KUN SYĀFI‘IYYAN ‘ALAL-JĀDDAH Seri 7
[Spin-Off: Meluruskan Fitnah Terhadap Al-Bukhārī Bag.3]
Dari dua tulisan Spin-Off sebelumnya, masih ada orang yang belum paham maksud dari tulisan saya tersebut, yang menukil perkataan Imam Al-Bukhārī dari para Mahasantrinya. Bagi mereka yang belum paham, kedua tulisan saya itu hanya berkutat (berputar) pada teks atau redaksi saja, tanpa menyentuh konteks atau makna. Padahal apabila kedua tulisan saya itu jika dibaca pelan-pelan dan dicerna dalam-dalam, sangat jelas teks dan konteks perkataan Imam Al-Bukhārī tersebut, atau redaksi dan makna perkataan Sang Imam.
Kali ini saya coba memberikan gambaran utuh tentang pendirian Imam Al-Bukhārī dalam Akidah, yang bisa kita jumpai (salah satunya) dalam kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād war-Raddu ‘alal-Jahmiyyah wa Aṣḥāb At-Ta‘ṭīl. Kita mulai dengan sebuah kisah yang terjadi pada zaman dahulu, sebagaimana disebutkan oleh Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī dalam Ad-Durarul-Kāminah fī A‘yānil-Mā’ah Aṡ-Ṡāminah:
ثمَّ فِي ثَانِي عشرى رَجَب قَرَأَ الْمزي فصلا من كتاب أَفعَال الْعباد للْبُخَارِيّ فِي الْجَامِع فَسَمعهُ بعض الشَّافِعِيَّة فَغَضب وَقَالُوا نَحن المقصودون بِهَذَا ورفعوه إِلَى القَاضِي الشَّافِعِي فَأمر بحبسه فَبلغ ابْن تَيْمِية فَتوجه إِلَى الْحَبْس فَأخْرجهُ بِيَدِهِ
“Kemudian, pada tanggal 12 Rajab, Al-Mizzī membacakan Kitab Af‘āl Al-‘Ibād karya Imam Bukhari di Masjid Al-Jāmi‘. Sebagian pengikut Syāfi‘iyyah mendengarkannya, lalu marah. Mereka mengatakan “Kitalah yang sedang dibicarakan”. Mereka kemudian mengadukan Al-Mizzī kepada Al-Qāḍī (Mazhab) Asy-Syāfi‘ī, lalu sang Kadi memerintahkan menahan Al-Mizzī. Berita ini sampai kepada Ibnu Taymiyyah, kemudian ia bergegas ke penjara dan membebaskan Al-Mizzī sendirian.” [Diriwayatkan juga oleh Imam Muḥammad bin ‘Alī Asy-Syawkānī dalam Al-Badruṭ-Ṭāli‘ bi-Maḥāsin Man Ba‘dil-Qarni As-Sābi‘]
Dari kisah ini dapat kita ketahui bahwa:
➊ Al-Mizzī yang dikisahkan disini adalah Al-Ḥāfiẓ Jamāluddīn Abul-Ḥajjāj Al-Mizzī Asy-Syāfi‘ī. Seorang ulama besar bermazhab Syafii pada zamannya. Mahasantri dari Syaykhul-Islām Ibnu Taymiyyah. Mahaguru dari Syamsuddīn Aż-Żahabī, Tājuddīn As-Subkī, dan ‘Imāduddīn Ibnu Kaṡīr (sekaligus menantu), serta ulama besar lainnya.
➋ Al-Mizzī membacakan kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād karya Al-Bukhārī di Majelisnya di Masjid Jamik Umawi.
➌ Sebagian pengikut Syāfi‘iyyah yang ikut majelis tersebut marah, lalu melaporkan Al-Mizzī ke Kadi Mazhab Syafii, hingga Al-Mizzī dijebloskan ke penjara.
➍ Dalam riwayat yang lebih panjang di Al-Bidāyah wan-Nihāyah, Kadi tersebut adalah Al-Qāḍī Ibnu Ṣaṣra, fanatikus Asyā‘irah.
➎ Kenapa Kadi dan sebagian pengikut Syāfi‘iyyah marah kepada Al-Mizzī yang notabene ulama besar Mazhab Syafii? Jawabannya adalah, karena kandungan kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād yang dibacakan Al-Mizzī menyinggung keyakinan Kadi dan pengikut Syāfi‘iyyah yang berpaham Asyā‘irah.
➏ Kenapa bisa menyinggung keyakinan mereka yang berpaham Asyā‘irah? Bukankah kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād itu ditulis oleh Al-Bukhārī untuk membantah paham Jahmiyyah dan Ahli Ta‘ṭīl? Jawabannya, tak lain dan tak bukan adalah paham Asyā‘irah ada yang mirip atau terpapar paham radikal Jahmiyyah dan Ahli Ta‘ṭīl.
Salah satu kandungan yang membuat marah penganut Asyā‘irah adalah, Imam Al-Bukhārī menyebutkan dalam kitab tsb:
فَأَمَّا الْقُرْآنُ الْمَتْلُوُّ الْمُبَيَّنُ الْمُثَبَّتُ فِي الْمُصْحَفِ الْمَسْطُورُ الْمَكْتُوبُ الْمُوعَى فِي الْقُلُوبِ فَهُوَ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِخَلْقٍ
Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adalah Kalāmullāh, BUKAN makhluk.”
Pernyataan Al-Bukhārī senada dengan pernyataan berikut ini:
مَنْ قَالَ: لَفْظِي بِالْقُرْآنِ أَوِ الْقُرْآنُ بِلَفْظِي كَلَامُ اللَّهِ, فَهُوَ أهل السنة
“Barangsiapa berkata: lafalku ketika membaca Al-Qur’an atau Al-Qur’an ketika kubaca adalah Kalāmullāh, maka dia Ahlussunnah”.
Pernyataan diatas merupakan anti-tesa dari aṡar Ulama Salaf lainnya (seperti Aḥmad, Asy-Syāfi‘ī, Duo Ar-Rāzī, dll) yang menyatakan:
مَنْ قَالَ: لَفْظِي بِالْقُرْآنِ أَوِ الْقُرْآنُ بِلَفْظِي مَخْلُوقٌ, فَهُوَ جَهْمِيٌّ
“Barangsiapa berkata: lafalku ketika membaca Al-Qur’an atau Al-Qur’an ketika kubaca adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (berpaham Jahmiyyah)”.
Sekarang kita bandingkan dengan kata-katanya Asy-Syaykh Al-Bayjūrī Al-Asy‘arī (w. 1277 H) dalam Tuḥfatul-Murīd Syarḥ Jawharah At-Tawḥīd berikut ini:
وأما القرآن بمعنى اللفظ الذي نقرؤه فهو مخلوق
“Adapun Al-Qur’an dengan makna lafal yang kita baca, maka ia adalah makhluk.”
Atau, lebih mudahnya, kita bandingkan dengan kata-kata pendaku Asyā‘irah yang ada di SS dibawah ini:
“Ahlussunnah Asy'ariyah: Hakikat Kalamullah adalah Qadim, pasti bukan makhluk. Tetapi tulisan al Qur’an yang tercetak atau suara manusia yang melafalkan al-Qur’an adalah makhluk sebab faktanya itu produksi manusia dan keluar dari mulut makhluk.”
Coba kita baca lagi pelan-pelan dan perhatikan dalam-dalam, kemudian bandingkan antara pernyataan Al-Bukhārī (yang selaras dengan para ulama salaf lainnya) DENGAN pernyataan Al-Bayjūrī dan pendaku Asyā‘irah tersebut, sangat tampak berbeda. Pernyataan Al-Bukhārī ini jelas representasi dari Ahlussunnah Salafuṣṣaliḥ, sedangkan pernyataan Al-Bayjūrī dan pendaku Asyā‘irah itu mirip dengan paham Jahmiyyah. Sebenarnya sangat mudah memahami hakikat, makna, atau konteks dalam isu ini, jikalau kita jernih membaca dan mencernanya.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa:
① Pandangan Al-Bukhārī dengan paham Asyā‘irah tentang “Lafẓī bil-Qur’an” TIDAK lah sama secuilpun, baik dilihat dari Argentina maupun Ethiopia. Menurut Al-Bukhāri bahwa “Lafẓī bil-Qur’an” itu Kalāmullah, sedangkan menurut paham Asyā‘irah bahwa “Lafẓī bil-Qur’an” itu makhluk.
② Makna dan konteks kandungan kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād itu TIDAK ADA mirip-miripnya sama sekali dengan paham Asyā‘irah. Kalau ada kemiripan, tentu tidak ada penolakan dari pengikut Asyā‘irah terhadap kajian kitab tersebut, dan tentunya (juga) Al-Mizzī TIDAK PERLU dipersekusi dan dipenjara gegara membacakan kitab tersebut.
③ Apabila ada pendaku Asyā‘irah mengklaim bahwa pandangan Al-Bukhārī yang tertuang dalam kitabnya tsb sama dengan paham Asyā‘irah, maka bisa dipastikan bahwa pendaku Asyā‘irah itu gagal paham terhadap Al-Bukhārī dan kitabnya.
④ Ke-gagalpaham-an ini bisa jadi karena panik mencari dukungan Ulama Salaf terhadap paham Asyā‘irah tentang kalam lafẓi dan kalam nafsi. Padahal, sepanjang penyelidikan saya, TIDAK ADA satupun ulama salaf (Sahabat, Tabiin, Tabik Tabiin) yang berpaham seperti paham Asyā‘irah.
⑤ Jika ada pendaku Asyā‘irah berhujah dengan kitab Khalqu Af‘āl Al-‘Ibād untuk mendukung paham Asyā‘irah (sebagaimana SS satunya), maka ini bid‘ah diinternal Asyā‘irah. Karena penganut Asyā‘irah pada zaman dahulu itu risih atau bahkan menolak kitab tersebut dibacakan dimuka umum, sebagaimana kisah Al-Mizzī diatas.
Bagaimana menurut Anda?
Sekian dulu, bersambung...
Salam Persahabatan,
Alfan Edogawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar