlussunnah Asy'ariyah: Hakikat Kalamullah adalah Qadim, pasti bukan makhluk. Tetapi tulisan al Qur’an yang tercetak atau suara manusia yang melafalkan al-Qur’an adalah makhluk sebab faktanya itu produksi manusia dan keluar dari mulut makhluk.”

Di SS yang lain, dia menegaskan bahwa apa yang dia katakan itu sama dengan yang dikatakan oleh Al-Bukhārī.
Saya berfikir, sama dari mana? Dilihat dari Argentina pun tidak akan sama.

Saya tidak tersinggung dibilang tukang nukil tapi melupakan konteksnya, karena dengan sendirinya akan ketahuan siapa yang melupakan konteknya. Akan tetapi, saya tersinggung apabila Aimmah Salaf diomongin yang bukan-bukan, membela kehormatan mereka itu ibadah bagi saya.

Bagaimana menurut Anda?

Sekian dulu, tapi masih bersambung...
(insyaallah Spin-Off tentang Al-Bukhārī ini saya split jadi 4 bagian, agar dikemudian hari tidak muncul lagi suara-suara sumbang dari bibir-bibir sumbing yang mengatakan bahwa pendirian Al-Bukhārī mirip Asyā‘irah apatah lagi dengan Jahmiyyah)

Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar